The Alchemists: Cinta Abadi

Sebatang Kara



Sebatang Kara

0Alaric kemudian menyadari bahwa Aleksis menatapnya dengan penuh perhatian. Ia mengulurkan tangannya memberi tanda agar gadis itu datang dan duduk di sampingnya.     

"Ayo makan. Setelah ini aku ingin mengajakmu berlayar lagi..." katanya. Aleksis tergugah dari lamunannya dan menurut. Ia duduk di samping Alaric dan mulai menikmati makan siang mereka.     

"Uhm... kalau kita ke kapal, aku mau mampir dulu ke hotel untuk mengambil pakaian," kata Aleksis. "Tidak enak kalau terus-terusan meminjam bajumu."     

"Hmm..." Alaric mengangguk setuju.     

Mereka kemudian makan dengan tenang. Aleksis masih memikirkan kata-kata Terry tentang pemilik Rhionen Industries yang membenci manusia, sehingga ia tak banyak berceloteh seperti biasanya. Alaric menyadari hal ini dan dalam hati ia bertanya-tanya apa yang terjadi saat Aleksis bicara di telepon barusan, sehingga gadis itu kini menjadi pendiam.     

"Siapa yang barusan kau telepon?" tanyanya setelah mereka selesai makan siang. Nada suaranya sangat kasual, seolah hanya sambil lalu. "Kau berubah menjadi pendiam setelah menelepon."     

Aleksis menoleh dan tampak bergumul dengan perasaannya sendiri. "Uhm... "     

"Ya?" Alaric melihat konflik di mata Aleksis akhirnya menepuk bahu gadis itu dan menggeleng, "Aku tidak ingin ikut campur dalam kehidupan pribadimu, tetapi aku takut telah terjadi sesuatu yang membuatmu sedih, sehingga kau menjadi diam begini. Aku tak ingin kau bersedih..."     

Aleksis kembali berperang dalam pikirannya. Orang sebaik ini... Tidak mungkin membenci manusia, kan?     

"Uhm... aku tadi habis mengobrol dengan kakakku. Ia seorang pembuat film, dan tadi kami ngobrol sedikit tentang film dokumenter yang akan dibuatnya. Ia ingin menelusuri krisis psikologis tujuh tahun lalu..." Aleksis menelan ludah, "Ia mendengar selentingan bahwa tujuh tahun lalu perusahaanmu dituding berkontribusi besar pada krisis global itu..."     

"Oh..." Ekspresi Alaric dari balik topengnya tampak tidak berubah sama sekali. Aleksis keheranan karena pria itu sepertinya tidak peduli.     

"Apakah itu benar? Perusahaanmu sekarang memegang kontrak sangat besar untuk otomasi di China dan Uni Eropa dan kalau semua sistem yang dapat menggantikan fungsi pekerja manusia sudah berjalan, bisa jadi akan ada krisis psikologis berikutnya. Ini membuatmu kelihatan seperti pembenci manusia..."     

"Aku memang membenci manusia..." kata Alaric tegas, membuat Aleksis kaget setengah mati. Pria itu melanjutkan bicaranya dengan kasual seolah tidak melihat kekagetan Aleksis. "Aku sudah bilang, kalau kau tahu hal-hal mengerikan apa yang sudah kulakukan, kau mungkin akan membenciku. Belum terlambat untuk sekarang pergi dariku dan melupakan semua yang sudah terjadi di antara kita."     

Ia menatap Aleksis lekat-lekat sementara gadis itu menekap bibirnya dengan perasaan shock.     

"Ke... kenapa? Apa salah manusia kepadamu? Kenapa kau membenci manusia?" tanya gadis itu terbata-bata.     

"Aku tidak akan menjelaskan dengan detail, karena itu berarti akan membongkar rahasia hidupku. Saat ini aku tidak mau melakukannya. Tapi aku punya alasan sendiri, mengapa menurutku kebanyakan manusia yang hidup di dunia ini tidak layak menghuni bumi." Aleksis bisa melihat sepasang mata biru keunguan Alarik tampak emosional saat ia melanjutkan kata-katanya. Matanya yang tadinya terlihat seperti lautan yang dalam menghanyutkan tampak berkilat diisi kemarahan, "Kau tahu bagaimana kebanyakan manusia memperlakukan bumi ini? Bumi kita sudah rusak oleh kerakusan manusia. Kau juga tahu kan, betapa jahatnya manusia kepada sesamanya dan sudah berapa banyak yang mati dalam perang sia-sia? Penguasa jahat terus-menerus terpilih karena banyak rakyat yang bodoh mempercayai janji-janji mereka, sementara rakyat yang cerdas dan bisa melakukan hal-hal yang baik tidak berdaya karena mereka kalah jumlah. Untuk 1 orang baik akan ada 9 orang jahat. Kita tidak butuh kuantitas, kita membutuhkan manusia yang berkualitas untuk mengisi bumi ini. Biarlah mereka yang tak mampu bertahan hidup tergerus oleh zaman... Biar hanya yang kuat, yang cerdas, yang baik... akan bertahan."     

"Astaga.... astaga... Alaric... kau terdengar seperti Hitler... kau tahu siapa dia?!" tanya Aleksis dengan suara tercekat. "Dia menganggap kaumnya lebih baik dari manusia lain dan hanya mereka yang berhak berkuasa atas bumi. Hitler dan partainya membunuh jutaan manusia selama perang dunia 2 dan mengakibatkan begitu banyak penderitaan pada puluhan juta orang yang terdampak..."     

Bahkan kami dari kaum Alchemist yang memang merupakan manusia sempurna, tidak membenci manusia lain dan ingin menyingkirkan mereka, pikir Aleksis getir.     

Kenyataan tentang Alaric ini sungguh membuatnya terpukul.     

"Aleksis, seandainya semua manusia yang kutemui itu sepertimu, mungkin aku tidak akan membenci manusia seperti ini..." kata Alaric dengan suara menyesal. "Aku tidak punya siapa-siapa di dunia ini karena keluargaku direnggut oleh orang-orang jahat. Sejak aku lahir, aku harus menjalani hidup dalam penderitaan karena semua orang yang kutemui memperlakukanku dengan sangat buruk.. Kau tidak tahu sudah berapa kali aku ingin mengambil nyawaku sendiri..."     

"Oh, Alaric..." Aleksis merasakan hatinya seperti ditusuk sembilu mendengar kegetiran dalam nada suara pria itu. Ia melihat seseorang yang menyimpan dendam dan kesedihan mendalam, dan saat ini kata-kata Alaric membuatnya ikut merasa sedih. Tanpa sadar ia sudah memeluk pria itu erat-erat. "Aku tidak tahu apa yang terjadi kepadamu hingga kau menyimpan dendam begini besar... Aku sedih melihat kau sedih... Aku ingin membantu meredakan kemarahanmu... Tolong beri tahu aku apa yang dapat aku lakukan untukmu?"     

Alaric tertegun karena alih-alih membencinya, Aleksis malah memeluknya dan menunjukkan simpati. Perasaan marah dan benci yang memenuhi dadanya saat ia membicarakan tentang manusia-manusia bodoh yang merusak alam dan saling menghancurkan lewat perang, pelan-pelan menyelinap keluar dan setelah beberapa menit dadanya yang sesak terasa mulai ringan.     

Ia mengusap rambut Aleksis yang lebat dan menghirup aroma tubuhnya yang seperti citrus dan pelan-pelan ia ia tersenyum. Kemarahannya sudah menghilang sepenuhnya. Suaranya sudah kembali menjadi lembut saat ia berbicara.     

"Terima kasih... "     

Aleksis pelan-pelan melepaskan rangkulannya dan menatap Alaric lekat-lekat, tangannya mengusap wajah pria itu yang tersembunyi di balik topengnya. "Aku mengenal dua orang yang juga sebatang kara sepertimu. Mereka berdua adalah orang-orang paling lembut yang pernah aku kenal, dan aku sangat menyayangi mereka. Setelah hidup mereka diisi dengan cinta, mereka tidak lagi merasa sendirian... Aku sangat ingin mempertemukanmu dengan mereka... agar kau bisa melihat sendiri bahwa ada harapan..."     

Alaric menatap Aleksis dengan pandangan rumit. "Siapa mereka?"     

"Ibuku dan Paman Rory..." jawab Aleksis. "Ibuku adalah yatim piatu dan hidup menderita sampai ia bertemu ayahku. Paman Rory juga sebatang kara dan ia sudah berniat mengakhiri hidupnya 20 tahun yang lalu. Paman Rory tidak menyukai manusia karena seisi keluarganya terbunuh dalam perang. Sebenarnya kau banyak mengingatkanku akan Paman Rory..."     

Mendengar ini Alaric mendesah panjang, "Aleksis, aku sudah bilang aku belum siap bertemu keluargamu."     

Aleksis menjadi salah tingkah. Ia tidak mau memaksa Alaric bertemu ibunya dan Lauriel, tetapi ia sungguh terkejut mengetahui pandangan Alaric tentang manusia. Ia merasa sangat sedih memikirkan bahwa pria ini tidak akan cocok dibawa bertemu keluarganya.     

Sebagai manusia biasa saja ia sudah memandang rendah sesamanya. Aleksis tak dapat membayangkan bila Alaric diberikan ramuan keabadian dan menjadi seorang manusia sempurna... mungkin sikapnya akan semakin merendahkan manusia biasa.     

Mengapa Pangeran Siegfried-nya ternyata menyimpan rahasia mengerikan seperti ini?     

Tiba-tiba Aleksis merasa dadanya sesak seperti dihimpit batu yang sangat besar.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.