JURAGAN ARJUNA

Bab 17



Bab 17

0"Lama benar, toh, kalian ini. Ke mana saja?" tanya Biung saat aku, dan Manis baru saja sampai ke rumah.     

Kuacak ujung rambutku yang basah, kemudian aku pergi tanpa menjawab pertanyaannya Biung. Tapi, Biung kembali menarikku untuk kembali.     

"Perasaan tadi kamu berangkat ndhak keramas, lho, Juna,"     

"Mandi, di rumah Manis, Biung," jawabku.     

Biung mengerutkan keningnya, hendak bertanya lagi. Kemudian buru-buru kuambil tangan Manis, dan tangannya.     

"Katanya mau pergi berdua, ya sudah, sana. Nanti kesiangan,"     

Kukedipkan mataku ke arah Manis, dia masih diam seperti orang sungkan.     

"Akhirnya, aku ndhak onani lagi. Hasratku yang selama ini terpendam, tersalurkan,"     

Aku langsung melotot mendengar sindiran dari Paklik Junet. Laki-laki ini, kenapa bisa tahu?     

"Paklik--"     

"Ndhak usah heran aku tahu dari mana. Yang jelas, kalian itu benar-benar sudah mencurigakan. Pergi keringkan rambutmu dan bergantilah baju, sebelum Kang Mas Nathan curiga kepadamu,"     

"Paklik bisa diam?"     

"Untuk urusan ini, aku ndhak berani buka mulut. Tapi, kamu sudah cukup keterlaluan, Arjuna..."     

Paklik Junet mengikutiku ke kamar, mengambilkanku handuk dan pakaian ganti.     

"Manis, meski aku telah menjelek-jelekkannya waktu itu. Tapi, sayang sekali kalau kamu telah merebut mahkotanya. Dia telah memiliki calon suami, dan dia adalah salah satu perawan di kampung yang memiliki sopan-santun yang baik. Kenapa harus Manis, Juna? Jika kamu ingin melepas berahimu, kenapa kamu ndhak merayu perawan lainnya saja, Juna? Aku yakin dengan wajah bagusmu itu semua perempuan akan mengantree untuk sekadar tidur denganmu. Kamu sudah tidur dengan Arni, sekarang dengan Manis. Mau kamu apa, Juna? Jangan permainkan perasaan perempuan."     

"Paklik, dengarkan aku. Dengan Arni aku ndhak melakukan apa pun, sungguh. Aku ndhak tidur dengan dia," jawabku yang mencoba menerangkan.     

Meski terkesan aneh, tapi apa yang dikatakan oleh Paklik Junet benar adanya. Dan, seorang Paklik Junet sampai mengatakan itu, berarti kesalahanku fatal sekali.     

"Dan aku, ndhak akan melakukan itu kepada perempuan sembarangan. Apa Paklik paham?"     

"Paham apa?" tanya Romo Nathan membuatku, dan Paklik Junet memekik.     

Gusti, jangan sampai Romo tahu masalah ini. Jika dia tahu, bisa dikuliti hidup-hidup aku.     

"Cepat kenakan hemmu itu sebelum romomu melihat tanda merah-merah itu di seluruh dadamu," bisik Paklik Junet.     

"Anakmu ini, ndhak paham-paham, Kang, kenapa perasaannya bimbimbang. Dia adalah satu-satunya laki-laki yang ndhak paham masalah hati," dusta Paklik Junet. Kesurupan lelembut apa gerangan Paklik ini. Tumben benar dia menutupi aibku.     

"Lho, bukankah dia sudah menemukan sosok si pemilik semangka kembar itu?" kata Romo Nathan sambil duduk di dipanku. Aku pun ikut duduk di sana, sementara Paklik Junet memilih duduk di kursi.     

"Boleh, Romo? Dia, kan, telah memiliki calon suami," kubilang hati-hati.     

"Memperjuangkan itu adalah hakmu. Asalah orang yang kamu perjuangkan itu benar. Selama belum sah, Romo masih mendukung. Tapi kalau sudah sah milik orang, jangan sampai kamu merebutnya,"     

"Jadi, ini sah, ya, Romo?" kataku lagi sambil mengulurkan tangan seolah membuat perjanjian dengannya.     

Romo pun membalas ulurkan tanganku. "Agak berat ini, agak pusing," jawabnya yang berhasil membuatku tertawa.     

"Terimakasih, Romo,"     

Kupeluk tubuh Romo Nathan dengan erat. Sebelum pintu kamarku digedor-gedor oleh seseorang dengan ndhak sabaran.     

"Arjuna, Arjuna!"     

"Manis?" kata kami bertiga hampir bersamaan.     

Aku pun keluar bersama dengan Romo, dan Paklik Junet. Melihat kenapa gerangan sampai Manis tampak kebingungan.     

Kugenggam kedua lengannya agar tenang, mata Manis tampak nanar seolah dia ingin menangis sekarang.     

"Tenang, tenang... ada apa? Kamu sakit? Atau bagaimana?" tanyaku yang ikut panik.     

Manis langsung memelukku, entah dia sadar apa endhak, jika saat ini sekarang Romo ada di sampingku.     

"Ehem! Ndhak apa-apa, kok, pelukan saja. Yang erat, anggap saja kami berdua ini reco. Ndhak apa-apa, kami ikhlas," sindir Romo. Manis pun langsung mundur.     

"Ada apa, apa ada yang menganggumu?" tanyaku lagi. Penasaran dengan ekspresi yang ditampilkan Manis. Dia benar-benar tampak ketakutan.     

"Mbakyu Arni, Juna. Dia... dia dipukuli Kang Muri di pasar. Dan entah, entah dia masih bisa hidup epa endhak. Tolong selamatkan dia, kasihan,"     

Tanpa pikir panjang, aku langsung menarik tangan Manis, dan bergegas pergi ke pasar. Sungguh, air mata Arni kembali lagi terngiang di otakku. Jangan sampai, jangan sampai dia kenapa-napa karena ulah bodohku. Sebab jika terjadi, aku adalah orang yang paling berdosa di sini.     

Sepanjang perjalanan Manis menjelaskan, jika Biung yang hendak menolong Arni ditodong oleh Muri. Dan diberitahu semua kesalahpahaman yang ia dapatkan sebagai sebuah fakta. Di depan banyak orang. Biar pun Biung meminta tolong kepada orang-orang yang ada di pasar, mereka diam membisu. Alasannya sangat klise, karena mereka takut dengan Muri. Sebab Muri saat ini tengah membawa parang, yang katanya hendak menggorok leher istrinya, dan dipajang di tengah pasar. Jujur, tangan dan kakiku gemetar mendengar penuturan Manis. Bahkan, binatang pun akan lebih terhormat dari pada lelaki biadab itu.     

Benar saja, setibanya aku di pasar, banyak suara berteriak ndhak karuan. Para ibu yang membawa anak kecil berlarian pergi dari pasar dengan wajah ketakutan mereka.     

"Manis, kamu bisa temui Biung dan ajak pulang? Aku akan mengurusi semuanya," aku hendak pergi. Tapi, lenganku digenggam erat oleh Manis. Matanya memandangku dengan penuh khawatir.     

"Berjanjilah kamu akan baik-baik saja,"     

"Aku akan baik-baik saja," kataku.     

Sebenarnya, yang kutakutkan bukan perkara apakah aku akan baik-baik saja atau bukan. Melainkan, akanah hubungan yang baru saja kujalin dengan Manis akan bisa bertahan atau bukan. Sebab aku merasa buruk tentang ini.     

Setengah berlari aku mendekat ke arah asal suara, teriak kesetanan Muri seolah dialah yang paling perkasa di sini. Dan seolah, dialah yang memiliki hak penuh atas semua ini.     

Tepat di ujung kanan bagian pasar, kulihat Muri berdiri dengan kesetanan. Menghunus parangnya hendak ditebaskan kepada Arni.     

Arni, Gusti, perempuan itu. Telah tekapar ndhak berdaya di rerumputan. Dibarengi dengan suara jerit kedua anaknya karena kutakutan. Aku bergegas mendekat, mengambil apa pun untuk menghadang parang Muri. Alangkah terkejut aku saat melihat secara nyata, tubuh Arni penuh dengan luka. Dan kepalanya, Gusti, rambut indahnya hilang sebagian diganti dengan luka akibat jambakan. Luka itu tampak menyayat kulit kepalanya sampai darah segar terkucur dari sana.     

Kenapa ada manusia kejam seperti Muri. Manusia yang tega memperlakukan istrinya sendiri sampai sejauh ini. Perempuan yang telah memberinya keturunan, yang telah mengabdikan hidup untuknya. Gusti, adilkah ini? Dan parahnya, ini terjadi karenaku.     

"Siapa di sini, siapa, yang berani memanggil Juragan kurang ajar itu. Biar mereka berdua tahu rasa. Bagaimana hukum adat kampung ini berjalan! Siapa pun yang telah menodai kampung ini, siapa pun yang telah meniduri istri dari seseorang, pantas diarak keliling kampung! Pantas disiksa sampai mereka lupa akan malunya sendiri!"     

Warga kampung diam, selain mereka berkasak-kusuk mereka ndhak melakukan apa pun. Aku yakin, mereka sungkan dengan Biung yang saat ini masih terduduk di dekat Arni.     

"Hey, Ndoro Larasati. Bagaimana ini? Nyatanya, putra kesayanganmu yang terus kamu banggakan itu. Telah menuruni kelakuan binalmu. Menjadi perebut milik orang. Rupanya, karma itu benar nyata, toh!"     

"Bangsat!" marahku.     

Boleh dia menghinaku dengan ucapan apa pun, boleh dia memfitnahku dengan perkataan apa pun. Tapi, jika Biung yang diusik sedikit saja. Maka, aku ndhak akan pernah terima.     

"Sekali lagi kamu bicara kotor tentang Biung, aku ndhak segan-segan merobek mulutmu, Biadab!"     

Aku langsung menarik biung untuk menepi. Menuntunnya agar bersama dengan Manis. Kemudian, berjalan mendekat ke arah Arni yang sudah ndhak sadarkan diri. Dia kejang, dengan darah yang berlumuran. Dengan kondisi yang mengenaskan. Tubuhku bergetar melihat kejadian ini, hatiku hancur mendengar tangisan pilu kedua anaknya. Dan ini, karenaku.     

"Perempuan ibarat baju, Juragan. Sekali dipakai orang lain, maka baju itu menjadi barang kotor dan ndhak berharga,"     

Setelah mengatakan itu Muri langsung mengayunkan parangnya. Hendak menyabet Arni. Tapi, segera kuhadang dengan kayu yang tadi kubawa. Tapi sial, kayu itu ndhak cukup kuat untuk menghadang. Setelah kayu itu terbelah, parang Muri langsung mengoyak lenganku.     

"Kamu tahu, Muri, sekarang di negara ini, hukum bisa ditegakkan dengan seadil-adilnya. Memfitnah pun akan mendapatkan hukumannya, terlebih... seorang suami yang menyiksa istrinya sampai seperti ini."     

"Halah, Bajingan. Ndhak usah omong kosong, kamu!"     

Dia hendak memukulku, tapi aku langsung meninjunya sampai dia mundur beberapa langkah ke belanang. Menendangnya sampai dia tersungkur, kemudian membogem rahangnya. Aku benar-benar, benci dengan lelaki yang ringan tangan dengan perempuan seperti dia. Benar-benar benci.     

"Aku sudah memperingatimu dulu. Jika kamu ndhak bisa menjaga istrimu, dengan senang hati aku akan merebutnya darimu."     

Aku langsung membopong Arni, dan menggandeng Ningrum beserta Kangmasnya untuk pergi.     

"Bajingan kamu, Arjuna! Aku akan membuat perhitungan denganmu perihal ini! Warga kampung, sekarang kalian tahu, toh, jika apa yang kukatakan benar adanya! Istriku telah digoda oleh Juragan Arjuna Hendarmoko! Mereka telah beberapa kali bertemu secara diam-diam, dan kelon. Benar-benar binatang menjijikkan yang ndhak tahu diri!"     

Semua orang langsung menyorakiku tanpa henti. Bahkan, ada beberapa warga kampung yang melempariku sayur-sayuran beserta dengan telur. Aku ndhak peduli. Yang terpenting sekarang adalah menyelamatkan Arni. Masalah ini akan kuselesaikan secara tuntas lewat perangkat kampung juga secara hukum. Toh, aku ndhak merasa bersalah di sini.     

*****     

"Seharusnya kamu ndhak ikut kesini," kataku setelah lama diam.     

Sekarang, aku berada di puskesmas di kecamatan. Puskesmas cukup besar dengan peralatan yang cukup lengkap. Kata dokter yang ada di sini, mereka mampu merawat Arni tanpa harus membawanya ke rumah sakit. Meski, memerlukan waktu cukup lama untuk memulihkannya seperti sedia kala. Selain luka dalam, luka luar Arni sangat mengenaskan.     

"Aku khawatir. Lagi pula nanti anak-anaknya Mbakyu Arni bagaimana? Kamu pasti akan sibuk mengurusinya,"     

Sungguh hatiku semakin sakit saat tahu jika Manis ikut serta ke sini bersamaku juga. Dengan wajah khawatirnya yang begitu tulus. Aku telah melukai perasaannya.     

"Maafkan aku, Manis. Kamu terluka karenaku. Ini benar-benar sangat sulit," kubilang.     

Manis menundukkan kepalanya, kemudian dia terssnyum kaku.     

"Untuk apa minta maaf, toh, memang semuanya telah sulit dari awal. Tanpa adanya Mbakyu Arni, dan Minto pun, semuanya sudah sulit, dan ndhak mungkin, Arjuna."     

"Maksudmu? Lalu kenapa kamu mau melakukan itu denganku tadi? Kamu bisa menolaknya, Manis, sungguh!"     

"Simbah ndhak menyukaimu itu saja."     

"Kenapa?" tanyaku yang semakin penasaran. Sungguh, Simbah Manis tampak begitu ramah denganku. Tapi kenapa dia ndhak menyukaiku?     

"Entahlah, aku harus bali. Paklik Sobirin telah menungguku lama,"     

Aku nyaris menyentuh tangannya, nyaris saja. Tapi dia menghindari sentuhanku. Aku tahu, sikap biasanya saja bukanlah hal yang biasa. Dia pasti telah kecewa, lagi.     

"Pak, istrinya sudah bisa ditunggu, lho," kata salah satu perawat yang ada di sana.     

Aku bergegas masuk ke dalam ruangan Arni, melihatnya masih berbaring di tempat tidur dengan banyak perban.     

Ningrum memeluk kakiku dengan deraian air mata, ia pun berkata, "Juragan, Juragan... apakah Emak akan baik-baik saja? Biung ndhak mati, toh?"     

Bisa kulihat dengan jelas, dia menangis. Ningrum, melihatnya membuatku teramat sedih. Seorang anak kecil, harus mendapatkan kejadian buruk ini. Tepat di depan matanya.     

Aku berjongkok sambil mendekap pipi mungilnya, mengusap air matanya yang menetes di pipi.     

"Emakmu akan baik-baik saja, Ndhuk. Ndhak usah khawatir, ya. Nanti kalau emakmu bangun, kita main bersama," kubilang.     

Ningrum lantas memeluk tubuhku, tangisannya terpecah dalam pelukanku.     

"Aku takut, Juragan, aku takut. Setiap hari, Bapak marah-marah. Bapak selalu memukul Emak sambil berkata ingin membunuh Emak, Juragan. Aku takut dengan Bapak!"     

Aku ndhak mampu mengatakan apa pun. Sebab sejatinya meski aku merasa hal itu karenaku, itu adalah perkara rumah tangga Arni, dan Muri.     

"Seburuk apa pun perilaku bapakmu, ingatlah, Ndhuk. Dia tetap Bapakmu, darahnyalah yang mengalir pada tubuhmu. Jikalau beberapa hari ini bapakmu suka kasar, dan marah-marah, mungkin karena bapakmu sedang lelah. Kamu tahu, toh, laki-laki dewasa itu pekerjaannya banyak," jelasku mencoba menenangkannya.     

Mata kecilnya menatapku dengan tajam, seolah-olah penasaran akan satu hal.     

"Lalu, tentang yang Bapak tuduhkan dengan Juragan, dan Emak, apa itu benar? Itu semua bohong, toh, Jurangan? Emak, dan Juragan ndhak mungkin melakukan itu,"     

"Lho, ya jelas endhak, toh, Ndhuk. Mana mungkin aku melakukan hal itu dengan emakmu. Itu adalah perkara yang buruk, dan emakmu ndhak akan melakukan hal buruk. Paham?"     

Dia mengangguk.     

"Kadang, aku berharap, jika Juragan adalah bapakku. Pasti Emak ndhak akan dimarahi, dan dipukul lagi. Pasti Emak akan bahagia, Juragan."     

Aku hanya mampu tersenyum getir mendengar ucapan Ningrum. Menjadi bapaknya? Tentu aku sangat berharap memiliki anak pintar, dan imut sepertinya. Tapi untuk menikahi emaknya, aku juga harus memikirkan perasaan Manis.     

*****     

Sudah seminggu lebih aku menunggui, dan merawat Arni di puskesmas. Sembari menempati salah satu rumah kontrakan untuk istirahat anak-anaknya. Kini, Arni tampak sudah sembuh, meski luka luarnya masih terlihat nyata. Aku ingin membawanya kembali ke kampung. Jika berkenan ingin meminta tolong Biung untuk menampungnya barang dua atau tiga hari karena aku ingin mengurus beberapa urusan kebun yang sudah lama kutinggal. Tapi, apakah Biung akan mengerti tentang keadaanku ini?     

"Kang Mas...," kata Arni yang berhasil membuatku menoleh. Dia baru saja mengolesi salep pada luka punggung, dan beberapa bagian tubuh lainnya. Kemudian ia mengenakan pakaiannya. "Apa kita akan bali ke kampung atau bagaimana?" tanyanya.     

"Ayo kita ke rumahku dulu, kamu istirahatlah di sana. Aku ingin mengurusi beberapa pekerjaan di sana," kujawab. Dipanggil Kang Mas oleh Arni, kenapa rasanya aneh sekali.     

"Lalu bagaimana dengan kabar yang ndhak benar itu, apakah semua akan baik?" dia tanya lagi.     

Kuembuskan napasku berat, aku juga ndhak tahu apakah semua akan baik-baik saja. Apakah Romo akan bisa menerima ini semua? Aku sungguh bingung bukan kepalang.     

"Percayalah, semuanya akan baik-baik saja, Arni."     

Arni meraih tanganku kemudian menciumnya. Mata nanarnya memandangku dengan tatapan sendunya itu.     

"Hanya kamu, Kang Mas. Hanya kamu, satu-satunya orang yang kugantungkan asaku. Ndhak ada yang lainnya lagi,"     

"Aku malah ingin meminta maaf kepadamu, Arni. Karenaku, suamimu menjadi salah paham. Dan memukulimu sampai seperti ini. Seharusnya, kamu masih bisa hidup rukun dengannya, dan bahagia,"     

Arni tampak memalinhkan wajahnya mendengar ucapanku. Sepertinya dia ndhak suka dengan itu.     

"Aku ingin bercerai dengan dia. Itu keputusanku, tapi dia ndhak terima. Dia langsung menuduhku yang macam-macam. Ditambah dengan salah satu kawannya sempat melihat kita keluar dari warung Mbah Masirah pada waktu yang hampir sama. Semakin murkalah dia, dan menuduh macam-macam dengan segela prasangka buruknya. Padahal, semua masalah ada pada dirinya. Dia ndhak mau berubah. Terus saja mengulangi kesalahan yang sama, dan aku sudah cukup lelah,"     

"Aku masih berharap, jika kamu mau memikirkan masalah ini masak-masak...," kataku mencoba menenangkan pikirannya. Aku yakin, jika keputusan yang ia ambil adalah atas dasar hatinya yang kadung sakit hati, juga emosi. Bukan keputusan yang diambil dengan kepala dingin. "Namun begitu, berpisah dari laki-laki yang ringan tangan jauh lebih baik dari pada kamu harus mati pelan-pelan karena sering dipukuli. Aku yakin, hidupmu selama ini akan sulit," dia langsung menangis saat aku mengatakan hal itu. Kupeluk dia agar bisa tenang, atau agar dia lebih leluasa memuntahkan semua emosi yang selama ini coba ia pendam.     

Setelah adegan haru itu, aku pun mengajaknya kembali ke kampung. Kembali ke rumah untuk mengurus, dan meluruskan beberapa hal. Dan maksud lain adalah, karena aku rindu dengan Manis.     

Mobilku berhenti tepat di depan rumahku. Suasana benar-benar tampak sepi.     

Saat aku, dan Arni masuk. Beberapa abdi dalem menatap kami dengan pandangan anehnya itu. Kemudian, sosok Paklik Sobirin secara tergesa menghampiriku.     

"Juragan, seharusnya Juragan ndhak pulang dulu," katanya.     

Kukerutkan keningku mendengar penuturannya yang tampak takut-takut. Belum sempat aku bertanya, terlihat Romo Nathan berjalan dari arah dalam. Menghampiriku, dan Arni.     

"Romo,"     

PLAK!!!     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.