The Alchemists: Cinta Abadi

Pangeran Siegfried



Pangeran Siegfried

0Finland merasa terharu saat mereka mengangkasa dari atap Hotel Continental. Ia ingat pertama kali naik helikopter tiga tahun yang lalu, ia sama sekali tak mengira Caspar yang akan menerbangkannya. Ia merasa kagum sekali karena pria sempurna itu bisa melakukan apa saja.     

Kini mereka juga menggunakan helikopter untuk pergi ke Pulau F dan di sepanjang perjalanan ia berkali-kali berseru heboh sambil menunjuk awan dan pulau-pulau yang mereka lewati.     

Caspar sangat senang melihat Finland tampak begitu bahagia. Tak sia-sia ia membeli pulau itu 3 tahun yang lalu, pikirnya.     

Seperti biasa, butler, para pelayan dan pengawalnya memberi mereka privasi seluas-luasnya selama berada di pulau. Setiap hari mereka berdua menghabiskan waktu di depan pantai atau kolam renang dengan membaca, bermesraan, dan membicarakan hal-hal remeh. Rasanya sudah lama sekali Finland dan Caspar tidak merasakan liburan yang sebenarnya seperti ini.     

"Kita harus berterima kasih kepada Lauriel..." kata Caspar sambil menyesap air lemonnya, "Kalau tidak ada dia, kita tidak akan bisa babymoon dengan sempurna. Aleksis pasti akan mengganggu setiap saat.. hahaha."     

Finland mengangguk sambil tersenyum kecut, "Menurutmu, apakah kita orang tua gagal? Seharusnya kita tidak boleh sebahagia ini kalau anak kita tidak ada....waduh..."     

"Uhm... disyukuri saja, Lauriel sangat menyayangi Aleksis dan mau menjaganya selama kita berlibur. Toh dia dan Aleksis juga sama-sama bahagia," Caspar tampak berpikir sejenak, "Aku sebenarnya tidak keberatan berbagi Aleksis dengannya asalkan Lauriel tidak mengambil kematian. Aku ingin dia tetap punya alasan untuk hidup."     

Finland menarik napas panjang. Ia mengerti maksud Caspar, "Aku sepemikiran denganmu. Apalagi kita juga akan punya anak lagi. Aku pun tak keberatan kalau Aleksis tinggal bersama Lauriel selama beberapa bulan dalam setahun."     

Keduanya saling pandang dan mengangguk. Mereka sangat menyayangi Lauriel dan mengerti kesedihannya. Kalau Aleksis bisa membuat Lauriel kembali bersemangat hidup, maka mereka akan rela berbagi anak mereka dengannya.     

***     

Aleksis dan Lauriel sedang bersenang-senang di Thailand. Lauriel sengaja sering menaruh Aleksis di bahunya karena ia ingin anak itu bisa melihat pemandangan dari tempat tinggi. Mereka naik kereta dan bus kota dan berbaur dengan penduduk dan turis.     

Seperti biasa Lauriel memakai kacamata agar matanya yang unik tidak terlalu menarik perhatian. Ia pun membelikan kacamata untuk Aleksis dan berdua mereka terlihat seperti turis kutu buku.     

Thailand adalah surganya makanan eksotis dan itulah yang membuat Lauriel ingin membawa Aleksis ke sana. Di pusat kuliner tengah kota Bangkok mereka pindah-pindah dan mencicipi mulai dari belalang, kalajengking, hingga buaya, dan banyak hewan yang biasanya tidak dikonsumsi manusia di belahan dunia lain.     

Setelah puas dengan wisata kuliner, mereka melanjutkan perjalanan ke Chiang Mai dengan menggunakan kereta malam. Lauriel ingin naik balon udara di sana.     

Tiga tempat terbaik untuk naik balon udara menurutnya adalah di Cappadocia - Turki, Bagan - Myanmar, dan di Chiang Mai - Thailand. Mengingat Chiang Mai adalah tempat terdekat, ia memutuskan untuk membawa Aleksis ke sana.     

"Kau pasti akan suka melihat bumi dari angkasa dengan naik balon udara," katanya kepada Aleksis yang sedang terkantuk-kantuk di sampingnya. Bocah itu hanya mengangguk dengan sebelah mata terbuka, lalu jatuh tertidur. Lauriel tertawa melihatnya, lalu merapikan rambut Aleksis yang berantakan dalam satu kepangan dan kemudian menyelimutinya dengan jaketnya.     

Ia termenung sejenak dan sesaat kemudian, melihat Aleksis yang sudah tertidur dengan nyaman, ia pun memutuskan untuk pergi ke gerbong restoran dan membeli minuman. Di saat seperti ini segelas wine atau brandy tentu akan membuat perasaannya lebih tenang.     

Di gerbong itu hampir tidak ada penumpang lain, hanya ada satu keluarga Thailand dan dua orang turis berkulit putih yang tampaknya sedang sibuk dengan buku bacaan dan laptopnya. Di kereta yang sedang bergerak seperti ini tentu ia tak usah kuatir ada orang jahat yang akan mengganggu Aleksis. Lagipula ia hanya akan pergi sepuluh menit saja.     

Lauriel bergerak cepat melintasi dua gerbong ke arah belakang dan memesan minuman dari restoran. Setelah menghabiskan isi gelasnya ia segera kembali ke gerbongnya bersama Aleksis. Tidak sampai sepuluh menit.     

"Hei!"     

Alangkah terkejutnya Lauriel ketika melihat jaketnya terjatuh di lantai gerbong dan Aleksis tidak lagi ada di tempatnya. Ia seketika berteriak keras mengagetkan semua orang yang ada di gerbong. Orang-orang yang sedang lelap tertidur atau sibuk dengan laptopnya seketika terhenyak kaget.     

Lauriel cepat mengamati sekelilingnya dan menyadari salah seorang turis yang tadi sedang membaca buku tidak ada di tempat. Ia terbiasa memetakan sekelilingnya begitu masuk ke tempat baru dan masih ingat dengan jelas, turis itu adalah seorang pemuda berambut ikal keemasan yang memakai kemeja lengan pendek berwarna biru, jeans sobek-sobek, dan sepatu boot tua. Lauriel tidak terlalu memperhatikan wajahnya tetapi ia ingat semua ciri-ciri pemuda itu.     

"Kalian lihat kemana perginya orang yang duduk di sebelah sini?" tanya Lauriel cepat kepada turis yang tadi sibuk dengan laptopnya dan sekarang hanya memandangnya dengan wajah melongo. Lauriel tidak sadar barusan ia bertanya menggunakan bahasa Thai dan orang itu tentu saja tidak mengerti ucapannya.     

"Err... maaf, kami tidak lihat, tadi kami tidur.." kata laki-laki Thailand yang duduk bersama anak istrinya di ujung gerbong. "Anda bisa berbahasa Thai?"     

Barulah Lauriel sadar tadi ia tidak menggunakan bahasa Inggris. Setelah mengucapkan terima kasih kepada pria Thailand itu ia lalu mengulang pertanyaannya kepada si turis kini dalam bahasa Inggris. Anehnya, turis itu justru tambah melongo mendengarnya.     

Ugh... apakah turis ini juga tidak bisa bahasa Inggris? pikir Lauriel kesal. Ia lalu cepat-cepat mengulang pertanyaannya dengan bahasa Prancis, Jerman, dan Spanyol... sampai akhirnya si turis mengangkat tangannya dan menghentikan Lauriel.     

"Stop it... I understand you the second time. I speak English, and no, I don't see the guy. What's wrong? Can I help you?"     

(Sudah cukup. Saya mengerti bahasa Inggris, dan maaf saya tidak melihat orang yang Anda maksud. Ada apa? Apa yang bisa saya bantu?)     

"Hmm..." Lauriel tidak menjawab, ia segera mengambil jaket dan tasnya lalu buru-buru berjalan ke gerbong depan. Ia ingat tadi dalam perjalanan ke dan dari gerbong restoran ia tidak melihat Aleksis maupun si turis pembaca novel tersebut. Berarti mereka pergi ke arah sebaliknya.     

Ia bergerak cepat sekali melintasi gerbong demi gerbong. Pikirannya seketika menjadi kalut. Hanya sepuluh menit, di tengah kereta yang bergerak... ternyata juga tidak aman. Ia jadi menyesal tidak menerima tawaran Caspar untuk memberi anaknya pengawalan.     

Hmm... bagaimanapun si penculik tidak akan bisa melarikan diri dari kereta yang sedang bergerak. Lauriel yakin ia akan dengan mudah menangkapnya. Tidak ada orang yang akan lolos darinya setelah mengganggu Aleksis!     

Setelah melewati tiga gerbong, tiba-tiba matanya yang awas melihat sosok pemuda yang dicarinya. Gerbong itu hampir kosong dan dengan gerakan yang sangat halus Lauriel tahu-tahu telah sampai d belakang pemuda itu dan menarik kemejanya dengan sangat kuat.     

"Hei, kau!"     

Pemuda itu hampir terjatuh karena tarikan Lauriel dan kemejanya sobek. Wajahnya tampak kaget dan marah pada saat yang sama, dan dengan sigap ia memukul Lauriel yang berhasil menghindar sepersekian detik kemudian. Karena penasaran, pemuda itu kembali menyerang Lauriel dan sebentar kemudian keduanya sudah saling pukul, saling tangkis dan memiting.     

Lauriel yang bertubuh sedikit lebih besar dan sangat berpengalaman berkelahi selama ratusan tahun berhasil memukul si penculik beberapa kali dan menghindari jotosan-jotosannya, namun dalam hati ia merasa sedikit keheranan, karena sangat jarang ada orang yang bisa berkelahi jarak dekat dengannya bertahan lebih dari dua menit.     

Ia hampir mencabut pisau keramik yang disimpannya di balik pinggangnya ketika tiba-tiba terdengar suara seruan Aleksis yang menghentikan gerakannya.     

"Pamaaan Roryyyy...!!!"     

Lauriel terkesiap dan segera menoleh ke arah suara. Ia melihat Aleksis yang menjerit dengan tangan memegang kedua pipinya seolah menunjukkan kekagetan luar biasa...     

"Astaga...! Aleksis...! Paman kuatir sekali...!!" Ia segera menghambur dan memeluk Aleksis yang berdiri di dekat pintu gerbong. "Kau tidak apa-apa?"     

"Paman tadi kemana? Aku bangun dan tidak melihat Paman... aku kan jadi takut. Untung Paman itu mau membawaku mencari Paman..." kata Aleksis sambil terisak-isak. Ia tampak ketakutan karena terpisah dari Lauriel dan menjadi semakin ketakutan ketika melihat Lauriel berkelahi dengan 'paman' yang menyelamatkannya.     

Lauriel tertegun. Ia baru menyadari apa yang terjadi dan segera menoleh ke arah pemuda yang tadi dipukulnya beberapa kali.     

Pemuda itu sedang mengusap bibirnya yang berdarah dan mendengus ke arahnya.     

"Kau ini seperti orang barbar yang tidak punya sopan-santun," kecamnya, "Aku tidak menculik anak itu. Aku kasihan melihatnya menangis karena kau tidak ada, jadi aku bawa dia untuk mencarimu..."     

Hati Lauriel mencelos. Ternyata ia sama buruknya dengan ayah kandung anak ini dalam hal bersikap terlalu protektif, pikirnya. Seharusnya tadi ia bertanya dulu dan tidak langsung memukul...     

"Maafkan aku, tadi aku tak bisa berpikir jernih. Aku akan mengganti semua kerugianmu. Berapa yang kau minta?" tanya Lauriel cepat. Ia tak suka berbasa-basi.     

Pemuda itu tersenyum sinis, "Hah... kau pikir uang bisa menyelesaikan semuanya? Baiklah. Aku minta ganti rugi satu juta dolar."     

Tanpa berkedip Lauriel menyerahkan ponselnya, "Tuliskan detail rekeningmu, aku akan mentransfernya sekarang."     

Pemuda itu terkesiap, ia sama sekali tak menduga Lauriel akan menjawab tantangannya.     

"Hmm... aku takkan memberikan detail rekeningku kepadamu. Biarlah kau berutang kepadaku seumur hidup." Akhirnya ia menjawab dengan nada malas dan melambaikan tangannya menolak ponsel Lauriel. Ia membersihkan darah di sudut bibirnya lalu dengan suara keluhan pendek ia membuka kemejanya yang sobek. "Sialan.. padahal aku suka kemeja ini."     

Ia melepaskan kemejanya dan menggulungnya lalu menaruhnya di kursi. Lauriel agak terkejut melihat ada banyak bekas luka di tubuh pemuda itu dan di dada kanannya ada tato naga yang cukup menyeramkan.     

"Paman itu Pangeran Siegfried*, ya?" tanya Aleksis tiba-tiba sambil menunjuk tato naga di tubuh pemuda tersebut.     

Si pemuda yang mendengar ucapan Aleksis tidak bisa menahan tawanya, "Haha.. Pangeran Siegfried. Kau lucu sekali, bocah kecil..."     

Ia mengambil kemeja baru dari tas ranselnya dan cepat-cepat mengenakannya lalu membereskan barang-barangnya kembali ke dalam tas. Ia tampak berpikir sejenak, lalu kemudian mendatangi Aleksis dan Lauriel.     

"Aku sekarang mengerti kau tidak bermaksud buruk. Kau hanya ingin melindungi anak itu dan kau memukulku karena tadi kau mengira aku menculiknya..." katanya dengan suara tegas. "Aku tidak akan memperpanjang masalah ini dan menganggap ini cuma salah paham di antara kita."     

Lauriel mengangguk. Ia biasanya membenci manusia, tetapi rasa-rasanya pemuda ini tidak terlalu buruk. Malah dalam hatinya Lauriel merasa ia menyukai pemuda aneh di depannya itu. Ia tampak seperti orang yang terbiasa dengan kehidupan yang keras.     

"Uhm... terima kasih telah menjaga anak angkatku. Kapan pun kau memerlukan bantuan, apa pun itu, kau bisa menghubungiku." Lauriel mengeluarkan kertas dan pulpen dari sakunya, lalu menuliskan nomor ponselnya di situ. Ia kemudian menyerahkan kertas itu bersama sebuah botol kecil dari dalam tasnya. "Itu nomor ponsel pribadiku. Aku berutang kepadamu. Walaupun itu satu juta dolar, aku akan membayarnya."     

Pemuda itu mendengus pendek, tapi tidak lagi terkesan sinis seperti tadi, "Orang kaya dan uangnya. Hmm.. baiklah. Aku simpan nomormu. Botol ini untuk apa?"     

"Ada banyak bekas luka di tubuhmu... sehingga aku menduga hidupmu cukup keras. Lain kali kalau kau terluka, usapkan minyak obat dari botol itu untuk mencegah infeksi dan menyembuhkan luka dengan cepat," kata Lauriel acuh. Ia lalu menggendong Aleksis. "Ayo Aleksis... kita kembali ke gerbong kita. Kau harus tidur biar tidak kelelahan sampai di Chiangmai. Besok Paman akan menyewa mobil. Kita tidak usah naik kendaraan umum lagi..."     

Aleksis menoleh ke arah pemuda itu dan melambai dengan hangat, "Sampai jumpa, Pangeran Siegfried..."     

'Pangeran Siegfried' tersenyum manis sekali dan balas melambai. "Sampai jumpa, Putri Kecil."     

Sempat terpikir oleh Lauriel untuk menanyakan nama pemuda itu, tetapi kemudian ia membatalkan niatnya. Toh, ia telah memberikan nomor ponselnya. Kapan pun pemuda itu ingin menghubunginya untuk menagih utang atau ganti rugi, berapa pun itu, ia akan membayarnya. Aleksis bernilai jauh lebih besar dari semua kekayaannya.     

.     

.     

*Pangeran Siegfried = Tokoh pangeran dari mitologi Jerman yang bertarung dengan naga dan berhasil membunuhnya.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.