The Alchemists: Cinta Abadi

Pembicaraan dengan Alaric



Pembicaraan dengan Alaric

0Kalau soal cinta, sebenarnya London bisa menjadikan pria-pria di sekitarnya sebagai panutan.  Ayahnya sangat mencintai ibunya dan 31 tahun yang lalu berubah 180 derajat dari seorang playboy yang sering menyakiti hati wanita menjadi seorang lelaki penyayang yang setia kepada satu perempuan saja.     

Lauriel juga sangat mencintai kekasihnya, Putri Luna, yang melahirkan dua anak kembarnya sebelum meninggal di tengah perang. Hingga lebih dari seratus tahun setelah kematian Putri Luna, Lauriel masih tetap setia kepadanya dan tidak berpikir untuk melabuhkan cintanya kepada wanita lain.     

Lalu ada Nicolae yang sangat mencintai Aleksis selama sepuluh tahun dan setia menunggunya membuka hati ketika Aleksis mengira Alaric, suaminya, telah meninggal sepuluh tahun yang lalu.     

Nicolae bahkan sangat menyayangi kedua anak Aleksis dan memperlakukan Altair dan Vega seperti anaknya sendiri, dan ketika ia dan Aleksis hampir menikah Nicolae bahkan mengatakan bahwa ia tidak mau memiliki anak kandung dari gadis itu karena ia tidak ingin membagi kasih sayangnya kepada kedua anak mereka.     

Dan tentu saja... Alaric, suami Aleksis yang bertemu dengan kakak kandung London itu sepuluh tahun lalu dan mereka langsung menikah setelah menjalin hubungan empat hari saja.     

Setelah melalui perpisahan yang sangat menyedihkan selama sepuluh tahun, Alaric dan Aleksis akhirnya kembali berkumpul bersama, dan semua orang bisa melihat betapa dalam cinta yang dimiliki Alaric untuk Aleksis dan sebaliknya.     

Rasanya, kalau ia memang ingin bertanya tentang cinta dari sudut pandang laki-laki, Alaric adalah pilihan yang tepat, pikir London akhirnya.     

Ia akan bertanya, kenapa Alaric bisa jatuh cinta kepada Aleksis, dan apa yang membuatnya yakin bahwa Aleksis adalah wanita yang inginkan untuk membagi hidupnya selama-lamanya...     

Ah, baiklah. Ia akan bertanya dan meminta nasihat kepada kakak iparnya.     

***     

"Kalian senang bisa bertemu Mama Aleksis dan Ayah kalian?" tanya London kepada kedua keponakannya yang kini hampir berusia sepuluh tahun. Kedua bocah itu memakai pakaian kasual dan membawa tas masing-masing berisi tablet agar mereka dapat sambil belajar selama di perjalanan.     

Mereka berangkat ke Singapura menggunakan pesawat pribadi London dan di sepanjang jalan kedua anak itu berceloteh tentang pengalaman mereka selama musim dingin bersama Nicolae di Bucharest dan ia mengajari mereka berbagai teknik-teknik hacking.     

"Kami senang. Selama ini hanya bertemu Mama dan Ayah lewat Virconnect, aku sudah rindu," kata Vega sambil duduk di pangkuan London.     

"Rindu kepada Mama Aleksis saja atau kepada Ayah Alaric juga?" tanya London mencoba menyelidiki isi hati Vega. Ia mengelus-elus rambut panjang keponakannya yang indah. Ia tahu Vega yang paling sulit menerima kehadiran Alaric selama ini karena ia sudah terlanjur menganggap Nicolae sebagai ayahnya.     

"Aku rindu pada keduanya, apalagi ayah." jawab Vega sambil tersenyum. "Ayah selalu membacakan dongeng sebelum tidur untuk kami setiap malam sebelum kami tidur, padahal di Singapura sudah subuh,"     

Ahh...     

London sekarang mengerti.     

Rupanya ketulusan dan kasih sayang Alaric kepada anak-anaknya dapat dirasakan oleh Altair dan khususnya Vega. Mereka tahu bahwa saat ayah mereka membacakan dongeng sebelum tidur untuk mereka di Eropa pada pukul 9 malam, di Singapura sudah pukul 3 pagi.     

Itu berarti Alaric sengaja bangun subuh-subuh setiap hari hanya agar dapat melanjutkan rutinitas ini bagi anak-anaknya.     

Ah, London saja terharu mendengarnya, apalagi anak-anak itu sendiri.     

Tidak heran kini Vega mulai melunak dan terlihat juga menyayangi ayahnya. Dalam hati London kagum kepada kesungguhan kakak iparnya itu.      

Sekarang ia yakin bahwa Alaric adalah orang yang tepat untuk diajaknya bicara dan berkonsultasi tentang perasaannya kepada L.     

***     

Pertemuan kembali orang tua dan kedua anaknya itu terasa begitu haru. Alaric menjemput Altair, Vega dan London di bandara, sementara Aleksis yang sedang beristirahat di mansion mereka menunggu di rumah.     

London terharu melihat Vega belari menghampiri ayahnya begitu Alaric terlihat di kejauhan.     

Ahh... rupanya Alaric sudah berhasil memenangkan hati anak perempuannya juga, pikir London. Ia turut bahagia untuk mereka.     

"Aku rindu, Ayah..." bisik Vega saat tubuhnya diangkat Alaric ke udara dan kemudian diciuminya lalu digendong di bahunya. Sebagai anak berumur hampir sepuluh tahun, sebenarnya Vega sudah terlalu besar untuk digendong di bahu, tetapi ayahnya acuh saja menaruhnya di bahu dan dengan senang hati Vega memeluk leher Alaric.     

Altair dengan gembira memeluk ayahnya dan menggandeng tangan Alaric berjalan masuk ke dalam mobil.      

"Terima kasih sudah menemani anak-anakku," kata Alaric sambil tersenyum kepada London. "Ayo pulang, Aleksis sudah menunggu di rumah."     

Dengan gembira mereka berangkat ke mansion. London hanya memperhatikan kebahagiaan keponakan-keponakannya dan kakak iparnya.     

Dulu, sebelum mengetahui bahwa Alaric atau Elios Linden adalah suami kakaknya, London sudah menyimpan kekaguman kepada pria itu. Alaric sangat mengesankan dan penuh wibawa. Ketika mereka bertemu pertama kali di acara Ritz Gala ia sudah menyukai Alaric. Maka ketika mengetahui bahwa pria itu ternyata kakak iparnya, dan ayah dari keponakan-keponakannya, London menjadi semakin menyukai Alaric.     

Ia sangat senang melihat kini Aleksis dan Alaric sudah hidup berbahagia, anak-anak mereka juga sudah menerima kehadiran Alaric, dan kini keluarga mereka sedang menyambut kehadiran anak yang baru.     

Sudah saatnya mereka bahagia, pikir London, setelah berpisah dan mengalami penderitaan selama waktu yang sangat lama.     

Aleksis sangat senang melihat adiknya dan kedua anaknya tiba. Mereka saling berpelukan dan segera duduk berbincang-bincang di halaman belakang sambil menikmati keindahan taman bonsai milik suaminya dan bertukar kabar.     

"Wahhh.. perutmu sudah besar, ya," seru London dengan suara gembira. "Berarti sekitar empat bulan lagi?"     

"Benar, empat bulan lagi, dan kami akan tahu gender anak ketiga kami," Aleksis tersenyum sambil mengelus perutnya.     

"Mungkinkah yang berikutnya ini jug akan kembar?" tanya London penasaran. "Rasanya kau sama gemuknya seperti saat dulu mengandung Altair dan Vega."     

"Benarkah?" Aleksis dan Alaric saling bertukar pandang. Kalau memang mereka kembali memiliki anak kembar, tentu keduanya akan sangat senang.     

"Iya, seingatku dulu kau sebesar ini.. hahahha..." kata London sambil tertawa. "Kenapa sih, kalian tidak cari tahu saja. Sok tradisional tidak mau tahu gender dan jumlahnya..."     

Aleksis mengerucutkan bibirnya. "Kau bisa bilang begitu karena bukan kau yang akan menjadi orang tua. Nanti kalau kau punya anak sendiri, kau mungkin juga akan memilih merahasiakan gender anakmu. Mengetahui gendernya sebelum dilahirkan rasanya sama seperti mengetahui isi kado tetapi belum boleh membuka bungkusnya. Aku tidak suka itu."     

"Ahahaha.. baiklah, aku mengerti. Aku ini masih sangat muda. Mungkin seratus tahun lagi baru aku memutuskan untuk punya anak. " London menyesap jusnya dan memandang sekelilingnya dengan pandangan kagum. "Taman ini bagus sekali."     

Aleksis tersenyum bangga mendengarnya. "Bonsai-bonsai di sini adalah hasil karya Alaric."     

"Ah... kau sangat berbakat. Aku kagum, rupanya ada begitu banyak hal yang tidak kuketahui tentangmu," kata London sambil memukul bahu kakak iparnya. Alaric hanya tersenyum.     

***     

Setelah makan malam, Aleksis menemani anak-anaknya tidur di kamar. London lalu memanfatkan waktu berdua bersama Alaric di ruang tamu untuk menikmati minuman dan berbincang-bincang.     

Ia ingin sekali menanyakan pengalaman Alaric tentang cinta, dan meminta nasihatnya, apa yang harus ia lakukan kepada L, mengingat gadis itu tidak mengetahui identitasnya yang sebenarnya.     

"Aku sangat bahagia untuk kalian," kata London saat ia dan Alaric duduk sambil berbincang-bincang. "Aleksis mendapatkan suami yang sangat baik."     

"Terima kasih." Alaric mengangguk. "Sebenarnya aku yang beruntung mendapatkan Aleksis."     

"Hmm..." London kembali tergelitik ingin bertanya lebih jauh. "Sebenarnya, apa yang membuatmu jatuh cinta kepada kakakku? Memang kakakku sangat cantik, tetapi kurasa bukan itu alasannya kau mencintai Aleksis begitu dalam."     

"Kau benar," jawab Alaric. "Aku semula menolak cinta kakakmu beberapa kali, karena aku tidak ingin membuka hatiku untuk cinta. Saat itu aku tidak tahu Aleksis juga abadi sepertiku. Aku sangat takut kehilangan dirinya jika ia menjadi tua dan kemudian meninggal, dan aku akan ditinggalkan sendirian di dunia ini."     

"Kau menolak cinta kakakku beberapa kali??? Aku tidak tahu cerita ini..." tanya London keheranan. Ia kemudian ingat bahwa di awal-awal L juga bersikap ketus kepadanya dan jelas-jelas menolaknya, tetapi kemudian sikap berubah. Apakah L juga mengalami apa yang dialami Alaric? L dulu menolak London dan kini berubah pikiran?     

Kalau benar, berarti sebenarnya selama ini L mencoba menahan diri agar tidak jatuh cinta kepada London, tetapi kemudian hatinya menjadi luluh, sama seperti hati Alaric luluh oleh Aleksis.     

"Ahahaha... tentu saja Aleksis tidak akan bercerita bahwa aku pernah menolaknya. Mungkin baginya itu dianggap sebagai hal yang memalukan," kata Alaric sambil tersenyum. "Tetapi aku akui, kalau sampai Aleksis menyerah dan berhenti mengejarku, aku pasti akan menyesal seumur hidup telah menolaknya. Sekarang aku tak dapat membayangkan hidupku tanpa dirinya."     

"Hmm..." Dalam hati London membayangkan perasaan L yang berubah dari ketus menjadi penuh cinta kepada London dan suatu hari nanti gadis itu juga akan mengaku bahwa ia tidak membayangkan hidupnya tanpa London.     

Membayangkan hal itu membuatnya tersenyum senang sekali.     

"Kenapa kau bertanya seperti ini?" tanya Alaric sambil memandang London dengan tatapan penuh selidik. "Kau sedang jatuh cinta?"     

"Aishhh.... Aku hanya bahagia untuk kalian, tidak ada maksud apa-apa. Aku mana mungkin jatuh cinta. Aku masih sangat muda." cetus London. Wajahnya memerah karena barusan membayangkan wajah cantik L yang mengatakan ia tak dapat membayangkan hidupnya tanpa London.     

"Siapa namanya?" tanya Alaric.     

"Namanya Elle," tanpa sadar London menjawab, dan sesaat kemudian ia menepuk keningnya sendiri karena keceplosan.     

"Sudah berapa lama kau menyukainya?" tanya Alaric.     

London menghela napas panjang. "Aku tidak tahu."     

Dengan perlahan-lahan ia lalu menceritakan semua peristiwa yang telah terjadi dan berharap Alaric tidak akan menceramahinya seperti ayahnya. Untungnya, kakak iparnya itu hanya mendengarkan cerita London tanpa menyela sedikit pun.     

Beberapa kali ia mengangguk-angguk. "Hmm... memang sulit keadaannya."     

"Jadi bagaimana pendapatmu? Aku tidak tahu perasaanku sendiri, apakah aku memang murni menyukainya atau sebagian karena aku ingin bertanggung jawab kepadanya. Aku hanya punya waktu setahun untuk mengambil keputusan."     

"Hmm.. kau tahu, dia adalah perempuan pertama yang kau tiduri. Bagaimanapun ada kedekatan fisik dan emosi yang terjadi saat itu di antara kalian. Mungkin itu yang mengaburkan perasaanmu kepadanya." Alaric hanya bisa mengangkat bahu. "Jalani saja, selama setahun ini dan lihat apa yang terjadi. Kurasa pada waktunya kau sendiri akan tahu apa yang kau inginkan."     

London hanya bisa mendesah panjang. Ia tidak mendapatkan jawaban yang diinginkannya.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.