The Alchemists: Cinta Abadi

Makan Malam di Penthouse



Makan Malam di Penthouse

0Setelah mengikuti dua meeting bersama Ruth, Finland minta diri untuk mengetik laporannya di lounge di lantai 30. Ia mencari cabana rotan yang nyaman dan duduk dengan laptopnya untuk menuliskan laporan rapat seharian tadi.     

Hanya ada sedikit karyawan yang berada di lounge ketika Finland datang. Sebagian sedang sibuk mengerjakan tugas, ada juga yang tidur siang di sleeping pod.     

"Hei.. kamu sedang mengerjakan apa?" Tiba-tiba terdengar suara menyapa Finland dari samping. Gadis itu mendongak dan menemukan Caspar berdiri di sampingnya.     

Anehnya pemuda itu tidak mengenakan jas seperti yang dipakainya tadi pagi saat berangkat kerja. Penampilannya sangat santai dengan kaus dan sweater biru serta topi hitam. Dengan cuek ia duduk di sebelah Finland, kebetulan cabana rotan tersebut sangat besar.     

"Astaga... kalau orang lain lihat, bagaimana?" cicit Finland panik.     

Sebenarnya ia tidak perlu kuatir karena cabana rotan besar yang ditempatinya memiliki atap setengah lingkaran yang memberikan privasi bagi orang yang duduk di dalamnya. Apalagi penampilan Caspar sama sekali tidak menarik perhatian.     

"Kau tahu kenapa orang gampang mengenali kalau aku masuk ke ruangan?" tanya Caspar. Finland menggeleng, Caspar mengangkat bahu, "Karena pakaianku dan kehadiran Ben. Kalau aku memakai pakaian kasual begini dan Ben tidak ikut, orang-orang tidak akan ngeh bahwa ini aku. Asalkan kau tidak menarik perhatian orang dengan mencicit seperti tadi...hahaha..."     

"Oh... oke." Finland akhirnya mengangguk, "Kau tidak ada pekerjaan?"     

"Pekerjaanku banyak," kata Caspar, "Tapi saat ini aku ingin menghabiskan waktu di sampingmu. Boleh, kan?"     

"Uhmm.. boleh." Finland melongok keluar dari cabananya dan memastikan tidak ada orang yang memperhatikan mereka. "Aku sedang membuat laporan untuk empat meeting hari ini..."     

"Empat meeting? Banyak sekali. Tentang apa saja?" tanya Caspar tertarik.     

"Meeting dengan beberapa perusahaan startup dari Asia Tenggara. Mereka punya banyak inovasi keren untuk Indonesia, Malaysia dan Singapura. Aku belajar banyak."     

"Oh... kau suka pekerjaanmu?"     

"Suka sekali. Ruth juga baik kepadaku. Tapi aku harus menebalkan telinga setiap kali gadis-gadis di kantor menggosipkan bosnya yang sangat tampan dan keren itu..." Finland tertawa kecil.     

"Kau tidak cemburu?" tanya Caspar kemudian. Dalam hatinya ia ingin sekali melihat Finland cemburu, tetapi ia tidak berani macam-macam lagi sejak insiden dengan Famke waktu itu, sementara di antara mereka berdua ia selalu merasa dirinya-lah yang lebih mencintai Finland dan sering kali harus melawan rasa cemburunya terhadap pria-pria yang dekat dengan istrinya. Dulu cemburu pada Jean, dan kemudian pada Lauriel.     

Finland menatap Caspar agak lama, "Uhmm... cemburu itu pasti ada... Tapi aku tidak mau bersikap irasional. Aku anggap saja kekaguman mereka kepadamu sebagai bukti bahwa aku memilih pria yang tepat untuk menjadi pasanganku."     

"Oh... jadi kau tidak cemburu..." Caspar menghela napas sedikit kecewa.     

"Pssshh... kok begitu sih? Aku orangnya memang tidak cemburuan.. Masa aku harus berubah menjadi orang yang bukan diriku sendiri?" tanya Finland sambil mengerucutkan bibirnya. "Nanti kalau aku berubah menjadi orang yang cemburuan, kau pasti tidak akan suka."     

Caspar akhirnya mengalah. Dalam hati ia tidak keberatan kalau Finland marah-marah melihatnya dekat dengan perempuan lain dan bersikap sedikit irasional karena cemburu. Malah diam-diam ia akan merasa senang.     

Tapi rasanya hal itu tidak akan terjadi.     

"Baiklah.. kau lanjutkan mengetik laporannya ya, aku mau power nap di sini," kata Caspar mengganti topik pembicaraan. Ia membaringkan tubuhnya di samping Finland dan menutup wajahnya dengan topi. Finland hanya tersenyum melihatnya seperti itu. Ia mengusap rambut Caspar sebentar lalu melanjutkan pekerjaannya.     

Keduanya menghabiskan waktu satu jam bersama dengan cara seperti itu dan masing-masing merasa sangat gembira. Saat jam kantor hampir selesai, Finland cepat mencium kening Caspar dan minta diri.     

"Aku kembali ke ruanganku ya.. Sampai jumpa di rumah."     

Caspar memegang tangan Finland yang hampir beranjak pergi lalu protes, "Kita pulang sama-sama. Kau ke mobil dulu, Ben sudah menunggu di tempat parkir di basement. Aku menyusul sebentar lagi."     

"Uhm... oke."     

***     

Hari pertama Finland bekerja di kantor pusat Schneider Group berlangsung lancar dan tanpa masalah sama sekali. Caspar dan Finland berhasil pulang bersama tanpa ada yang melihat. Mereka segera menuju ke Hotel St. Laurent dan menjemput Aleksis dari tempat Lauriel.     

"Hei... kalian sudah datang?" tanya Lauriel saat keduanya muncul di depan pintu. "Aku sedang mengajari Aleksis bermain baduk. Kami hampir selesai."     

Finland dan Caspar saling pandang kaget.     

"Baduk? Itu kan permainan orang dewasa?" tanya Finland bingung. Baduk atau Go adalah permainan semacam catur dari China menggunakan papan dengan biduk hitam dan putih. Memainkannya memerlukan otak yang cerdas dan penuh strategi. Atlet baduk yang bermain serius bisa bertanding hingga belasan jam baru permainan selesai. Makanya, mendengar Lauriel mengajari Aleksis bermain baduk, rasanya Caspar dan Finland tidak dapat percaya.     

"Hahaha... tidak ada kata terlalu muda untuk belajar," kata Lauriel cuek. "Aku hanya mengajarkan dasar-dasarnya... Aleksis suka."     

"Oh, baiklah... Apakah masih lama?" tanya Caspar. "Kalau masih lama, biar kami sekalian makan malam di sini saja."     

"Masih lama," kata Lauriel. Ia kembali duduk menghadap Aleksis yang sedang memperhatikan papan baduk mereka. "Pesan makanan saja dari bawah..."     

Finland dan Caspar mengalah. Lagipula tentu sangat menarik melihat bagaimana anak mereka yang masih demikian kecil bisa belajar sesuatu yang sangat menarik seperti baduk. Caspar menelepon ke room service dan meminta diantarkan makan malam.     

Setengah jam kemudian mereka berempat sudah menikmati makan malam dan berbincang-bincang tentang kegiatan masing-masing. Aleksis dan Lauriel sempat berjalan-jalan ke Central Park dan memberi makan angsa, mengejar kelinci dan kemudian kembali untuk membaca buku dan bermain baduk.     

Caspar dan Finland sangat senang melihat wajah Lauriel yang berbinar-binar saat memperhatikan Aleksis menceritakan petualangannya seharian ini. Mereka sungguh berharap kesedihan Lauriel bisa terobati dengan kehadiran Aleksis di sisinya.     

Pukul sembilan malam Caspar, Finland, dan Aleksis pamit untuk pulang ke mansion mereka.     

Begitu ia selesai melambai kepada Aleksis yang berjalan pergi bersama orang tuanya, lalu menutup pintu, wajah Lauriel kembali murung.     

Kesedihan yang dialaminya sudah demikian lama dan mendalam. Ia tak tahu apakah ia akan pernah bahagia kembali.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.