The Alchemists: Cinta Abadi

Memutus Dendam



Memutus Dendam

0"Sudah selesai. Kalian beristirahatlah. Besok pagi kita akan tahu sama-sama apakah ramuan buatanku berhasil atau tidak," kata Lauriel sambil menaruh Aleksis kembali di tempat tidurnya dan bangkit sambil membawa mangkok kecil berisi obatnya tadi. "Petra dan Esso akan mengurus Katia."     

"Apakah kau benar-benar akan membiarkan Katia seperti itu?" tanya Finland dengan suara tercekat. Ia masih mendengar jeritan Katia dan hal itu sangat mengganggunya.     

"Seperti yang kubilang tadi, aku akan menunggu perkembangan Aleksis. Kalau ia pulih sepenuhnya, aku baru akan memikirkan apakah hukuman untuk Katia sudah cukup atau belum," jawab Lauriel tegas. "Besok pagi kita bicarakan lagi."     

Setelah berkata begitu Lauriel keluar kamar dan menutup pintu di belakangnya. Finland tak dapat berkata apa-apa lagi. Lauriel masih menggunakan karismanya untuk memerintah dan Finland tak dapat membantahnya.     

Ia hanya dapat menatap Caspar yang tercenung.     

"Apakah kau tidak akan melakukan sesuatu?" tanya Finland pelan. "Tidakkah kalian memiliki sistem peradilan atau bagaimana? Aku tahu Katia melakukan kejahatan terhadap Aleksis, tetapi kalau Aleksis bisa disembuhkan... apakah menurutmu menyiksanya seperti itu dapat dibenarkan? Aku takut melihat kemarahan Lauriel seperti itu..."     

"Kau lupa Lauriel dulu seorang bajak laut. Ia terbiasa dengan hukuman yang keras seperti itu," jawab Caspar, "Ia menyiksa Katia dengan racun karena dia seorang perempuan. Di antara bajak laut, mereka terbiasa dengan siksaan yang lebih mengerikan, laki-laki bisa dipenggal, dikuliti hidup-hidup dan dilempar dari kapal ke laut lepas..."     

Finland menahan napas mendengar penjelasan Caspar. Sebagai perempuan, perasaannya yang halus tak dapat membayangkan siksaan terhadap sesama manusia, apalagi ia mengenal Katia secara pribadi.     

"Kita biarkan saja untuk malam ini, besok aku akan menjatuhkan hukuman yang pantas untuk Katia," kata Caspar akhirnya. "Kau istirahat ya, aku akan mengurusnya sebentar."     

Caspar tak tega melihat istrinya seperti tersiksa mendengar jeritan Katia. Ia lalu memberi tanda agar Finland beristirahat dan ia keluar kamar menuju dapur.     

"Katia..." Caspar seketika sadar bahwa Katia sudah tak mampu mendengarnya. Ia lalu mengambil telapak tangan kanan Katia dan membuat isyarat dengan menuliskan huruf menggunakan jarinya.     

I. N. I.     

C. A. S. P. A. R.     

D. I. A. M.     

A. K. U.     

A. K. A. N.     

M. E. N. O. L. O. N. G. M. U.     

B. E. S. O. K.     

S. E. K. A. R. A. N. G.     

T. I. D. U. R. L. A. H.     

Katia terdiam. Ia sudah mengerti Caspar memintanya untuk berhenti menjerit. Walaupun ia tak dapat mendengar jeritannya sendiri, pastilah semua orang yang ada di penthouse itu mendengarnya dan merasa terganggu. Akhirnya karena ia pun sudah lelah, Katia berhenti menangis dan menggigit bibirnya keras-keras, menahan keresahannya sendiri.     

Ia tak punya pilihan selain percaya kepada Caspar.     

B. A. G. U. S.     

Caspar mengangguk ke arah Petra yang segera mengangkat tubuh Katia dan meletakkannya di sofa di ruang tamu. Suasana sekarang menjadi tenang. Jean yang lelah dan stress minta diri untuk beristirahat di kamar hotel. Jadeith dan Lauriel sudah menghilang sedari tadi. Semuanya sepakat untuk berkumpul lagi keesokan paginya sambil sarapan bersama. Hanya tinggal Petra dan Esso yang menjagai Katia di ruang tamu dan Kara yang menyiapkan keperluan mereka. Caspar lalu memutuskan untuk masuk ke kamarnya dan menemani Finland yang menunggui Aleksis.     

"Dia sudah berhenti menjerit... Apa yang kau lakukan?" tanya Finland saat melihat Caspar masuk.     

"Aku bilang besok aku akan menolongnya asalkan dia diam."     

"Oh..." Finland mengangguk pelan, "Aku mengerti."     

Keduanya lalu mencoba tidur dan berharap pagi segera datang agar mereka dapat mengetahui apakah pengobatan Lauriel berhasil atau tidak. Caspar memeluk Finland erat-erat di tempat tidur dan menghiburnya dengan kata-kata lembut agar hati gadis itu menjadi tenang dan bisa memejamkan mata.     

Finland akhirnya bisa tertidur setelah lewat tengah malam, tetapi Caspar tak dapat memejamkan mata sampai pagi.     

***     

Suasana di penthouse kembali ramai saat matahari terbit dan orang-orang kembali berkumpul. Caspar yang tidak bisa tidur semalaman tampak sangat lelah dan tertekan. Ia mencoba menenangkan diri dengan minum kopi espresso yang sangat kental dan menyambut tamu-tamunya.     

"Kalian sudah sarapan?" tanyanya kepada Lauriel dan Jean yang baru tiba.     

"Belum," jawab Lauriel. "Aku langsung ke sini untuk menunggu Aleksis bangun."     

"Baiklah, aku akan panggil chef ke atas. Aku terlalu lelah untuk memasak sarapan," kata Caspar. Ia memencet telepon ke resepsionis dan meminta dikirim pelayan dan chef ke atas. Tidak lama kemudian dua orang chef dan beberapa staf sudah tiba dan segera sibuk di dapur membuat sarapan bagi sang tuan besar dan tamu-tamunya.     

"Aku akan memeriksa keadaan Aleksis..." kata Lauriel kemudian. Caspar mengangguk dan segera mengikuti Lauriel ke kamar utama.     

Finland terbangun saat mendengar ketukan di pintu. Ia segera bangkit dan membukakan pintu untuk Lauriel dan Caspar yang ingin melihat keadaan Aleksis.     

"Dia masih tidur..." bisik Finland sambil mempersilakan mereka masuk.     

Lauriel melangkah ke dalam dan duduk di samping tempat tidur Aleksis lalu memeriksa pergerakan napasnya dan denyut nadi di tangannya.     

"Jantungnya sudah hampir normal, tidak lagi lambat seperti kemarin." Suaranya terdengar sangat lega. "Sebentar lagi ia akan bangun...."     

Finland dan Caspar mendesah bersamaan. Seketika wajah keduanya tampak lega sekali. Caspar buru-buru berlutut di kaki tempat tidur dan mendengarkan detak jantung anaknya untuk memastikan perkataan Lauriel.     

"Kau benar..." bisiknya gembira. Seketika wajahnya yang tegang tampak menjadi lega dan beban berat yang telah menggelayuti pikirannya selama hampir dua minggu terakhir menjadi hilang. "Dia sekarang seperti sedang tidur biasa..."     

Tepat saat itulah sepasang mata biru hijau Aleksis terbuka dan pandangannya terarah ke arah Caspar yang sedang berlutut di sampingnya, dengan ekspresi penuh pertanyaan.     

"Papa...?" Terdengar suara kecil yang menggemaskan itu keluar dari bibir mungilnya, membuat Caspar terkejut dan hampir menangis karena bahagia.     

"Astaga... Aleksis... anakku, kau sudah bangun, Nak....?" Caspar segera menciumi pipi Aleksis dan buru-buru memeluk anak itu ke dadanya. "Papa sangat takut..."     

Finland sudah menghambur dan dengan air mata bercucuran memeluk keduanya. Baik Finland dan Caspar bertangisan saat memastikan Aleksis memang benar-benar sudah bangun dan tidak kurang suatu apa.     

Lauriel hanya memandang adegan itu dengan ekspresi pilu. Pada saat seperti ini, ia teringat pada kekasihnya Luna dan anak mereka yang meninggal sebelum sempat dilahirkan. Seandainya manusia tidak demikian gemar berperang, tentu ia masih memiliki keluarganya... Perempuan yang dicintainya masih tetap hidup di sampingnya dan anak mereka akan tumbuh besar, menikmati curahan kasih sayangnya..     

Ia sangat membenci manusia.     

"Paman Rory..." Tiba-tiba Aleksis memanggil Lauriel, menggugah lamunannya.     

"Hmm... ada apa, Sayang?" tanya Lauriel sambil berlutut di samping Caspar. "Kau memanggil paman?"     

"Tolong aku... Papa dan Mama memelukku kuat sekali, aku takut tidak bisa bernapas..." seru Aleksis.     

Caspar dan Finland seketika melepaskan pelukan mereka dan tertawa. Lauriel tersenyum lebar dan mengangguk. Ia bangkit dan mengangkat Aleksis dari tempat tidur, menjauhi orang tuanya.     

"Baiklah... Paman Rory menyelamatkanmu. Sebagai balasannya kamu harus makan yang banyak." Sambil berkata begitu ia menaruh Aleksis di bahunya dan berjalan keluar kamar menuju dapur.     

Suasana di penthouse yang dari kemarin terasa begitu gelap dan penuh ketegangan sekarang seolah menjadi ringan dan dipenuhi kehangatan. Kehadiran Aleksis di meja makan membuat wajah semua orang menjadi cerah dan dipenuhi senyum. Masalah mereka yang paling berat telah berhasil diselesaikan oleh Lauriel dan kini mereka sudah dapat bernapas dengan lega.     

"Nanti sore kita semua akan ke Skotlandia bersama. Saatnya bertemu langsung dengan Alexei dan memberinya pelajaran," kata Caspar. "Jadeith mengatakan ia sudah tiba di Skotlandia pagi ini."     

"Pesta Ned dan Portia adalah zona netral, tetapi begitu ia keluar dari sana, anak buahku siap menangkapnya... Kita bisa menunggu sampai pesta selesai. Marion sudah mendapat akses menuju Alexei dengan menyamar sebagai Katia. Aku akan menunggu kabar darinya," kata Lauriel sambil menyesap tehnya.     

"Bagaimana dengan Katia...?" tanya Finland pelan. Ia tadi melihat Katia di ruang tamu dan ingat gadis itu masih menjadi tawanan mereka.     

"Aku sebenarnya ingin membunuhnya atas perbuatannya kepada Aleksis..." kata Lauriel dengan nada dingin. "Tetapi aku sudah meninggalkan kehidupan yang seperti itu. Aku tidak mau mengotori tanganku dengan darah manusia lain..."     

"Kau akan melepaskannya?" tanya Finland.     

"Aku akan mengobatinya dari racunku, tetapi aku berharap Caspar akan memberinya hukuman yang pantas." Lauriel menoleh ke arah Caspar dan mengangkat alisnya seolah menanyakan keputusan pemuda itu. "Aku percaya kau bisa memutuskan dengan bijak."     

Caspar mengangguk. Ia telah memikirkan hal ini semalaman saat ia tak dapat tidur.     

"Apakah kau mampu membuat obat penghilang ingatan?" tanyanya kepada Lauriel.     

"Tentu saja. Apa rencanamu?" tanya Lauriel.     

"Aku ingin memutuskan dendam di antara kami..." kata Caspar sambil menghela napas.     

"Baiklah. Aku akan membuatnya setelah sarapan." Lauriel mengangguk.     

Mereka lalu makan dengan tenang.     

***     

Semua orang bersiap-siap untuk menghadiri pesta Ned dan Portia di Skotlandia. Hanya Lauriel yang sibuk sendiri di dapur membuat obat yang diminta Caspar. Jam 12 siang sebelum mereka berangkat, Caspar meminta semuanya berkumpul di ruang tamu, dengan Katia didudukkan di kursi di tengah ruangan.     

"Lauriel, aku minta obat penawar racunmu..." Caspar berdiri di tengah ruangan dan mengulurkan tangannya ke arah Lauriel. Pemuda berambut panjang itu mengeluarkan sebuah botol kecil dari sakunya dan menyerahkannya kepada Caspar.     

Caspar menerimanya dan memberi tanda kepada Katia agar membuka mulutnya. Gadis itu menurut, karena ia ingat Caspar berjanji menolongnya. Setelah obat di botol itu diminumnya, Katia terduduk di kursi. Seluruh tubuhnya terasa panas sekali.     

"Ahh.. tubuhku sakit..." rintihnya sambil memegangi dadanya. Wajahnya yang semrawut tampak sangat kesakitan.     

Caspar menatap ke arah Lauriel dengan keheranan dan Lauriel hanya mengangkat bahunya dengan sikap acuh.     

"Itu memang penawar yang benar. Aku sengaja tidak membuat penawar yang mudah. Orang yang meminum racunku tidak boleh mendapatkan penawarnya dengan terlalu gampang, mereka harus menderita dulu sedikit..."     

"Ahh... kau jahat sekali, Lauriel!!" jerit Katia. Ia sangat marah mendengar bahkan hingga kini Lauriel masih mau menyiksanya.     

Sesaat kemudian ia tertegun.     

Ia barusan mendengar suara Lauriel...     

Dengan kaget ia membuka mata dan melihat sekelilingnya. Ia melihat orang-orang berkumpul di sekitarnya dengan pandangan benci menatapnya.     

Pendengarannya sudah pulih!     

Ia juga sudah bisa melihat kembali...     

"A... aku sudah bisa melihat lagi..." bisiknya dengan suara parau. "Aku sudah bisa mendengar..."     

Ia menatap Caspar dan Lauriel berganti-ganti.     

"Katia... apa yang kau lakukan kepada Aleksis itu sungguh jahat..." kata Caspar dengan suara datar. "Aku mengerti bahwa dulu aku pun telah menyakitimu dan aku minta maaf atas perbuatanku. Aku membuatmu meninggalkan keluarga dan sahabatmu dan membawamu masuk ke dalam lingkungan masyarakat Alchemist, tanpa memberimu keluarga baru. Aku menyesali perbuatanku, tetapi tindakanmu yang menyakiti seorang anak tak berdosa untuk membalasku, adalah perbuatan yang sungguh keji. Aku tak dapat memaafkan perbuatanmu kepada anakku, karena itu aku menghukummu dengan kematian."     

Caspar mengeluarkan sebuah botol kecil dari saku kemejanya dan menyerahkannya kepada Katia.     

"A... apa ini?" tanya Katia terbata-bata.     

"Ini adalah kematian... Aku yang memberimu keabadian, dan sekarang aku yang akan mengambilnya. Setelah kau meminum obat kematian ini, kau akan kembali menjadi manusia biasa. Kau akan menua dan mati seperti manusia biasa. Kau bukan lagi bagian dari masyarakat kami." Caspar menatap Katia dengan tajam dan memaksanya mengambil botol itu. "Kau sudah merasakan sendiri, apa yang dapat dilakukan Lauriel kepadamu. Kalau kau tidak mau meminum kematian, aku akan menyerahkanmu kepadanya dan ia dengan senang hati akan kembali menghukummu dengan racun kemarin."     

Seketika wajah Katia tampak bergidik ngeri. Dengan berat hati ia mengambil botol kematian dari tangan Caspar dan dengan air mata bercucuran meminum isinya.     

"Kau... kau jahat sekali... Kau tega sekali kepadaku..." tangisnya sambil menutup wajahnya dengan kedua tangan setelah isi botol itu habis.     

"Lauriel, aku minta obat penghilang ingatannya..." Caspar menoleh kepada Lauriel yang segera menyerahkan botol kecil lain ke tangannya.     

"Ini dia."     

"Terima kasih..." Caspar menarik tangan Katia dan menaruh botol kedua di tangannya. "Katia.. karena sekarang kau adalah manusia biasa, kau tidak boleh menyimpan pengetahuan tentang masyarakat Alchemist. Mulai sekarang kau harus melupakan semua tentang kami. Kau juga harus melupakan dendam di antara kita. Sejak sekarang, di antara kita, tidak ada hubungan lagi."     

Katia menatap Caspar dengan sepasang mata yang sangat terluka. Ia mencintai pemuda ini sejak mereka bertemu 58 tahun yang lalu... Ia telah bersabar menunggu Caspar selama 50 tahun sebagai tunangannya dan menoleransi semua permainannya serta begitu banyak perempuan yang dikencaninya...     

Tetapi akhirnya pemuda itu justru jatuh cinta kepada Finland dan meninggalkannya sendirian dan merana.     

Katia masih sanggup menerima hukuman meminum obat kematian... karena bagaimanapun baginya hidup selamanya sudah tidak berarti tanpa laki-laki yang dicintainya...     

Tetapi dipaksa untuk melupakan Caspar dan semua kenangan mereka selama puluhan tahun... adalah hukuman yang baginya lebih berat daripada kematian itu sendiri...     

Katia menangis tersedu-sedu.     

Finland tak sanggup melihat pemandangan itu segera menggendong Aleksis keluar ruangan menuju balkon untuk menenangkan diri.     

"Aku tak ingin melupakanmu...." tangis Katia dengan pilu. Caspar menggeleng dan menepuk bahunya dengan lembut, untuk terakhir kalinya.     

"Minumlah, Katia. Kau harus melupakan semua ini dan memutus segala dendam di antara kita..."     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.