JURAGAN ARJUNA

BAB 317



BAB 317

0"Kamu di sini dulu, aku mau pulang sebentar untuk menjemput Manis. Kurasa, tidak akan baik kalau aku mengambil keputusan sendiri. Sebab bagaimanapun, Manis adalah biungnya. Dan aku pasti akan menerima masukanmu juga Manis. Karena kurasa, mengambil keputusan ini secara gegabah benar-benar ndhak akan berguna sama sekali."     

"T... tapi, aku tidak punya pengalaman masalah anak-anak, Arjuna! Aku belum pernah punya anak sebelumnya! Apa yang harus aku lakukan nanti? Bagaimana aku harus bertindak? Aku benar-benar tidak tahu! Arjuna!" kata Setya agaknya ketakutan sendiri. Yang benar-benar membuatku gemas ingin menyumpal mulutnya dengan tai kerbau.     

"Kamu tinggal menyuruh mereka untuk tetap tinggal, jangan ke mana pun sebelum aku datang. Apakah itu hal yang susah? Dan awasi mereka sampai aku datang, jangan sekali-kali kamu mengedipkan mata apalagi sampai meninggalkan mereka berdua saja. apa kamu paham?"     

Setya tampak menelan ludahnya, kemudian matanya memandangku dengan tatapan yang benar-benar ndhak jelasnya itu.     

"Arjuna...," katanya, sembari menepuk bahuku beberapa kali. "Kalau kamu seperti ini, kamu benar-benar seperti seorang Juragan. sangat berkarisma, dan perintahmu benar-benar tidak bisa terbantahkan. Bahkan aku sampai berkaca-kaca ini melihatmu yang tampak luar biasa sekali."     

Cih, dasar pemuda tua ini. bukankah sudah jelas jika aku ini seorang Juragan, bagaimana bisa dia berkata seperti itu. aku mengabaikan ucapannya, kemudian buru-buru pergi. Bahkan aku berusaha sekuat tenaga untuk ndhak mendengarkan teriakan dari Ningrum.     

Aku harus segera pulang, dan aku juga harus segera kembali. Akan kuselesaikan masalah ini terlebih dahulu, sebelum aku menyelesaikan masalah yang lainnya. Terlebih, lusa Manis sudah wisuda aku benar-benar ndhak tahu harus berbuat apa. Kenapa toh hidupku ini, hilang satu masalah timbul lagi yang lainnya. Kok ya sepertinya ndhak pernah sekali saja hidupku ini terhindar dari masalah, kenapa masalah selalu datang dengan cara ndhak diundang dan sangat menyebalkan.     

Setelah perjalanan yang cukup melelahkan, Manis tampaknya kaget, sebab aku pulang tanpa membawa Setya ikut serta. Dia berjalan di belakangku, kemudian menutup pintu kamar rapat-rapat, sebab aku bilang dengan dia jika ada hal penting yang harus aku katakan. Setelah kami berdua berada di dalam kamar, Manis duduk di sebelahku, kemudian dia menggenggam kedua tanganku erat-erat, seolah tahu jika ada yang menganggu pikiranku, seolah dia tahu jika aku benar-benar sedang ndhak tenang sekarang.     

"Kangmas, apakah ada sesuatu yang membuatmu risau? Bagaimana bisa, kamu pulang membeli bahan bangunan sampai selarut ini, Dokter Setya ndhak ikut serta, ditambah wajah bagusmu kamu tekuk seperti ini. apakah ada masalah dengan Dokter Setya? Atau masalah lain yang mungkin membuatmu risau?" tanyanya.     

Aku melihat ke arah Manis, kemudian kupandang lagi perutnya yang mulai membuncit. Gusti, apa aku harus mengatakannya? Apa dia ndhak akan kaget dengan penuturanku ini? apa dia akan baik-baik saja?     

"Sayang," kubilang, kini kugenggam erat pundaknya, sambil kutatap mata indahnya itu. "Jika aku mengatakan sesuatu kepadamu tentang suatu hal sekarang, apa kamu bisa berjanji untuk tetap tenang?" kutanya. Manis tampak mengerutkan keningnya, seolah dia curiga perkara apa yang hendak aku sampaikan.     

"Perkara apa itu, Kangmas? Katakanlah, bukankah Kangmas sudah tahu bagaimana hebatnya istrimu ini tatkala mendengar kabar-kabar mengejutkan? Meski tampak luarnya lemah, istrimu ini adalah istri yang paling kuat sedunia," ucapnya yang berhasil membuatku mencium hidung bangirnya. Dia ini benar-benar kadang-kadang bisa menghibur dengan cara yang aneh sekali.     

"Tadi, sebenarnya aku dan Setya membeli bahan bangunan bukan di kecamatan atau pun di Kabupaten. Tapi aku mengajak Setya pergi beli bahan bangunan di Purwokerto."     

"Duh Gusti, kok ya jauh sekali, toh, Kangmas, masa pergi beli bahan bangunan sampai sejauh itu. berapa biaya ongkos mobil untuk mengangkut bahan-bahan bangunan itu?" Manis kemudian diam sesaat, lalu dia memandang ke arahku. "Apa karena kamu rindu anak kita? Kamu pulang sampai selama ini karena singgah di rumah kita? Iya?" tanyanya yang rupanya tahu arah dari pembicaraanku ini. aku pun mengangguk.     

"Iya, tujuanku memang itu. karena aku merasa sudah lama ndhak mengunjungi anak kita. Juga penasaran dengan apa yang dia lakukan, dan Pandu... dan Pandu apakah dia bisa menjalankan tugasnya dengan baik apa endhak."     

"Terus? Mereka ndhak apa-apa, toh? Mereka sehat dan baik-baik saja, toh?" selidik Manis yang tampaknya bingung, di mana letak yang membuatku risau. Aku mengangguk lagi menjawabi ucapannya itu. dia tampak menghela napas dengan lega.     

"Waktu aku di sana, sampai sore, keduanya bahkan belum ada di rumah. Padahal biasanya siang anak kita sudah pulang sekolah. Jadi, aku berpikir jika aku menjemput Ningrum barangkali ada suatu hal yang membuatnya pulang terlambat."     

"Terus?" tanyanya yang semakin penasaran.     

"Saat aku sampai di sana, pintu gerbang semuanya sudah dikunci. Pertanda jika ndhak ada lagi siswa yang tinggal di sekolah. Jadi aku hendak pulang, mungkin saja aku ndhak tahu kalau saat itu Ningrum sudah pulang. Tapi...," kataku terhenti, tangan Ningrum tampak meremas tanganku dengan erat, dia seolah semakin penasaran dengan apa yang hendak aku katakan. "Tapi aku melihat di bali pohon besar tepat di depan pagar sekolah, ada Pandu juga Ningrum. Mereka... mereka berciuman,"     

Diam, itulah yang dilakukan Manis sekarang. Bahkan aku ndhak bisa melihat bagaimana ekspresinya saat ini. dia benar-benar tampak ndhak terjadi apa-apa, hanya matanya saja yang berkedip-kedip dengan cara aneh. Apakah dia pingsan dengan mata terbuka? Ataukah dia sedang melamun sampai ndhak mendengar apa yang aku ucapkan? Manis, benar-benar tampak membingungkan. Untuk kemudian, dia memalingkan wajahnya dariku, sambil menghela napas panjang. Kemudian dia memandangku dengan tatapan nanarnya itu.     

"Lantas, apa yang Kangmas lakukan kepada mereka? Memarahi mereka? Atau bagaimana?" tanyanya penuh selidik. Lihatlah seorang Biung ini, dia lebih ketakutan jika putrinya aku sakiti dari pada memikirkan perasaanku sebagai seorang Romo yang merasa telah dikhianati oleh dua anak muda itu.     

"Pandu kupukul kepalanya, aku ndhak menyangka kalau dia masih hidup sampai sekarang. Bahkan dia ndhak pingsan atau apa pun...," kataku menjelaskan. Manis tampak menahan napas, tapi dia ndhak mengatakan hal-hal apa-apa lagi. "Sementara Ningrum, aku seret dan kupaksa kembali ke rumah, dan aku berpikir untuk mengeluarkannya dari sana dan berpindah saja sekolah di sini. Lebih dekat dia dengan kita bukankah itu lebih baik? Agar seendhaknya kita bisa mengontrolnya. Agar seendhaknya dia ndhak melalukan hal yang lebih jauh dari pada ini. kamu tahu, kan, bagaimana gelora anak muda. Sekarang bisa saja mereka hanya sekadar ciuman, tapi nanti? Kita ndhak tahu mereka akan berbuat apa, Manis. Terlebih, mereka ada di luar jangkauan kita. Kita ndhak bisa mengawasi mereka selama 24 jam. Aku ndhak mau kalau terjadi sesuatu yang lebih jauh dari pada ini."     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.