The Alchemists: Cinta Abadi

TEASER: The Alchemists 2 (chapter 1)



TEASER: The Alchemists 2 (chapter 1)

0Saya kasih teaser/mengintip Volume 2 lagi yaaa... sambil nunggu bab berikutnya "The Alchemists volume 1" published pukul 19.00 WIB nanti yaaa...     

Ini diambil dari bab pertama Volume 2, dan sudah saya publish di FB Page "Missrealitybites" yang lebih lengkap...hehehe.     

.     

@@@@@@@@@@@@@@@     

.     

Kabar yang diterima keluarga Schneider pagi itu sungguh mengejutkan. Pasangan Kendrick dan Sylvia Chan mengalami kecelakaan di Prancis saat sedang berlibur dan tewas seketika. Ini membuat anak mereka satu-satunya, Terry, menjadi yatim piatu.     

"Kita harus ke Singapura dan menemui anak itu..." tukas Finland dengan wajah gundah. Bagaimanapun Terry adalah darah dagingnya, walaupun ia tidak melahirkan anak itu sendiri. Sepuluh tahun lalu ia bahkan memberikan donasi sumsum tulang belakang saat Terry mengidap kanker darah untuk menyelamatkan nyawanya.     

Caspar mengangguk. Ia dapat membayangkan kesedihan yang dialami anak berusia 15 tahun itu, ditinggalkan secara mendadak oleh kedua orang tuanya sekaligus. Orang tuanya sendiri meninggal dalam perang ketika usianya sudah 350 tahun tetapi kesedihannya tak juga hilang setelah puluhan tahun. Maka Caspar mengerti.     

"Kita bisa berangkat sore ini... Akan kuminta Kara menyiapkan semuanya," kata Caspar. Ia memeluk istrinya dengan kuat, untuk berbagi kesedihannya. "Apa kata Jean?"     

"Jean juga akan segera datang. Mungkin kita yang akan tiba duluan karena kita lebih dekat."     

Saat itu keluarga Finland dan Caspar sedang berdiam di tanah pertanian mereka di New Zealand. Mereka sangat menyukai Wellington dan selalu tinggal di sana minimal sebulan dalam setahun. New Zealand di musim semi* sangatlah indah. Perjalanan dari Wellington ke Singapura hanya 8 jam dan mereka dapat tiba pada pagi hari. Jean yang bermukim di Amerika harus terbang 20 jam untuk bisa tiba di Singapura. Walaupun ia langsung bergegas ke bandara setelah mendengar berita tentang pasangan Chan, ia tetap baru akan tiba besok malam.     

"Kita mau kemana, Ma?" tanya Aleksis keheranan melihat ibunya mengemas beberapa pakaian mereka ke dalam koper kecil. Mereka baru dua minggu berada di Wellington dan biasanya masih akan tinggal di sana hingga awal bulan Oktober, sekarang masih awal September. Ia menggigit sehelai rumput di mulutnya dengan gaya yang cuek sekali dan segera bertengger di anak tangga pertama rumah mereka, mengamati ibunya yang terlihat resah dan bolak-balik memasukkan dan mengeluarkan barang dari koper.     

"Kita akan bertemu kakakmu di Singapura," kata Finland terburu-buru. Perhatiannya tampak sangat tidak fokus.     

Aleksis mengerutkan keningnya dan kemudian serentak menoleh kepada ayahnya yang hanya mengangkat bahu.     

"Kakak? Aku kan anak pertama?" Sesaat kemudian matanya membelalak besar dan memancarkan pandangan penuh tuduhan kepada Caspar, "Astaga....! Papa punya anak dari perempuan lain?! Aku tahu dulu Papa itu playboy... tapi seharusnya Papa jangan bikin malu begini, dong..."     

Caspar terkesiap mendengar tuduhan anaknya dan menoleh ke arah Finland yang menepuk keningnya sendiri.     

"Aleksis pikir Terry itu anakku..." katanya sambil merengut. Finland menghela napas dan memukul bahunya dengan gemas.     

"Dasar."     

Caspar tertawa melihat Finland terpancing emosi dan buru-buru menciumnya.     

"Sudah...sudah, kau ceritakan saja kepada Aleksis tentang Terry, biar aku yang packing dan mengurus keberangkatan kita. Dalam kondisi stress begini kau malah akan melupakan barang-barang penting kita," katanya dengan suara lembut. "Aleksis, ambilkan sebotol wine dan dua gelas dari dapur. Mama perlu minum sedikit biar tenang."     

Aleksis menuruti permintaan ayahnya, walaupun masih dengan wajah penuh pertanyaan.     

Kakak? Kakak dari mana?     

Ia kembali lima menit kemudian dengan sebotol wine yang sudah terbuka dan dua buah gelas, lalu menuangkan wine dan menyerahkan segelas kepada ibunya.     

"Ada apa ini? Apa yang kalian sembunyikan dariku?" tanyanya dengan penuh selidik. Aleksis baru berusia 12 tahun tetapi ia sangat dewasa untuk umurnya dan sering berlaku seperti teman saja dengan orangtuanya. Apalagi kalau dilihat secara fisik mereka tidak seperti orang tua dan anak. Kedua orang tuanya terlihat sangat muda.     

Finland meneguk habis wine-nya dan setelah merasa agak tenang, ia lalu menceritakan peristiwa belasan tahun lalu ketika ia masih merupakan seorang mahasiswa miskin di Singapura yang membutuhkan uang.     

"Ya ampuuunn...! Jadi dia anakmu dengan Paman Jean? Astaga...." Aleksis menekap mulutnya karena kaget setelah mendengar cerita ibunya. Caspar mengangkat bahu sambil tersenyum dan Finland mengangguk dengan wajah sedih.     

"Kita tidak bisa membiarkan dia sendirian, entah bagaimana kita harus mencari cara untuk menolongnya... Anak itu masih kecil," kata Finland prihatin. "Anak sekecil itu tidak boleh hidup sendiri tanpa orang tua..."     

"Kita belum tahu apakah orang tuanya punya kerabat atau tidak," kata Caspar mengingatkan. "Dia bisa tinggal bersama mereka."     

"Jean bilang anak itu sebatang kara. Orang tuanya tidak punya kerabat lagi." Finland mendesah sedih, "Jean berniat mengadopsinya kalau memungkinkan."     

"Oh, ya? Well, itu ide bagus," kata Caspar. "Semoga prosesnya lancar."     

Aleksis tampak tercenung, masih berusaha mencerna informasi yang diterimanya secara tiba-tiba seperti ini. Sesaat kemudian senyumnya merekah lebar.     

"Asyik!!! Ternyata aku punya kakak laki-laki!" serunya tiba-tiba. "Aku selalu ingin punya kakak."     

Ia memeluk Finland dan mencium pipinya.     

"Terima kasih, Ma. Aku senang bahwa ternyata aku punya kakak..." katanya dengan gembira.     

Caspar menatap adegan itu dengan wajah protes.     

"Heii... kenapa sekarang kau malah berterima kasih? Ini tidak adil! Tadi waktu Papa yang dituduh punya anak dari perempuan lain, Papa dibilang bikin malu. Tapi kalau Mamamu yang punya anak dari Jean, kau malah senang punya kakak?! Aleksis, kau ini orangnya berat sebelah, ya?"     

Aleksis segera menyadari kesalahannya dan buru-buru menghambur ke arah ayahnya dan memeluknya dengan hangat.     

"Papa mau wine?" bisiknya dengan suara menggemaskan sehingga mau tak mau ayahnya berhenti merengut. Ia menerima segelas wine dari Aleksis dan meneguknya hingga habis.     

"Baiklah, Finland, kau duduk saja sambil minum wine untuk menenangkan diri. Aleksis panggil kedua adikmu dari lapangan rumput, mereka harus siap-siap," kata Caspar dengan tegas. Finland dan Aleksis mengangguk.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.