JURAGAN ARJUNA

BAB 319



BAB 319

0"Ada apa, Kangmas?" tanya Manis, yang ikut masuk ke dalam kamar Ningrum. Dia kemudian duduk di sebelahnya, kemudian menggenggam tangan Ningrum. "Duh Gusti kok demam, Kangmas?"     

"Iya, makanya itu. Mungkin karena kelamaan tidur di lantai jadinya masuk angin," kubilang.     

"Romo... maafkan aku, Romo," igau Ningrum lagi. Aku langsung diam, membuat Manis langsung menggenggam tanganku.     

"Aku suruh Bulik buatkan jamu dulu, ya, Kangmas," kata Manis, dia langsung keluar, kemudian dia kembali sambil membawa kompres beserta jamunya.     

Dengan telaten dia mengompres kening Ningrum, kemudian dia memijiti tangan Ningrum pelan-pelan. Sambil menghela napas, dia memandangi Manis dalam diam.     

Apa dia marah kepadaku? Karena aku yang telah membuat putrinya sakit? Atau dia punya pikiran lain atas ini?     

"Apa kamu marah kepadaku, karena Ningrum demam?" tanyaku pada akhirnya. Manis memandangku, kemudian dia tersenyum simpul.     

"Anakku adalah anakmu, marahmu adalah perwakilanku. Jika tadi aku pertama yang melihat kejadian itu, maka hal yang sama pasti akan kulakukan saat itu. Jadi, Kangmas ndhak perlu untuk menyalahkan diri sendiri karena hal itu. Sebab sudah menjadi kewajiban bagi seorang Romo memarahi anaknya tatkala dia berbuat salah."     

"Kewajiban dari mana itu?" tanyaku yang baru mendengar jikalau ada kewajiban seperti itu.     

"Kewajiban dari Manis, yang baru kubuat sekarang. Bagaimana, suka?" tanyanya. Aku tersenyum, kemudian mengangguk menanggapi ucapannya.     

"Kamu memang paling bisa," kubilang.     

"Ya sudah, Kangmas tidur dulu. Aku akan ngelonin Ningrum di sini, nanti kalau dia bangun, aku akan menyuruhnya meminum jamu. Besok pagi pasti dia sudah sehat,"     

"Tapi, kamu sedang hamil. Cukup istirahat adalah hal utama yang harus kamu lakukan, Ndhuk," kataku. Manis menggeleng, dia kembali tersenyum ke arahku.     

���Aku di sini kan ya juga tidur, toh, Kangmas. Cuma nanti kalau Ningrum bangun, aku ikut bangun sebentar. Begitu," ucapnya.     

Aku mengangguk menanggapi ucapan dari, setelah aku mencium keningnya, aku pun memutuskan untuk pergi ke kamar. Setya yang saat itu menangkapku lewat depannya pun bergegas berlari ke arahku, terus berjalan sampai dia ikut masuk ke kamar. Aku lupa, ini bukan di Kemuning. Semua kamar sudah penuh semua, kecuali kamarku dengan Manis. Tapi, masak iya aku menyuruhnya untuk tidur di kamarku? Enak saja!     

"Bagaimana? Keputusan apa yang akan kamu ambil, Arjuna?" tanya Setya, yang berhasil membuatku mengurungkan diri masuk ke dalam kamar, kemudian memilih kembali keluar dan duduk di sofa. Dia pun ikut duduk, sengan memasang wajah yang seriusnya itu.     

"Ningrum demam," kubilang, Setya seolah telah menebak jika itu akan terjadi. Lihatlah bagaimana ekspresi menyebalkannya itu.     

"Iya, toh, sudah kuduga," dia bilang. "Makanya aku tadi mewanti-wantimu Arjuna, jangan terlalu kasar. Bagaimanapun anakmu itu perempuan, bukan laki-laki. Karena anak perempuan itu, seribu kali dimarahin ibunya dia akan bisa menahan, namun sekali saja dimarahi ayahnya, maka hancur seluruh dunianya."     

"Kenapa seperti itu?"     

"Ya aku juga tidak tahu, mungkin karena bagi anak perempuan, Ayah adalah sosok cinta pertamanya, sosok yang paling dikagumi di seluruh dunia. Sosok sebagai tempat untuk menumpahkan semua rasa yang ada di dalam hatinya. Dan jika sosok itu murka, pasti dia merasa hancur. Dia merasa telah berbuat suatu kesalahan yang dunia tidak akan pernah memaafkannya. Percayalah, anak perempuan akan lebih hancur ketika dimarahi ayahnya dari pada ibunya."     

Aku diam, merenung barang sejenak tentang apa yang Setya katakan kepadaku. Rasa-rasanya hatiku sangat kelu karena ucapannya itu. Tapi entah kenapa aku merasa jika aku masih terlalu keras kepala untuk sekadar mengakui jika aku keliru? Aku merasa jika aku benar. Aku benar, tapi mungkin carakulah yang keliru.     

Kulirik Pandu yang tampak memeluk tubuhnya, dia menggigil, aku yakin jika dia cukup kedinginnan karena tidur di depan pintu seperti itu. Tapi, aku sendiri ndhak tahu apa yang harus kulakukan kepadanya.     

"Yang aku lihat, meski aku baru pertama kali bertemu dengan putrimu juga pemuda itu. Mereka adalah anak-anak baik, Arjuna. Dan kulihat juga pemuda itu cukup bertanggung jawab. Semenjak kamu pergi, yang dia lakukan menunggumu di depan pintu tanpa beranjak sedikitpun, tidak mau makan dan tidak mau minum. Karena yang dia inginkan hanyalah, mendapatkan maafmu. Mendapatkan maaf dari orang yang sudah berjasa dalam hidupnya dan juga hidup keluarganya. Bagai dayung bersambut, begitupun dengan putrimu. Dia terus murung sampai tertidur di atas lantai seperti apa yang kamu lihat tadi. Padahal para abdimu sudah mewanti mereka berkali-kali untuk sekadar istirahat di tempat yang pantas. Tapi, karena saking takutnya denganmu, mereka tidak melakukan itu sama sekali. Dan kamu tahu apa itu artinya?" tanyanya, aku ndhak menjawab. "Itu artinya kamu sangat berharga dalam hidup mereka."     

"Sudahlah, di sini siapa yang salah? Kenapa kamu terus-terusan menyeramahiku seperti itu? kenapa kamu tidak mendukungku sama sekali?" tanyaku yang agaknya keheranan dengan perjaka tua satu ini.     

"Aku mendukungmu, meski aku bukan seorang Ayah, tapi aku mendukungmu. Mereka salah tentu saja, siapa yang bilang jika mereka tidak salah. Iya, kan?" aku mendengus, dia tampak berdecak. "Tapi cara menegurmu itu yang terlalu keterlaluan. Aku juga ingin bertanya kepadamu, Arjuna. Kurasa kamu menikah dengan Manis bukannya baru beberapa tahun yang lalu, kan? Kenapa kamu punya anak sudah remaja seperti Ningrum? Apa jangan-jangan, sewaktu kamu sekolah dulu kamu menghamili anak orang kemudian sampai lahir, dan kamu disuruh untuk bertanggung jawab atas anak kalian itu. Iya? Atau jangan-jangan kamu dan Manis berhubungan dari lama lalu Manis hamil, dan melahirkan anakmu itu?" selidik Setya yang rupanya sangat penasaran.     

"Wah... wah, daya imajinasimu benar-benar luar biasa!" kataku menanggapi ucapannya. "Sebenarnya ceritanya cukup panjang. Dulu aku pernah punya kawan, namanya Arni, dan Muri. Kedua kawanku ini ada masalah keluarga yang mengakibatkan hilangnya nyawa sekeluarga kecuali Ningrum. Dan semenjak saat itulah, Ningrum menjadi anakku. Dia kurawat mulai dari dia kecil sampai sebesar sekarang. Di mataku, tidak ada yang namanya anak angkat atau semacamnya. Karena bagiku, dia adalah anak kandungku. Itu sebabnya dia sudah besar posisi aku masih seperti ini. Bahkan di sekolahnya banyak yang mengira kalau dia berpacaran denganku, karena aku kaya atau semacamnya. Dasar, ternyata punya anak perawan itu cukup rawan juga."     

"Dan kamu hebat tidak jatuh cinta dengannya...," celetuk Setya, kemudian dia tersenyum ke arahku. "Dia tidak ada hubungan darah denganmu, lho. Tapi aku bisa melihat hubungan kalian bahkan lebih intim dari pada hubungan Ayah—anak pada umumnya."     

"Ya karena kami saling sayang, dan Manis pun sayang. Itu sebabnya kami benar-benar menjadi satu keluarga yang utuh tanpa ada jarak, dan tanpa ada rasa sungkan."     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.