The Alchemists: Cinta Abadi

Meminta Maaf



Meminta Maaf

0"Apa yang kaupikirkan?"     

Tiba-tiba saja Caspar sudah muncul di belakang Finland yang tidak memperhatikannya masuk karena pikirannya disibukkan berbagai permasalahan. Gadis itu tersentak dan memegang dadanya karena kaget.     

"Astaga... jangan mengendap-endap begitu... Aku jadi terkejut," omelnya.     

"Aku tidak mengendap-endap, tetapi kau yang terlalu khusyuk berpikir," kata Caspar membela diri. "Apa yang menyusahkan pikiranmu?"     

"Kau pasti tahu..." Finland menghela napas. "Sebelum semua masalah ini berlalu, aku tak bisa tenang."     

"Aku juga." Caspar memeluk Finland dari belakang dan membenamkan kepalanya ke rambut gadis itu. "Aku takut setengah mati kalau sampai terjadi apa-apa pada Aleksis...."     

Finland merasakan rambutnya menjadi basah dan ia tertegun. Diusapnya tangan Caspar yang memeluknya dan berusaha menenangkan pemuda itu. Ia tak menyangka di balik penampilannya yang tenang ternyata Caspar juga menyimpan kekuatiran yang sangat besar.     

"Kalau sampai Lauriel dan teman-temannya gagal... aku akan mendatangi Katia dan Alexei dan berlutut di depan mereka agar mereka mengampuni nyawa Aleksis...." bisik Finland. "Aku rela menggantikannya minum racun dari mereka."     

"Tidak, Sayang. Mereka tidak menginginkanmu, tetapi aku. Kalau semua cara gagal, akulah yang akan mendatangi mereka dan mengabulkan keinginan Katia. Kalau Katia sungguh-sungguh ingin melihatku mengambil kematian, aku akan melakukannya. Hidup selamanya bagiku sudah tidak ada artinya tanpa kau dan Aleksis... Kalau sampai itu terjadi, kita akan bisa menua bersama dan menghabiskan sisa hidup kita sebagai manusia biasa..." kata Caspar tegas.     

Finland terkejut mendengar pernyataan Caspar. Ia menoleh dan menatap Caspar dalam-dalam. Ia tak pernah memikirkan kemungkinan ini. Katia ingin membalas dendam dengan membuat Caspar mengambil kematian... Maksudnya adalah mengambil obat kematian yang akan membuatnya menjadi manusia biasa. Tubuhnya tidak lagi menjadi istimewa seperti kaum Alchemist lainnya. Ia tak akan dapat lagi menjalani hidupnya yang biasa.     

Pada saat yang sama Alexei akan mendapatkan keinginannya. Jika Caspar tidak lagi menjadi seorang Alchemist, maka ia juga tidak berhak memimpin mereka. Dengan tiadanya Aldebar untuk menggantikan Caspar, maka kaum itu akan terpaksa memilih pemimpin baru. Lauriel pasti tidak akan bersedia karena ia memang sudah lama ingin mengundurkan diri dari masalah duniawi. Sementara Alexei akan menjadi kandidat terkuat karena ia mendapat dukungan dari banyak kaum purist, termasuk Ned dan Portia dan keluarga mereka yang berpengaruh.     

Tentu ini bukan pilihan yang buruk, asalkan Caspar dan Finland dapat bersama. Rencana Katia semula adalah membuat Caspar patah hati karena melihat gadis yang dicintainya menikah dengan Lauriel hingga ia mengambil obat kematian, tetapi kalau Caspar melakukannya dengan sukarela dan mereka berdua tetap bersama, Finland merasa ia akan dapat menerimanya. Ia toh masih seorang manusia biasa dan tidak ada yang akan berubah dalam kehidupannya.     

Tetapi ia tak tahu apakah Caspar sanggup meninggalkan kehidupannya sebagai seorang Alchemist dan hidup seperti Finland. Ia akan menjadi tua, sakit-sakitan, dan akhirnya mati seperti orang-orang lain. Pemuda itu bahkan tidak pernah tahu bagaimana rasanya hidup sebagai orang biasa... Finland takut Caspar akan depresi bila sampai hal itu terjadi...     

Ia ingat Lauriel yang ingin meminum obat kematian dua tahun lalu karena ia bosan hidup. Kini semangat hidupnya kembali hanya karena ia menganggap Aleksis sebagai anak angkatnya. Tentu akan sangat berat apalagi bagi Caspar, yang memiliki anak kandung, untuk menerima kematian, karena Finland tahu ia sangat mengharapkan bisa hidup sangat lama dan melihat anak-anak mereka tumbuh dan hidup selamanya...     

Finland merasa ia tak akan sanggup melihat Caspar mengambil obat kematian.     

"Mari kita berharap bahwa Lauriel dan teman-temannya akan berhasil supaya baik kau maupun aku tidak perlu harus berhadapan dengan Katia dan Alexei sendiri...." kata gadis itu pelan. Ia mengerjap-ngerjapkan matanya menahan agar air matanya tidak menetes. Kalau di saat ini Caspar sangat kuatir, maka ia tak boleh ikut terlihat kalut. Salah satu di antara mereka harus tetap kuat demi keluarga mereka.     

Finland berbalik dan mencium Caspar dan menghapus genangan air di matanya.     

"Di mana Aleksis?" tanyanya mengalihkan perhatian.     

"Hmm... dia sedang menggambar bersama Kara," jawab Caspar dengan suara serak. "Kami membawa banyak daun dan cacing dari luar untuk menjadi model gambarnya..."     

"Ah... dia memang selalu begitu," komentar Finland. "Kau seharusnya lihat berapa banyak cacing yang kami pelihara di Colorado gara-gara dia...."     

"Benarkah?" Caspar menggeleng-geleng mendengarnya. Finland lalu menceritakan berbagai hewan kecil yang telah 'diadopsi' oleh Aleksis saat mereka berada di pertanian Lauriel.     

"Aku punya banyak fotonya..." Finland menarik tangan Caspar dan mengajaknya duduk di sofa sementara ia mengeluarkan laptopnya. "Kau bisa melihat Aleksis sejak bayi..."     

Ia membuka sebuah folder di laptopnya dan menunjukkan ratusan foto dan video Aleksis yang diambil sejak anak itu bayi hingga ulang tahunnya yang kedua di Brasil. Caspar menatap foto demi foto hampir tanpa bergeming. Matanya kembali berkaca-kaca.     

Sungguh tidak adil, ia kehilangan begitu banyak momen bersama anaknya, karena Finland memutuskan sepihak untuk pergi meninggalkannya. Ia tak melihat Aleksis dilahirkan, lalu belajar berjalan, belajar bicara, merayakan ulang tahun pertama dan kedua, dan bila mereka tidak berjumpa di Singapura beberapa hari lalu, mungkin seumur hidup ia akan patah hati dan mengira Aleksis adalah anak Lauriel.     

Pikiran ini membuat hatinya sakit. Ia mengerti kenapa Finland mengambil keputusan itu, tetapi bukan berarti rasa sakit itu menjadi hilang. Kini membayangkan ia akan kehilangan anak satu-satunya karena racun dari Katia, sungguh membuatnya semakin tertekan. Seandainya mereka tidak berpisah, kedua jahanam itu takkan pernah dapat menyentuh Aleksis.     

"Ada apa...?" tanya Finland yang melihat Caspar tampak mengerutkan kening. "Kau tidak suka melihat foto-fotonya?"     

"Hmm..." Caspar tidak menjawab. Ia tak mau memancing pertengkaran baru dengan Finland. Saat ini prioritasnya adalah keselamatan Aleksis.     

"Kau terlihat tidak senang..." desak Finland. Ia belum pernah melihat ekspresi Caspar seperti ini dan ia menjadi kuatir. "Apakah aku melakukan kesalahan?"     

Caspar menatapnya dengan raut wajah sedih. "Maafkan aku, aku sangat kuatir dan untuk sesaat tadi pikiranku menyalahkanmu. Sebuah suara kecil di kepalaku mengatakan bahwa seandainya dulu kau tidak egois dan meninggalkanku, aku akan dapat melihat semua momen kehidupan Aleksis sejak ia lahir, dan Katia maupun Alexei takkan mampu menyentuhnya... Aku pasti bisa selalu melindunginya, dan ia tidak akan menderita seperti sekarang..."     

Finland tertegun mendengar perkataan Caspar yang blak-blakan. Ia menekap bibirnya dengan ekspresi shock. "Kau... kau menyalahkanku?"     

"Tidak, Sayang. Aku tidak menyalahkanmu. Tadi ada pikiran jelek yang masuk ke dalam kepalaku... Maafkan aku... aku belum pernah sekalut ini..." Caspar buru-buru menggeleng. "Apa pun yang terjadi, itu semua sudah di belakang kita. Musuh kita sekarang adalah Katia dan Alexei... Saat ini aku membutuhkanmu, aku takkan sanggup kalau kita bertengkar lagi."     

Finland menggigit bibirnya dan mengangguk, "Tetapi kau benar, aku memang egois. Aku seharusnya tidak merampas waktu dua tahunmu bersama Aleksis... Maafkan aku. Aku belum meminta maaf sepatutnya. Kau memang mengambil ingatan Jean, tetapi kau memberinya keabadian, dan semua keputusan yang kau ambil semata-mata demi kebaikan semua orang..."     

Caspar mengangguk pelan, "Terima kasih karena kau sudah mengakui itu. Aku memaafkanmu. Apa pun yang terjadi, aku minta kau jangan pernah melakukan itu lagi. Lebih baik kau membenciku terang-terangan dan memintaku mengambil kematian, seperti yang dilakukan Katia, daripada kau membunuhku pelan-pelan dengan cara seperti itu. Kau tidak tahu betapa merananya hidupku saat kau pergi... Aku sudah memutuskan untuk mengasingkan diri dari dunia. Pesta Ned dan Portia tadinya akan menjadi penampilan terakhirku... Aku memang sudah akan mengambil obat kematian dan menghilang. Katia tidak perlu meracuni Aleksis segala... bagiku hidup sudah tidak ada artinya saat aku mengira kau dan Lauriel bersama. Kau tidak tahu betapa tidak menariknya hidup selamanya bagiku, saat satu-satunya gadis yang kucintai bersama lelaki lain dan punya anak darinya..."     

"Oh Tuhan... maafkan, aku tidak tahu. Aku mengira kau sudah bahagia bersama Sophia..." tangis Finland. Ia baru mendengar betapa menderitanya Caspar saat ia pergi. Ia merasa tambah bersalah. "Maafkan aku... kalau kita tidak bertemu di Singapura... mungkin semuanya akan terlambat bagimu dan bagiku..."     

Caspar menghela napas. "Aku senang kau mencariku di Singapura. Aku senang kita akhirnya bisa kembali bersama. Tolong jangan pergi lagi.."     

"Aku berjanji, aku tidak akan pernah meninggalkanmu lagi. Apa pun yang terjadi aku akan selalu bersamamu..." bisik Finland.     

"Ini janji yang akan selalu kutagih," kata Caspar, akhirnya mulai tersenyum. Ia menyimpan laptop Finland ke meja lalu memegang bahu gadis itu dan menciumnya dengan haru. Ia ingat minggu lalu ia memang sudah tidak memiliki gairah hidup sama sekali dan hendak mengasingkan diri setelah pesta Ned dan Portia.     

Baginya hidup sudah tidak menarik lagi tanpa Finland di sisinya, tetapi kini takdir berbaik hati mempertemukan mereka kembali dan menyelesaikan semua salah paham yang ada di antara mereka. Ia telah mengungkapkan isi hatinya, dan Finland sudah meminta maaf karena meninggalkannya. Mereka sekarang bisa benar-benar membuka lembaran baru.     

Hatinya diisi kebahagiaan karena Finland kini ada di sisinya, demikian juga Aleksis, anaknya itu sangat cantik dan pintar. Ia mencium Finland tanpa henti, bibirnya, wajahnya, cuping telinganya, lehernya, dan perlahan turun ke dadanya... Perasaannya yang meluap-luap tak dapat dilukiskan dengan kata-kata.     

"Bagaimana kalau ada orang masuk...?" bisik Finland di sela-sela desahannya ketika Caspar menarik lepas sweaternya.     

"Tak ada orang yang akan berani masuk tanpa...." Ucapan Caspar seketika terhenti ketika pintu dibuka dan masuklah Aleksis diikuti Kara. Pemuda itu buru-buru duduk di sofa dan menutupi tubuh Finland dari pandangan.     

"Papa...! Aku sudah selesai menggambar..." seru Aleksis dengan gembira sambil mengacungkan kertas gambar di tangannya. Kara tampak salah tingkah dan membungkuk minta maaf.     

"Maafkan saya, Tuan. Nona Aleksis sangat ingin menunjukkan gambarnya dan langsung berlari ke sini. Kami tidak akan mengganggu Anda. Saya akan segera membawa Nona keluar..." Ia buru-buru mengangkut Aleksis yang tertawa kegelian keluar dari ruang kerja Caspar dan menutup pintu di belakang mereka.     

Caspar dan Finland saling pandang lalu menghela napas panjang.     

"Astaga..." Finland memegang dadanya yang berdebar-debar. "Lain kali kita harus kunci pintu..."     

"Kau benar..." Caspar segera bergerak ke pintu dan menguncinya. "Aku belum pernah harus mengunci pintu selama ini. Tidak ada yang berani masuk tanpa kusuruh... Rasanya Aleksis tidak masuk hitungan."     

Finland mengangguk. "Memang begitu rasanya menjadi orang tua. Kita tak bisa bebas lagi melakukan segala sesuatu seenaknya..."     

"Tapi aku tak keberatan," Caspar menghampiri Finland sambil tersenyum manis. "It's worth it*."     

Ia mendekap gadis itu ke dadanya dan menciumi rambutnya dengan penuh kasih sayang.     

.     

.     

*It's worth it = pengorbanan ini sepadan rasanya.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.