The Alchemists: Cinta Abadi

Bersatu Kembali



Bersatu Kembali

0Serahkan ini semua kepadaku... Biarkan aku yang melindungi kalian.     

Finland tertegun mendengar kata-kata Caspar. Untuk pertama kalinya dalam hidup ia merasa sungguh tidak berdaya dan membutuhkan perlindungan. Ia sadar dirinya hanya seorang perempuan biasa yang tidak mempunyai sumber daya untuk mempertahankan diri dari musuh seperti sepasang manusia Alchemist yang seumur hidupnya dikelilingi kekuasaan dan kekayaan, Alexei dan Katia.     

Selama ini ia telah berusaha keras melindungi dirinya sendiri dan kemudian Aleksis, kini ia telah tiba pada batas kekuatannya. Ia merasa tak berdaya dan takut. Ia sungguh membutuhkan seorang pembela yang melindunginya dan anaknya dari bahaya...     

Airmatanya berlinang semakin deras di saat bibirnya kehilangan kata-kata, dan Finland hanya bisa mengangguk.     

Caspar sangat terharu melihat perempuan yang dicintainya berurai air mata dan kesedihan segera menghunjam dadanya. Ia merasa sangat bersalah karena telah membiarkan Finland dan anaknya bertahan sendirian di dunia... Ia tak sanggup membayangkan apa yang akan terjadi jika Finland sampai harus menikah dengan Lauriel dan benar-benar pergi dari hidupnya demi menyelamatkan nyawa Aleksis.     

"Ayo kita pergi dari sini... Aku ingin melihat anakku," kata Caspar kemudian. Ia bangun dan membantu Finland berdiri, tetapi karena sudah bersimpuh berjam-jam, kaki gadis itu terasa kebas dan ia terhuyung hampir jatuh setelah bangkit dari lantai. "Kakimu pasti sakit, biar kugendong saja..."     

Sebelum Finland bisa merespons, Caspar telah mengangkatnya dan menggendongnya dengan ringan menuju lift. Secara refleks Finland melingkarkan tangannya memeluk leher pemuda itu, dan tanpa sadar membenamkan wajahnya di bahu Caspar.     

"Aku sangat merindukanmu..." bisiknya dengan suara parau karena terus-terusan menangis.     

Caspar mencium rambutnya dan tersenyum lembut sekali, "Aku pun sangat merindukanmu. Aku merindukanmu setiap hari... Aku merindukanmu setiap malam."     

Ketika pintu lift menutup, Caspar bertanya kepada Finland, "Kalian menginap di lantai berapa?"     

"Lantai 17," jawab Finland.     

Caspar menekan tombol 17 lalu menunggu dengan sabar lift membawa mereka ke tempat tujuan. Setelah lift berhenti di lantai 17, ia berjalan sambil menggendong Finland menuju satu-satunya suite 2 kamar di lantai tersebut. Setibanya di depan pintu ia memencet bel.     

Pintu dibuka oleh Lauriel yang melihat keduanya dengan pandangan terkejut, tetapi lega.     

"Finland baik-baik saja?" tanyanya, sambil memberi tanda mempersilakan mereka masuk.     

"Tidak terlalu baik... tapi aku akan mengurusnya," jawab Caspar. Ia menaruh Finland dengan sangat hati-hati di sofa, lalu duduk di sebelahnya.     

"Teh?" tanya Lauriel sambil berjalan ke arah dapur dan mengangkat teko air panas. "Ada chamomile atau teh rasa buah."     

"Chamomile," jawab Caspar, "Aku perlu menenangkan pikiranku."     

"Hmm..." Lauriel menyeduh satu teko teh dan membawanya ke ruang tamu dengan beberapa cangkir. Ia menuangkan teh ke tiga buah cangkir dan mempersilakan Caspar dan Finland minum, lalu menyesap tehnya sendiri.     

"Aku sudah mendengar apa yang terjadi..." Caspar angkat bicara setelah menyesap tehnya sekali. Ia melirik Finland dan segera berubah pikiran, "Ada banyak yang ingin kubicarakan denganmu... tetapi sebaiknya nanti saja, aku tak ingin Finland menjadi tambah kuatir."     

Lauriel menatap keduanya agak lama, dan kemudian mengangguk. Ia bisa menduga apa yang terjadi dan saat ini ia tak punya pilihan selain bekerja sama dengan Caspar untuk mencari solusi, tanpa melibatkan Finland. Tanpa kata-kata, keduanya sepakat bahwa gadis itu tidak usah tahu apa yang harus mereka lakukan untuk menyelamatkan Aleksis.     

"Apa yang harus kita lakukan...?" tanya Finland tiba-tiba. Ia memandang Caspar dan Lauriel berganti-ganti. "Kalian jangan merahasiakan apa pun dariku..."     

Caspar mengusap-usap kepalanya dengan lembut dan menggeleng, "Aku tidak akan merahasiakan apa pun darimu, tetapi saat ini kau harus mempercayaiku dan Lauriel. Kami akan menyelamatkan Aleksis dan membalas Alexei dan Katia. Kau beristirahat saja dulu. Besok kita akan membahas apa yang harus dilakukan."     

Finland akhirnya mengangguk. Ia meminum tehnya dan perlahan-lahan wajahnya yang kusut dan tertekan mulai terlihat tenang.     

"Aku mau melihat anakku... Di mana Aleksis?" tanya Caspar kemudian.     

"Dia sedang tidur, kau bisa melihatnya, tetapi sebaiknya jangan dibangunkan, kasihan anak kecil kalau harus bangun tengah malam begini..." kata Lauriel. Ia bangkit dan membawa Caspar ke kamarnya. Caspar berdiri di samping tempat tidur mengamati wajah sang malaikat kecil lama sekali. Tanpa terasa setetes air bening jatuh dari kedua sudut matanya saat ia berjalan perlahan menghampiri Aleksis dan dengan sangat hati-hati menyentuh rambutnya, memastikan anak itu tidak bangun.     

"Anakku cantik sekali..." bisiknya pelan. Ia lalu menoleh ke arah Lauriel dengan mata berkaca-kaca, lalu sesaat kemudian ia sudah memeluk pemuda berambut panjang itu erat sekali. "Terima kasih... terima kasih karena kau telah menjaga keluargaku... Selamanya aku berutang budi kepadamu..."     

Lauriel menepuk bahu Caspar dan hanya menggumam, "Hmm,.."     

"Aku tahu kau menganggap Aleksis seperti anakmu sendiri... aku tidak akan menjauhkannya darimu. Aku akan bersabar..." kata Caspar setelah melepaskan pelukannya. "Sekarang aku akan membawa Finland beristirahat di tempatku, besok pagi kami akan datang untuk bertemu Aleksis. Nanti kita akan membahas rencana untuk membalas Alexei... Aku juga harus menyelamatkan Sophia..."     

"Baiklah," kata Lauriel. Wajahnya tampak sangat lega. Caspar tidak akan menjauhkannya dari anak angkatnya... hanya itu yang penting baginya sekarang.     

Saat mereka berjalan kembali ke ruang tamu, Caspar melihat Jean yang berbaring di karpet dengan bantal dan selimut, ia mengerutkan keningnya dan menoleh ke arah Lauriel.     

"Kenapa Jean tidur di sini?"     

"Tadi aku memberinya obat untuk memulihkan ingatannya dan ia sudah selesai meditasi. Kubiarkan saja dia sekalian tidur di sini..." jawab Lauriel.     

"Oh... apakah pengobatannya berhasil?" tanya Caspar tertarik. "Aku tahu kau ahli racun dan obat-obatan... Seharusnya aku mencarimu untuk menyembuhkannya... Aku sungguh tidak berpikir ke arah sana."     

"Kita lihat besok pagi," jawab Lauriel.     

"Baiklah, kalau begitu kami permisi dulu..." Caspar menggenggam tangan Finland dan membantunya bangun dari sofa, "Ayo kita pulang."     

"Tapi Aleksis..."     

"Dia sedang tidur, jangan dibangunkan. Besok pagi kita ke sini lagi," kata Caspar menenangkan. "Jangan kuatir."     

"Uhm... baiklah." Finland bangkit dan mengikuti Caspar keluar dari suite. Ia menoleh ke belakang dan menatap Lauriel dengan pandangan penuh terima kasih, "Aku titip Aleksis, ya..."     

"Tentu saja. Selamat beristirahat," Lauriel mengangguk. Ia menatap pasangan itu menghilang ke dalam lift sebelum menutup pintu. Ia kemudian bersandar di pintu beberapa saat lamanya sambil memejamkan mata, lalu menarik napas panjang.     

***     

Finland merasa hampir tak percaya pada pandangannya ketika pintu lift terbuka di lantai 40 dan ia melihat pintu penthouse Caspar yang demikian akrab baginya. Ia sungguh merindukan tempat ini.     

Caspar membuka pintu dan membawa Finland masuk. Tangannya masih setia menggenggam tangan gadis itu.     

"Kau mau langsung tidur atau mandi dulu?" tanya Caspar. "Ada kimono di lemari."     

Finland sadar penampilannya sangat kusut dan lusuh akibat menangis dan bersimpuh berjam-jam di lobby. Ia buru-buru menggeleng, "Aku mau mandi dulu..."     

"Baiklah." Caspar masuk ke dalam kamar dan membawa handuk dan sebuah kimono lalu memberikannya kepada Finland. "Kau perlu bantuan?"     

"Ti.. tidak, terima kasih..." Finland seketika tampak rikuh. Tentu saja ia bisa mandi sendiri, tidak memerlukan bantuan siapa pun, tidak juga Caspar.     

Mereka sudah hampir tiga tahun tidak bertemu dan bagaimanapun rasanya sedikit canggung jika harus bersikap bagaikan suami istri seperti dulu. Lagipula bagaimanapun Caspar yang dulu meminta berpisah darinya.     

Caspar seperti membaca pikirannya, kemudian tersenyum dan mengangkat tangannya mempersilakan Finland ke arah kamar mandi, "Take your time. Aku akan mengurus sesuatu di ruang kerjaku."     

Setelah Finland menghilang ke kamar mandi, Caspar segera mengambil ponselnya dan menghubungi Jadeith. Wajahnya sekarang tampak gelap dan udara di sekitarnya seolah menjadi lebih dingin beberapa derajat. Kemarahannya kembali timbul ke permukaan.     

"Jadeith, aku perlu kau di ruang kerjaku sekarang."     

"Baik, Paman."     

Caspar menunggu Jadeith sambil mengerjakan sesuatu di laptopnya. Wajahnya tegang dan penuh konsentrasi. Lima menit kemudian Jadeith muncul dari balik pintu.     

"Ada apa, Paman?" tanyanya pelan. Ia belum pernah melihat pamannya berwajah demikian menakutkan seperti ini.     

"Aku ingin membunuh Alexei dan Katia."     

"Paman... kau hampir tidak lolos dari pembunuhan Famke.... Tolong pikirkan baik-baik... " kata Jadeith cemas, "Apa yang mereka lakukan sekarang?"     

"Mereka mencoba membunuh anakku, aku tak bisa memaafkan mereka. Aku sudah tidak peduli jika aku harus melakukan kesalahan yang tidak dapat diampuni lagi..." Caspar mengeraskan rahangnya saat menjawab Jadeith. Ia melihat wajah keponakannya yang bingung akhirnya terpaksa menjelaskan apa yang terjadi. "Anak Finland... bukan anak Lauriel, tetapi anakku. Katia dan Alexei meracuninya... Kita harus menemukan mereka secepatnya dan memaksa mereka untuk memberikan penawarnya."     

"Oh..." Jadeith menekap mulutnya karena terkejut. Tetapi ekspresinya segera menjadi tenang dan ia mengangguk cepat, "Aku mengerti. Besok pagi aku akan kembali dengan laporan terbaru."     

"Hmm."     

Jadeith pamit dan menghilang. Beberapa menit kemudian Finland muncul dengan tubuh berbalut kimono. Wajahnya tampak mulai tenang walaupun sepasang mata cokelatnya masih terlihat sedih. Rambutnya tergerai halus di bahunya memberi kesan rapuh yang membuat hati Caspar sangat tersentuh. Wajahnya yang tadi dipenuhi kemurkaan seketika berubah melembut saat ia tersenyum dan mengangkat sepasang tangannya memberi tanda agar Finland datang kepadanya.     

"Kemarilah..." katanya.     

Perlahan-lahan Finland datang mendekat, dan begitu ia berada dalam jangkauannya, Caspar segera merengkuh gadis itu ke dalam pangkuannya.     

"Biarkan aku memelukmu sebentar..." bisiknya pelan. "Aku sangat merindukanmu..."     

Finland menurut dan diam dalam pangkuan Caspar. Tangannya mengusap-usap pipi pemuda itu dengan penuh kasih sayang. Ia sangat merindukan wajah ini. Ia sangat merindukan senyum Caspar, dan lesung pipinya yang melelehkan hati itu...     

"Hmmm... sudah. Sebaiknya sekarang kau tidur," kata Caspar beberapa menit kemudian. Ia tampak sangat berat hati melepaskan Finland dari pangkuannya, tetapi ia sadar malam sudah sangat larut dan mereka harus beristirahat. "Kau bisa tidur di kamar utama. Aku akan tidur di kamar tamu."     

Finland menatapnya lama sekali, dan setelah mengumpulkan keberanian, akhirnya ia bicara dengan suara pelan, "Uhm... kau tidak mau menemaniku?"     

Wajah gadis itu bersemu merah, dan terlihat menggemaskan sekali, membuat Caspar salah tingkah dan akhirnya menyunggingkan seulas senyum memamerkan lesung pipinya. Ia mengangguk dan bangkit berdiri lalu menggenggam tangan Finland dan membawanya ke kamar utama.     

Finland naik ke tempat tidur diikuti Caspar yang menyelimutinya lalu mematikan lampu dan memeluknya.     

Untuk pertama kalinya dalam beberapa tahun, akhirnya Finland bisa merasakan tidur yang begitu damai.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.