JURAGAN ARJUNA

BAB 318



BAB 318

0Manis kemudian berdiri, dia membuka lemari. Mengambil beberapa pakaian serta kebaya yang akan ia kenakan saat wisuda lusa. Kemudian memasukkan semuanya ke dalam tas. Kemudian dia membawa tas itu dan memandangku dengan tatapan seriusnya.     

"Kangmas, ayo sekarang kita ke Purwokerto. Aku ingin berbicara dengan mereka berdua!"     

"Ini bahkan hampir pagi, Sayang. Kamu sedang hamil."     

"Ndhak apa-apa, aku bisa tidur di jalan, toh. Semakin lama kita menunda, semakin kita ndhak tahu apa yang akan terjadi nanti. Dan aku ndhak mau, keputusan gegabahmu itu membuat Rianti berpikir lain terhadap niat baikmu. Aku takut jika dia berpikir, karena dia bukan anak kandung kita, kita sampai sekeras itu kepadanya. Aku ndhak mau membuat pikirannya jelek kepadamu, Kangmas. Sebab bagaimanapun, kamu adalah sosok yang selalu menjadi pahlawan dalam hidupnya dari dia kehilangan orangtuanya sampai detik ini. jadi aku mohon kepadamu, Kangmas, bersikaplah lebih hati-hati, ya. Kamu bisa?"     

Duh Gusti, kenapa aku sampai ndhak berpikir sampai sejauh itu? kenapa aku hanya mementingkan perkara emosi semata? Ya, bagaimana jika Ningrum berpikir yang aneh-aneh, kemudian berpikir aku berlaku terlalu keras kepadanya hanya karena dia bukanlah putri kandungku. Aku benar-benar keliru, dan aku harus cari cara untuk menghukumnya dengan cara yang lain.     

Aku langsung menarik tangan Manis, kuajak dia cepat-cepat masuk ke dalam mobil. Sebab kurasa, dua orang yang masih belia itu malah-malah belum makan atau malah ndhak mau makan sama sekali.     

"Lantas, apa yang harus aku lakukan, Ndhuk? Sebagai seorang Romo tentu aku sangat marah dengan apa yang telah mereka lakukan ini. Bagaimanapun aku juga ndhak mau kalau putri kecilku berbuat sesuatu di luar batasnya. Aku ingin melindunginya."     

"Sayang aku tahu, aku tahu sekali apa maksud dari niat baikmu itu. tapi, kamu juga harus paham tentang kondisinya. Jadi bagaimana, kita harus pikirkan satu cara yang paling mujarab untuk mengatasi masalah ini. dari sisimu aku bisa maklum dan paham, toh bagaimanapun kamu adalah romonya, dan aku biungnya. Pasti kita akan sangat kecewa, jika putri tercinta kita melakukan hal yang ndhak benar bahkan dia belum dewasa. Namun demikian, percaya adalah satu hal yang harus kita tanamkan di sini. Agar dia merasa percaya diri dan mendapat tanggung jawab dari dirinya sendiri dan ndhak akan mengulang kesalahan yang sama. Kangmas...," kata Manis lagi yang kini sudah kembali menggenggam tanganku. "Kita sejatinya adalah orang awam masalah mengurus anak. Sebab bagaimanapun kurasa usia kita belum cukuplah matang jika mengurus anak yang sudah remaja. Namun demikian kita harus mencoba dan berusaha, ini semua demi putri tercinta kita. Kita ndhak boleh merasa benar sendiri, kita juga ndhak boleh menghakimi mereka. Kita harus memposisikan diri sebagai kawan, bukan sebagai orangtua. Karena hanya dengan cara itu apa yang kita sampaikan kepada mereka akan benar-benar dimengeri, dan kita sendiri bisa merasakan apa yang sebenarnya mereka rasakan. Tanpa perlu kita merasa sok benar, kita merasa harus dihormati atau apa pun itu. jadi, tatkala kamu marah, apa kata dari mereka, Kangmas? Atas hal yang telah mereka lakukan?"     

"Katanya, mereka sedang khilaf, mereka ndhak sengaja melakukan itu. itu adalah kali pertama mereka melakukannya. Katanya seperti itu, tapi siapa yang tahu. Toh kita juga ndhak pernah melihat mereka. Di belakang kita mereka berbuat apa juga kita ndhak tahu."     

"Ndhak boleh bicara seperti itu, toh," marah Manis kepadaku. "Kita harus percaya. Dilihat dari sifat anak kita, pernahkah dia berbohong kepada kira tentang suatu hal yang serius? Endhak, kan? Dia selalu jujur tentang apa yang ada di dalam isi hatinya. Meski kadang apa yang diutarakan ndhak mengenakkan hati kita. Bahkan teguran-teguran yang dia lontarkan pun tampak gamblang dan nyata. Dilihat dari itu, kurasa apa yang dia katakan itu adalah benar adanya, Kangmas."     

Aku menghela napas panjang, andai saja aku bisa berpikir positif seperti istriku ini. tapi bagaimana lagi, sepertinya aku ini sudah terlahir untuk menjadi seseorang yang mementingkan emosi terlebih dahulu dari pada berpikir masak-masak, itu sebabnya aku sering melakukan hal-hal salah yang kadang membuatku menyesal karena telah melakukannya.     

"Kamu adalah biungnya, semua keputusan ada di tanganmu, Sayang," kataku pada akhirnya.     

Manis tampak sedang berpikir keras, lihatlah betapa alis itu bertaut dengan sangat lucu. Bahkan aku ndhak pernah melihat istriku bisa selucu itu kalau sedang berpikir.     

"Aku jadi bingung," katanya, kemudian dia tersenyum kepadaku.     

"Kenapa kamu tersenyum?"     

"Ya tersenyum saja dulu, nanti kita akan marah-marah, toh?"     

"Dasar ndhak jelas."     

"Ya ndhak apa-apa, yang penting suamiku kan Arjuna Hendarmoko."     

"Ah, dasar... dasar, aku jadi malu."     

���Malu kenapa?"     

"Malu-maluin,"     

"Hahahaha, Kangmas ini!"     

Sesampainya di Purwokerto sudah benar-benar ndhak memungkinkan lagi kalau saat ini ada sidang dadakan. Lihatlah Ningrum, dia benar-benar kerasa kepala sama seperti biungnya. Dia ndhak beranjak dari tempatnya berlutut tadi, dan bersimpuh di sana sambil tidur. Apa dia ndhak merasa dingin? Kenapa dia senang benar untuk menyiksa dirinya sendiri seperti ini.     

Sementara Pandu, dia tampak duduk di ambang pintu, seolah sedang menungguku dan dia pun terlelap. Setya yang tahu akan kedatanganku, tampak sangat bahagia. Lihatlah bagaimana matanya yang merah itu, aku yakin jika dia bahkan ndhak berani memejamkan mata barang sebentar. Aku jadi kasihan dengan dia, salah sendiri terlalu mendengar ucapanku dengan sangat serius. Lha wong orang tidur kok ya ditungguin, dasar Setya ini. kok ya ada Dokter yang kelewat polos seperti Setya.     

"Duh, lama sekali kalian ini. lihatlah, mataku sampai kupaksa untuk tetap terbuka bahkan aku sedang mengantuk luar biasa. Kalian benar-benar menyiksaku!" marahnya.     

Aku kemudian berjalan mendekat ke arah Ningrum, kugendong tubuhnya kemudian kumasukkan dia ke dalam kamar. Kubaringkan dia di atas ranjang. Kemudian dia kuselimuti. Lihatlah malaikat kecilku yang sekarang sudah beranjak dewasa ini. mengingat aku tadi memarahinya benar-benar membuatku ndhak enak hati. Saat kuperiksa keningnya, aku tertegun, badannya panas luar biasa. Apa karena aku memarahinya makanya dia sampai demam? Duh Gusti, apa yang harus aku lakukan.     

Aku hendak beranjak dari tempatku, agar aku bisa memberitahu kepada biungnya jika putri kesayanganya sakit. Tapi, tangan Ningrum menggenggam lenganku kuat-kuat membuatku mau ndhak mau kembali duduk di sampingnya tidur.     

"Romo... maafkan aku, Romo...," lirihnya mengigau. Ternyata benar, kemarahanku benar-benar dimasukkan dia ke dalam hati, bahkan dia sampai menjadi seperti ini. rasanya aku benar-benar sangat berdosa karena telah membuatnya sampai sakit seperti ini. "Romo... aku sayang Romo."     

Aku langsung menangis mendengar igauannya itu, rasanya hatiku seperti diremas-remas karenanya. Aku merasa telah gagal menjadi seorang Romo yang baik untuk putrinya. Duh Gusti, aku benar-benar ndhak tahu harus berbuat apa.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.