JURAGAN ARJUNA

BAB 330



BAB 330

0"Jadi intinya sekarang, kamu sudah setuju dengan pendapat Romo dan Biung, toh?" tanya Manis, Ningrum mengangguk menjawabi ucapan biungnya. "Sekarang seperti ini, Biung memberimu sebuah tugas."     

"Apa, Biung?"     

"Nanti setelah kita sampai di Purwokerto, cobalah kamu bicara dengan Pandu. Ambil harga dirimu kembali, agar dia ndhak mengira kamu perempuan murahan yang maunya saja dicium-cium seperti itu. Tanyakan kepadanya, kenapa dia menciummu. Apa alasannya menciummu seperti itu? Dan kamu harus bertindak tegas. Setelah kamu mendapatkan jawabannya, giliran Biung yang akan beraksi."     

"Beraksi bagaimana, Biung?"     

"Ya dia kan belum sempat kita sidang, toh, kenapa dia menciummu. Jadi, akan Biung sidang, dan akan Biung tanyai perkara pernikahan ini. Jika dia setuju dengan pernikahan itu, berarti dia setuju bukan karena terpaksa, tapi karena isi hatinya sendiri. Jadi, kamu ndhak perlu lagi merasa jika Pandu terpaksa menikah denganmu. Bagaimana, apa kamu setuju?"     

"Tapi, jika dia ndhak mau menikah denganku, Biung?"     

"Maka semuanya ndhak akan apa-apa, toh kamu ndhak akan jatuh harga dirimu. Karena Biung ndhak menawarkan kamu kepadanya dengan cara murah, toh, kalau seperti itu?"     

Ningrum kembali terseyum, kemudian dia memeluk Manis. Sesekali, dia tampak menghela napasnya seolah apa yang dikatakan biungnya sedikit banyak membuatnya lega.     

"Terimakasih ya, Biung. Karena Biung sudah memikirkanku sampai sejauh ini. jujur perkara menikah juga sangat aneh di telingaku, tapi melihat ikatannya yang cenderung suci juga lebih baik dari pada ndhak jelas seperti sekarang ini, aku seendhaknya setuju, seendhaknya aku ingin melindungi harga diriku sendiri selagi aku bisa. Dan biarkan waktu satu tahun ini membuatku untuk mengenalnya lebih jauh lagi, jika mungkin dia menyetujui pernikahan ini. aku yakin, dalam waktu satu tahun seendhaknya kita akan lebih tahu tentang masing-masing, tanpa perlu ada yang harus terpaksa, dan kemudian membiarkan semuanya mengalir seperti air."     

"Duh Gusti, anakku memang benar-benar seorang gadis yang sekarang sudah dewasa, toh. Pantas benar jika banyak orang yang tergila-gila padanya," kata Manis sambil mengecup puncak kepala Ningrum yang kebetulan tidur di pangkuan biungnya.     

"Ah Biung ada-ada saja, ohya Romo kemana toh? Kok tumben benar sepi. Apa dia pergi mengunjungi pabrik?" tanya Ningrum.     

Manis tampak mengulum senyum, kemudian dia melirik ke arahku bersembunyi. Mungkin dia ingin menertawakanku, jelas saja lihatlah wajahnya yang menyebalkannya itu, seolah dia telah menang bertaruh denganku, dan aku menjadi seorang pecundang karenanya. Dasar istriku ini, untung aku sayang.     

"Dia sedang ada tugas negara, Ndhuk. Yang ndhak akan bisa diganggu gugat siapa pun. Tugas negaranya itu penting sekali, bahkan lebih penting dari pada nyawanya sendiri."     

Ningrum mengerutkan keningnya, sepertinya ndhak paham dengan apa yang diucapkan oleh biungnya.     

"Tugas negara apa, toh, Biung? Apa Romo mau menjabat sebagai menteri?" tanyanya yang semakin bingung.     

"Iya, menteri rumah tangga," jawab Manis pada akhirnya.     

Setelah itu aku benar-benar terjebak di sini, bahkan sampai kedua kakiku kesemutan karenanya. Manis dan Ningrum benar-benar ndhak mau kemana-mana, bahkan sampai membuatku memutuskan diri untuk tidur dulu sebelum mereka benar-benar pergi.     

Sampai saat tiba-tiba, sebuah tepukan di bahu membuatki kaget luar biasa. Suwoto ada di sampingku, memandangku dengan tatapan bingungnya itu.     

"Juragan kenapa ada di sini, toh? Ada apa? Ada masalah? Bertengkar dengan Ndoro Manis?" tanyanya.     

"Di mana Manis, dan Ningrum? Apakah mereka sudah pergi dari sana?" tanyaku sembari menunjuk kepada ruang tamu.     

Suwoto tampak memandang ke arah ruang tamu, kemudian dia kembali emmandang ke arahku.     

"Mereka sedang tidur, Juragan. Dengan sangat pulas," jawab Suwoto pada akhirnya.     

Mendengar jawaban Suwoto aku segera bangkit, benar-benar rasanya kakiku kesemutan semua. Kulhat Manis dan Ningrum tampak saling pelukan, tidur di kursi panjang yang bahkan kursinya ukurannya benar-benar kecil.     

"Suwoto, ayo bantu aku angkat kursi yang ada d sisi kanan, taruh di samping kursi itu, biar keduanya nanti ndhak jatuh."     

"Baik, Juragan,"     

Kami pun mengangkat kursi dengan sepelan mungkin, setelah semuanya siap, dan selesai, aku langsung mengambil selimut untuk mereka. Menyelimuti mereka yang bahkan ndhak terganggu sama sekali dengan apa yang kulakukan kepada mereka. Benar-benar tidur pulas, sebuah potret anak dan Biung yang benar-benar sangat manis di sini.     

Aku mengulum senyum, sambil melipat kedua tanganku di dada. Sementata Suwoto tampak memandang ke arahku.     

"Jika orang lain yang melihat ini, ndhak akan ada yang tahu jika keduanya ndhak memiliki hubungan darah apa pun. Kedekatan mereka bahkan melebihi kedekatan seorang Biung dan anak pada umumnya," celetuk Suwoto.     

Aku membenarkan ucapan Suwoto itu, sebab benar memang apa yang dia katakan. Kedekatan Manis dan Ningrum benar-benar luar biasa, aku saja sampai ndhak tahu, ikatan batin apa sampai-sampai membuat mereka tampak semanis ini.     

"Aku jadi berpikir, Suwoto. Andai sekarang orangtua Ningrum masih hidup. Akankah dia menjadi semanis ini kepada kami? Atau pertanyaanku yang salah? Apa dia semanis ini kepada orangtuanya? Sebab yang kutahu dulu, dia agaknya ndhak begitu dekat dengan bapaknya, dan dengan emaknya pun dia agak segan. Aku hanya heran kenapa dengan Manis dia bisa semanja itu, bahkan melebihi kedekatannya dengan kedekatan emaknya sendiri."     

"Ya mungkin, karena Ndoro Manis mampu menjadi sosok yang sangat dibutuhkan Ndoro Ningrum, Juragan. Ndoro Manis menempatkan dirinya ndhak hanya sebagai sosok Biung, akan tetapi dia juga bisa menempatkan dirinya menjadi seorang Mbakyu, juga kawan. Itu sebabnya Ndoro Ningrum jadinya merasa nyaman. Nyaman yang benar-benar nyaman sampai rasa sungkan antar anak dan orangtua itu hilang. Hilang bukan berarti lantas Ndoro Ningrum ndhak punya sopan santun. Ndhak sama sekali. Hilang dalam arti, dia berada di level yang berani manja, berani menumpahkan segala gundah di hatinya bahkan dalam perkara hati."     

Aku diam melihat ucapan Suwoto yang panjang lebar itu. Ucapannya benar-benar membuatku terpana. Aku sama sekali ndhak menyangka lho, jika Suwoto bisa berkata seperti itu. tak pikir hanya Paklik Sobirin saja yang pandai berceramah di saat-saat genting seperti ini.     

Sepertinya, ajaran dari Biung benar-benar luar biasa, dia mampu mengubah sosok keras, kolot seperti Suwoto menjadi sosok yang bijaksana dalam berkata seperti ini. sepertinya, aku harus membelikan Biung sebuah piala, piala atas keberhasilannya mengubah seseorang dalam waktu sesingkat-singkatnya.     

"Kamu belajar kata-kata mutiara dan kata-kata bijak itu semua dari Biung?" kutanya pada akhirnya, Suwoto malah tersenyum. Entah bagian mananya dari ucapanku yang menurutnya lucu. Sepertinya juga tersenyum merupakan kegemarannya sekarang. Aku benar-benar heran dengan Suwoto. Jangan-jangan nanti saat aku butuh dia untuk berkelahi dengan musuh, atau membunuh orang, dia malah akan menceramahi musuh-musuh itu, kemudian mengajak musuh-musuh itu untuk tobat. Jika benar itu terjadi, musnahlah semua harapanku kepada Suwoto     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.