The Alchemists: Cinta Abadi

Shock Lagi



Shock Lagi

0"Marah-marah itu tidak baik untuk jantung dan darah tinggi, lho," komentar London dengan suara menggoda. Ia menarik L ke pangkuannya tanpa mempedulikan protes gadis itu. "Sekarang kau sudah tahu kalau aku memang sudah gila. Pertanyaannya sekarang, apakah kau mau menghabiskan seumur hidupmu dengan orang gila ini?"     

L akhirnya menyerah dan menatap London dengan pandangan rumit. Setelah agak lama barulah ia mengangguk, pelan sekali.     

"Aku tidak dengar. Kau bilang apa?" tanya London sambil mengerutkan keningnya.     

"Aku... mau," jawab gadis itu sambil mengatupkan bibirnya, hingga suaranya hampir tidak terdengar.     

"Kau tidak boleh berubah pikiran setelah ini," kata London dengan sungguh-sungguh. Ia mengeluarkan ponselnya dari saku lalu mengunjukkannya kepada L. "Aku sudah merekam jawabanmu barusan."     

"Astaga...! Kau ini keterlaluan sekali. Aku tidak akan menarik ucapanku. Ugh..." L berusaha keras menahan diri untuk tidak merebut ponsel itu dari tangan London. "Kenapa kau senang sekali membuatku marah?"     

"Hahaha... maafkan aku. Kau lucu sekali kalau sedang marah-marah. Aku jadi tidak tahan..." London hanya tertawa. Ia dulu menganggap wanita yang cantik adalah wanita yang anggun dan ceria. Tetapi sejak bertemu L, seleranya sungguh sudah diobrak-abrik. Ia menyukai sifat L yang pendiam dan sering misuh-misuh kalau London mengganggunya. Ia merasa seumur hidup tidak akan pernah bosan menggoda gadis ini dan membuatnya marah-marah.     

"Ugh..." L hanya memutar matanya dan berusaha melepaskan diri dari pangkuan London. "Turunkan aku. Aku bisa duduk sendiri, aku sudah bukan anak kecil."     

"Kalau kau sudah bukan anak kecil, kenapa kau pendek sekali?" tanya London lagi masih tidak puas menggoda L.     

"Brengsek, kau! Aku pendek karena genetik, ya! Ibuku dari Asia!" sahut L sewot. "Jangan bilang kau menyukaiku karena aku ini seperti anak-anak. Kau ini pedophile ya?"     

Mendengar kata-kata L yang tajam itu, seketika London bergidik dan buru-buru menaruh tubuh L di sofa di sampingnya. "Enak saja menyebutku pedophile! Jangan sembarangan bicara. Aku memangkumu karena aku mencintaimu. Kalau kau tidak suka, kau kan tinggal bilang."     

"Aku sudah bilang dari tadi. Kupingmu sepertinya bermasalah," dengus L. "Orang kaya tapi tidak bisa membeli kuping yang lebih bagus."     

London menatap gadis itu dengan pandangan takjub. BIbirnya tersenyum senang dan tangannya kemudian menarik tangan L dan menggenggamnya erat sekali. "Aku senang kau sudah kembali menjadi dirimu sendiri. Aku tidak suka kau bersikap canggung kepadaku dan memanggilku Tuan Schneider. Aku lebih suka L yang seperti ini. L yang ini sangat menggemaskan!!"     

L tertegun. Ia sudah menyadari hal yang sama. Dari tadi malam, sejak ia mengetahui siapa London sebenarnya, ia tidak tahu bagaimana harus bersikap terhadap pria itu, sehingga ia memperlakukan London secara formal, bahkan memanggilnya Tuan. Ia tidak berani bersikap kurang ajar kepada pria yang demikian kaya dan berkuasa itu.     

Tetapi London tidak henti-hentinya menggodanya dan memancing kemarahannya, sehingga L pun tak kuasa menahan emosinya dan kembali marah-marah. Tetapi sekarang ia menyadari bahwa dari tadi London sengaja membuatnya marah agar L tidak lagi bersikap canggung.      

"Kau sengaja.." cetus L dengan nada protes, tetapi tidak marah. London mengangguk. L lalu menundukkan wajahnya dengan pipi kemerahan. "Sialan kau."     

"Haha.. aku senang kita sudah membereskan masalah di antara kita." London mencium pipi L. "Sekarang aku sudah tenang. L sudah mau ikut denganku dan Lily. Kita akan membangun keluarga yang bahagia bersama-sama."     

L hanya bisa mengangguk pelan, berusaha menyembunyikan pipinya yang bersemu merah.     

"Kalau begitu, kapan kau mau bertemu keluargaku?" tanya London kemudian. "Maksudku, kau memang sudah bertemu mereka sebelumnya, tapi itu kan tidak resmi. Kau malah mengira ayahku adalah London Schneider. Kau juga sempat cemburu kepada ibuku."     

"Cemburu kepada... Eh? Sebentar..." L menatap London dengan wajah penuh pertanyaan. "Finland? Dia ibumu? Dia dan Nyonya Schneider adalah wanita yang sama?"     

London mengangguk. "Benar. Maaf ya, waktu itu kami sengaja membuatmu cemburu karena aku penasaran sebab kau selalu menolakku."     

Seketika L memegangi kepalanya dengan panik. "Astaga... Ya Tuhan...! Sikapku kepada ibu mertua waktu itu ketus sekali. Ya Tuhan.. aku harus bagaimana??"     

"Hahaha.. tidak apa-apa. Ibuku orangnya baik, kok. Dia sangat menyukaimu. Dia tidak sabar ingin datang kemari untuk bertemu denganmu dan menjenguk Lily." London menepuk-nepuk kepala L dengan lembut. "Jangan malu kepadanya. Ibuku sangat baik. Kalau kau bersedia, aku akan mengundang ibuku kemari. Dia bisa membantumu memberikan nasihat sebagai ibu karena ia sudah berpengalaman membesarkan tiga orang anak nakal-nakal. Kau lihat saja, kami semua tumbuh menjadi orang-orang yang baik."     

L tampak berpikir sejenak kemudian mengangguk. "Tentu saja... ibumu selalu diterima datang kemari."     

"Bagus. Aku akan segera menelepon ibuku dan memberi tahu kabar baik ini."     

London mengambil ponselnya dan menelepon Finland. "Mama, aku sudah bicara dengan L. Ia bilang Mama boleh datang kemari kapan saja untuk menjenguk Lily. Kapan Mama mau ke sini?"     

Terdengar jeritan sukacita dari ujung telepon dan London terpaksa harus menjauhkan ponselnya.     

"Mama senang sekali! Mama akan ke sana sekarang!" Finland segera menutup ponselnya dan buru-buru mencari Caspar ke ruang kerjanya. "Sayang! Ayo kita ke sebelah. Aku mau menjenguk Lily!"     

London dan L dapat merasakan kegembiraan Finland dann keduanya hanya saling pandang dengan senyum di wajah mereka.     

"Ibumu sepertinya sangat menyenangkan," komentar L.     

"Memang. Sebentar lagi dia akan menjadi ibumu juga. Jadi kau jangan sungkan kepadanya, ya..."     

"Uhm... tentang itu," L kemudian tampak menjadi ragu. Pikirannya kembali melayang pada ancaman Danny Swan untuk membongkar rahasianya ke publik kalau ia memutuskan pertunangan. "Secara teknis aku ini masih tunangan Danny Swann. Aku tidak bisa menikah denganmu..."     

"Kau jangan pikirkan itu. Biarkan aku yang mengurus semuanya. Danny hanya memaksa ingin tetap menikah denganmu karena kakeknya memberikan syarat itu kepadanya. Kalau ia menikahimu ia akan mendapatkan seluruh harta warisan dari kakeknya. Kalau tidak, maka separuh harta itu akan jatuh ke tanganmu."     

"Be.. benarkah itu? Aku tidak tahu..." L menjadi kesal mendengar penjelasan London. Ia tidak menduga Danny menyimpan motif yang demikian buruk di balik perlakukannya yang baik kepadanya.     

"Yah, sepertinya Kakek Swann orangnya sangat baik kepadamu. Ia hanya memikirkan kesejahteraanmu dengan membuat persyaratan itu."     

"Aku tidak perlu hartanya. Danny bisa mengambil semuanya. Dasar laki-laki brengsek! Kupikir dia mencariku karena peduli kepadaku... Ugh..!" L mengatupkan bibirnya berusaha menahan kekesalan.     

"Pokoknya kau tidak usah kuatir. Serahkan Danny Swann kepadaku, juga pembunuh keluargamu. Aku akan memastikan semuanya beres sebelum pernikahan kita." London melipat tangannya di dada dan menatap L dengan sangat serius. "Sekarang pertanyaannya adalah.. kapan kau mau menikah?"     

"Kenapa harus tanya aku? Memangnya yang menikah aku sendirian?"omel L lagi.     

"Lho.. aku bisa menikah kapan saja, lebih cepat lebih baik. Tetapi aku mengerti kalau perempuan kadang punya pemikirannya sendiri yang tidak masuk akal. Jadi lebih baik jika aku serahkan kepadamu untuk menentukan semuanya." London tiba-tiba menepuk kepalanya sendiri seolah baru teringat sesuatu. "Oh ya.. Kau penggemar Bibi Billie Yves, kan?"     

L mengerutkan keningnya dan mengangguk.  "Benar. Memang kenapa?"     

"Sebentar. " London mengambil ponselnya dan menelpon Billie Yves di Australia. "Hallo, Bibi Billie, selamat malam."     

"Hei, London sayang, apa kabarmu, Nak?" Terdengar suara renyah Billie Yves di ujung telepon.     

"Aku akan segera menikah, Bibi. Kebetulan istriku adalah penggemar beratmu. Apakah kau bersedia datang ke pernikahan kami dan memberikan restumu? Kalau bisa sekalian menyanyikan satu dua lagu juga.. hahahaha."     

Sepasang mata L membulat besar sekali mendengar pembicaraan London di telepon.     

Tidak mungkin!      

Tidak mungkin!!     

"Wahhh... selamat ya! Bibi sangat senang mendengarnya. Kapan pernikahannya? Bibi akan mengosongkan jadwal."     

London menoleh ke arah L yang masih tercengang di sampingnya. "Bibi Billie tanya, kapan pernikahannya?"     

L berusaha mengeluarkan suara tetapi selain suara mengembik dan cegukan... tidak ada kata-kata yang keluar. Ia sangat shock mengetahui penyanyi idolanya ada di ujung telepon.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.