The Alchemists: Cinta Abadi

Meneteskan Air Mata



Meneteskan Air Mata

0Rasanya begitu sulit bagi Fee untuk mempercayai Ren bisa memecat Amelia begitu saja. Bukankah mereka teman sejak kecil? Bukankah Amelia telah lama mendampingi Ren? Mengapa ternyata ia bisa begitu mudah mengiyakan permintaan Fee untuk memberhentikan sekretarisnya?     

"Benarkah kau akan melakukannya?" tanya Fee sambil memutar tubuhnya menghadap Ren.     

"Benar," jawab Ren sambil menatap Fee lekat-lekat dengan sepasang matanya yang berwarna madu.     

"Kenapa kau mengambil keputusan seperti itu?" tanya Fee lagi, masih ragu dengan ketulusan suaminya.     

"Karena aku ingin kau bahagia," Ren menjawab lagi. Suaranya terdengar lelah. "Rumah ini menjadi sangat suram saat kau tidak bahagia."     

Ia memejamkan matanya dan mengeratkan pelukan kepada Fee. Gadis itu merasa kebingungan. Apakah ini berarti ia harus tetap tinggal dalam pernikahan rahasia ini?     

"Kau sudah berjanji menerimaku apa adanya," bisik Ren, masih sambil memejamkan mata, seolah ia dapat membaca pikiran Fee. "Kita berjanji saling menghormati dan membahagiakan. Ini baru setahun, Fee."     

Fee terdiam. Ia tahu seharusnya mereka tidak terlalu cepat memutuskan untuk menikah. Tetapi kini sudah terlambat. Ia tidak boleh mengingkari janji yang diucapkannya saat mereka menikah. Apalagi Ren berusaha memperbaiki hubungan di pihaknya dengan menjauhkan diri dari Amelia yang telah menyakiti hati Fee.     

Akhirnya gadis itu hanya bisa mengangguk.     

"Bagus. Aku akan meminta Amelia menyelesaikan semua tugasnya dan melatih sekretaris pengganti. Bulan depan ia sudah tidak bekerja untukku," kata Ren.     

Fee sebenarnya ingin protes. Ia ingin Ren memecat Amelia secepatnya. Namun, ia tidak ingin memaksakan keinginannya. Ren telah berkompromi, maka ia juga harus bisa melakukan hal yang sama.     

"Aku harus memikirkan alasan yang tidak menyakiti hatinya, Fee," kata Ren lagi. "Bukan saja ia merupakan teman lamaku, tetapi ia juga mengetahui rahasia kita. Kalau aku tidak berhati-hati, ia bisa menggunakannya untuk memerasku. Aku belum bisa mengumumkan tentang pernikahan kita."     

Fee menggigit bibirnya dan mengangguk. Ia mengerti hal itu. Ia hanya ingin Amelia berada sejauh mungkin dari Ren. Tetapi ia tak ingin sampai membahayakan nama baik suaminya, kalau Amelia dendam dan membongkar semuanya.     

"Baiklah," kata Fee kemudian. Ia lalu beranjak dari tempat tidur hendak membersihkan diri. Namun, tiba-tiba ia teringat sesuatu. Fee duduk di tempat tidur dan menatap Ren dengan mata bertanya-tanya. "Ren... tadi, kau mengeluarkannya di dalam. Kita tidak menggunakan pengaman seperti biasa. Bagaimana kalau aku hamil?"     

Ren menghela napas panjang. Ia mengaku tadi terlalu gelap mata karena merasa cemburu. Ia telah melihat Fee duduk di bangku taman dan menangis ditemani seorang laki-laki asing selama sepuluh menit sebelum Fee melihat kehadiran mobil penjemputnya.     

Saat mereka bercinta tadi, untuk pertama kalinya setelah bertahun-tahun, Ren merasa kehilangan kendali diri dan ia tidak mempedulikan sekelilingnya. Ia hanya ingin menunjukkan dominasinya pada wanita yang menjadi istrinya ini. Membuat Fee mengingat kembali posisinya sebagai wanita miliknya.     

"Aku akan membeli obat pencegah kehamilan. Itu tidak akan menjadi masalah," kata Ren. Ia duduk di tempat tidur dan menyibakkan selimutnya, hendak turun dari ranjang, tetapi Fee cepat memegang lengannya. Wajah gadis itu tampak kembali berurai air mata.     

"Aku tidak mau meminum obat apa pun," kata gadis itu. "Aku tidak akan menuntut apa pun darimu. Aku tidak akan menuntutmu mengumumkan pernikahan kita ataupun mengakui anakku kalau kita punya anak. Kau bisa tetap menjalankan tugas dan kehidupanmu seperti biasa.. tetapi jangan ambil anak ini dariku."     

Ren tertegun melihat sikap Fee. "Fee, tidak ada anak di dalam perutmu. Embryo baru terbentuk beberapa minggu setelah pasangan berhubungan intim. Kau jangan bersikap tidak masuk akal begini."     

"Pokoknya aku tidak mau minum obat apa pun." Fee tetap bersikeras.     

"Kalau kau tidak meminumnya, maka kau bisa jadi akan mengandung dan keadaan kita akan menjadi sulit. Bagaimana dengan kuliahmu? Apakah kau tidak mau melanjutkan sekolah? Bukankah kau yang ingin menjadi wanita berpendidikan? Kenapa sekarang kau berubah pikiran?"     

Fee terdiam. Ia tidak dapat menjawab semua pertanyaan Ren. Memang benar, ia merasa rendah diri sebagai wanita yang tidak berpendidikan, dan sangat ingin memperbaiki diri. Tetapi, kini, saat memikirkan kemungkinan ia dapat mengandung buah cintanya bersama Ren, tiba-tiba saja hatinya merasa tergerak.     

Kebetulan sekali beberapa hari terakhir ini ia memang memasuki masa subur. Kalau ia memang hamil, demi apa pun, Fee tidak mau menggugurkan kandungannya.     

Karena...     

karena ia merasa begitu kesepian.     

Ia ingin memiliki keluarga.     

"Aku tidak mau melibatkan anak dalam masalah kita..." kata Ren tegas. "Aku tidak setuju."     

"Dan aku tidak mau meminum obat apa pun untuk merusak tubuhku." Fee menatap Ren dengan berani. "Kau yang memaksa untuk tidur denganku barusan. Aku bahkan tidak mengecammu atas perbuatanmu kepadaku tadi. Kuharap kau tidak memaksakan kehendak lagi."     

Fee bangkit dari tempat tidur dengan berurai air mata. Ia mengambil pakaiannya dan segera masuk ke kamar mandi mereka dan mengunci pintunya.     

Ren hanya terdiam di tempatnya, merenungi kata-kata Fee. Wajahnya tampak berubah menjadi dingin seperti tadi sebelum mereka bercinta.     

"Aku tidak ingin melibatkan anak..." gumam Ren lagi dengan suara sangat pelan.      

***     

Ketika Fee keluar dari kamar mandi, ia tidak menemukan Ren di kamar mereka. Ia mengira Ren sedang bekerja di ruang kerja atau perpustakaan. Namun, saat Fee mendatangi kedua tempat itu, ia tidak melihat Ren.     

Ketika ia bertanya kepada Linda, Fee menjadi sangat terkejut mendengar bahwa ternyata Ren telah meninggalkan rumah dan membawa sebuah koper kecil.     

"Apakah dia ada tugas keluar negeri? Kenapa ia tidak mengatakan apa-apa kepadaku?" tanya Fee keheranan. Ia segera mengambil ponselnya dan menghubungi Ren.     

TUT     

TUT     

Ren mengangkat panggilan telepon dari Fee dalam dua deringan.     

"Kau kemana?" tanya Fee cemas. "Apakah kau ada tugas keluar negeri dan lupa bilang kepadaku?"     

"Tidak. Aku akan tinggal sementara di apartemenku di pusat kota," jawab Ren dengan suara tenang, hampir tanpa emosi. "Kau jaga diri baik-baik."     

"Kenapa? Kenapa kau merasa perlu menenangkan diri? Bukankah aku yang..." Fee menggigit bibirnya. Seharusnya dia yang marah atas sikap Ren tadi.     

"Aku tidak ingin kita bertengkar, Fee. Kurasa sebaiknya aku menjauhkan diri dulu. Aku merasa sangat emosional hari ini. Terlalu banyak hal yang membuatku stress. Aku tak ingin membuatmu takut." Ren menarik napas panjang. "Kumohon beri aku waktu. Kau jaga diri baik-baik."     

Ren lalu menutup teleponnya. Sementara Fee tertegun dengan ponsel masih menempel di telinganya.     

Ia bahkan tidak mengetahui bahwa Ren memiliki apartemen, tempat tinggal lain di pusat kota. Fee merasa semakin sedih. Ia belum tentu hamil, tetapi Ren telah meninggalkannya karena Fee berkeras tidak mau minum obat pencegah kehamilan.     

Oh.. kenapa hidupku harus begini rumit? tangis Fee dalam hati.     

***     

Ren tiba di depan penthousenya di sebuah gedung apartemen termewah di pusat kota Almstad. Ia membuka pintu dengan sidik jarinya dan kemudian masuk. Ekspresinya tampak marah dan sedih yang bercampur menjadi satu.     

Begitu ia menutup pintu di belakangnya, ia menyambar guci antik besar di atas rak yang ada di sebelah kanannya dan menghantamkannya ke lantai.     

Guci itu hancur berkeping-keping dengan suara ribut.     

Ia menyesali kecerobohannya sendiri tadi. Mengapa ia bisa begitu terpancing emosi hari ini? Biasanya ia sangat tenang dan penuh perhitungan. Tetapi, saat ia tadi melihat Mischa Rhionen untuk kedua kalinya berada di dekat Fee, ia benar-benar tidak dapat menahan rasa kesal di dada.     

Dua minggu yang lalu pria itu telah 'tidak sengaja' menolong Fee dari gangguan Hendrik, dan tadi juga 'tidak sengaja' bertemu Fee di taman dan bahkan menenangkannya.     

Kalau itu laki-laki lain, Ren tidak akan ambil pusing, karena ia sangat percaya diri. Ia tahu Fee hanya mencintainya.     

Tetapi tidak demikian halnya jika laki-laki itu adalah Mischa Rhionen. Ren tidak dapat membiarkannya berada di dekat Fee.     

Sungguh, hari ini ia benar-benar kehilangan kendali. Bagaimana kalau Fee hamil? Ren benar-benar tak mau melibatkan anak dalam hal ini.     

Anak mereka tidak bersalah.     

Tanpa terasa air mata mengalir turun dari sepasang matanya yang berwarna cokelat terang seperti madu.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.