JURAGAN ARJUNA

BAB 331



BAB 331

0Sore ini, aku dan keluarga kecilku berangkat kembali ke Purwokerto. Tentu, setelah aku berpamitan dengan Ucup, dan lain sebagainya. Kini, ada tugas baru yang diemban, yaitu untuk memastikan bagaimana Pandu ini. Kalau, anak satu itu ndhak mau juga membuka mulutnya, maka aku ndhak akan segan-segan untuk memotong-motong burungnya yang kecil itu.     

"Jadi, ini langsung ke Purwokerto, Juragan?"tanya Suwoto kepadaku, aku mengangguk seperlunya, kemudian kulihat wajah Manis yang agaknya tegang itu.     

"Kamu kenapa?" bisikku.     

"Lagi sibuk memikiran kata-kata untukku bertanya kepada Pandu tatkala nanti kami sampai di Purwokerto. Sebab aku yakin, kalau Kangmas ndhak akan pernah mau melakukannya sendiri, toh? Pasti aku yang akan disuruh lagi. Lalu, Kangmas bagian sembunyi," kata Manis. Yang agakny sebal dengan kelakuannya.     

Aku mengulum senyum, sembari kutoel-toel pipinya yang seperti apem itu. Dia itu benar-benar kalau sedang marah memang lucu sekali, toh.     

"Nanti tak kasih bonus, istriku yang cantik ini minta apa saja tak penuhi."     

"Yakin?" tanyanya yang agaknya ragu dengan ucapanku itu. kunaik—turunkan alisku kemudian aku mengangguk semangat.     

"Yakin,"     

"Awas saja kalau ndhak mau," katanya sambil mengulum senyum. Aku benar-benar curiga, apa gerangan yang hendak dia inginkan? Bagaimana bisa tampangnya aneh seperti itu. Apakah sesuatu yang dia minta itu ada hubungannya dengan mempermalukanku? Awas saja kalau sampai seperti itu, aku pasti ndhak akan segan-segan untuk membuatnya ndhak keluar kamar sehari—semalam.     

Aku kembali menghelakan napas beratku, tatkala Manis merebahkan kepalanya di bahuku. Kulihat jalanan kota Jakarta yang kian hari kian tampak ramai. Kira-kira berapa tahun lagi sampai kota ini nanti akan menjadi padat penduduk dan bahkan akan menjadi ndhak asri lagi? berganti dengan polusi-polusi yang memenuhi udara di sini.     

Lagi aku kembali menghela napas panjang, mungkin setelah ini aku akan benar-benar lama sekali untuk ke sini lagi. rasanya kok ada rasa aneh yang menjalar di dalam dada. Rasanya, sedikit berat jika harus melepas semua kenangan manis di sini. Rasanya sedikit sesak tatkala haru meninggalkan tempat ini. Namun, bagaimana lagi memang. Di sini bukan kampung halamanku, biar bagaimanapun, kampung halamanku adalah di Kemuning. Dan jika harus disuruh memilih, diberi pertanyaan seribu kalipun, hasilnya akan tetap sama. Meski berat, meski sedih, harus berpisah dengan cara seperti ini. aku akan tetap memilih Kemuning.     

Kemuning bagiku, ibarat kata Manis. Sejauh mana aku agaknya terbau dengan perempuan mana pun. Tetap saja, Kemuning adalah tempatku untuk pulang.     

Lucu, memang. Bagaimana bisa aku menyamakan istriku sendiri dengan kampung. Tapi asal kalian tahu, kampung yang saat ini aku cintai, memang hampir sama dengan arti istriku tercinta di hati. Bahkan, aku ndhak akan pernah rela jika sampai kampungku itu berubah tanpa adanya aku yang menyaksikannya. Aku selalu ingin menjadi bagian terpenting darinya, dalam proses apa pun itu. Kemuning, bukan kota, memang. Bahkan bisa disebut dengan kampung pedalaman yang letaknya di lereng gunung. Namun ketahuilah, hijaunya Kemuning, indahnya Kemuning selalu nomor satu di hati. Dan kelak, saat tempat wisata dan penginapan-penginapan itu sudah beroprasi, aku yakin kalau semua orang akan mengagumi Kemuning juga, mereka akan takjub dengan Kemuning. Sebab di mataku, Kemuning adalah ibarat syurga dunia yang telah diciptakan oleh Gusti Pangeran dengan sangat nyata.     

"Juragan, kenapa, toh? Sedari tadi aku perhatian Juragan melamun terus. Apa Juragan ndhak suka kita pada akhirnya kembali ke kampung halaman lagi?" tanya Suwoto yang agaknya ternyata dia telah memerhatikanku di balik kaca mobil.     

"Aku hanya rindu saja dengan Jakarta. Kan sudah bertahun-tahun tinggal di sini, Suwoto. Seperti ada sesuatu yang penting yang akan kutinggal."     

���Termasuk kenangan-kenangan dengan Widuri?" tanyanya, aku melirik ke arahnya, tapi dia tersenyum juga. Dia ini, pandai benar untuk membuat orang salah tingkah rupanya. Bagaimana bisa dia membahas Widuri terlebih di sini sedang ada Manis. Nanti kalau Manis dengar bagaimana, kan jadi akan salah kaprah.     

"Jangan bahas yang lalu, terlebih itu adalah sebuah kesalahanku. Aku ndhak mau yang ada namanya penyesalan dari apa yang salah dan disalahkan. Aku ndhak mau istriku salah paham dengan ucapanmu, Suwoto. Namun begitu, aku jiga ndhak menyalahkanmu. Sebab kurasa aku sedikit menyesalkan. Menyesalkan bukan berarti jika aku merindukannya. Akan tetapi, bagaimna harus adaa nyawa yang melayang pada setiap lika-liku kehidupanku. Mulai dari Minto dan antek-anteknya, mulai dari Simbah Manis, dan terakhir adalah Widuri. Aku hanya berdoa, semoga ndhak ada lagi korban dari apa yang telah aku lakukan. Aku ndhak mau kalau sampai ada orang yan sakit atau pun merasa kehilangan karenaku.     

Karena aku rasa, aku bukan orang sehebat itu, yang akan membuat semua orang merasa aku ini berharga, sampai harus membuat nyawa mereka melayang secara sia-sia.     

"Nanti saya langsung ke Kemuning dulu, Juragan. Ada hal yang Juragan Nathan suruh saya dan Sobirun untuk melakukannya."     

"Apa?"     

"Besok kan ada panen mentimun serta wortel, Juragan. Nah rencananya Juragan Nathan mau membawa pulang beberapa karena hendak diberikan kepada warga kampung. Sama mau dikirim ke rumah orangtua Juragan Bima. Tanaman organik segar, agar orangtua Bima sekali-kali merasakan sayur-mayur segar dari Kemuning. Boleh juga nanti kalau mereka ada di sana dan tahu tentang perkara sayur-mayur ini bisa diguanakan untuk sarana mempromosikan hal perkebunan Ngargoyoso.     

Dasar Romo ini, pandai benar otaknya dalam menciptakan peluang. Bagaimana bisa dia memanfaatkan besannya untuk berbisnis seperti ini, toh. Tapi, boleh juga itu. Pasar Jakarta cukup besar. Kalau sampai pasar sana menerima hasil perkebunan penduduk Kampung, pasti mereka akan semakin semangat berkebun, menghasilkan banyak uang untuk kepentingan dan kesejahteraan hidup mereka.     

"Aku setuju dengan pemikiran dari Romo itu. Mengingat pasar-pasar di kota juga sudah banyak menerima sayur-mayur dari tempat lain. Jadi, apa salahnya menciptakan peluang? Meski aku sendiri pun yakin, jika pemasok dari pasar Jakarta pun ndhak akan sedikit. Tapi, mengingat dari hasil panen Ngargoyoso aku benar-benar optimis, Suwoto. Jadi, kamu disuruh untuk membantu mengangkat itu, toh?"     

"Iya, Juragan. karena banyak orang yang sibuk karena musim panen seperti ini. jadi, Juragan Nathan kekurangan orang untuk membantu."     

"Apalagi Paklik Junet, dia yang biasanya membantu mengangkat hasil panen. Sepertinya, kamu ajak Paklik Junet pulang dulu ndhak apa-apa. Toh di sini sudah banyak orang. Kasihan Romo, pontang-panting sendirian. Nanti kalau urusanku dengan Pandu sudah selesai, aku akan menyusul," kubilang pada akhirnya.     

Aku kemudian melihat kembali Manis yang masih tidur, dan Ningrum yang sama –sama terlelap. Dua perempuan ini memang kalau dalam perjalanan, ndhak bisa bertahan terjaga barang sebentar.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.