The Alchemists: Cinta Abadi

Kalau harus memilih...



Kalau harus memilih...

0Kedua insan yang sedang dimabuk cinta itu melupakan sekeliling mereka dan membiarkan dirinya hanyut dalam pesona candu psikologis yang sama-sama baru mereka rasakan seumur hidupnya.     

Aleksis telah memendam obsesi terhadap 'Pangeran Siegfried-nya' selama bertahun-tahun, dan Alaric sendiri belum pernah jatuh cinta sebelumnya. Tetapi sejak pertama kali bertemu Aleksis dewasa, ia tak kuasa menolak pesona gadis itu.     

Aleksis sangat cerdas, sangat cantik, sangat menyenangkan dan seluruh dirinya seakan memancarkan kehangatan cinta yang begitu asing dari kehidupan Alaric.     

Selama hidupnya yang panjang, Alaric telah terbiasa hidup dalam kesendirian dan perasaan yang membeku. Pintu hatinya tertutup sudah puluhan tahun lamanya, dan ia tak pernah merasa perlu membukanya untuk siapa pun. Tetapi gadis ini datang seperti badai dan memporak-porandakan semua sistem yang telah dibangunnya untuk bertahan hidup dalam kesendirian selamanya.     

Mereka berpagutan di sofa sambil memegang kepala dan bahu masing-masing, sementara napas keduanya mulai semakin cepat dan tidak teratur.     

Setelah beberapa menit, Aleksis berusaha melepaskan diri dari pesona Alaric dan akhirnya berhasil dengan susah payah.     

Dengan napas terengah-engah ia mengangkat tangannya dan memberi tanda agar Alaric tidak berusaha menciumnya lagi.     

"Kenapa? Kau tidak suka?" tanya Alaric dengan suara berat. Ia amat sangat menyukai bibir gadis itu, dan mulutnya yang mungil, rambutnya yang halus lebat, serta wangi tubuhnya yang khas seperti citrus segar.     

Pandangannya tampak putus asa dan merindu saat ia menatap Aleksis yang melepaskan diri darinya. Aleksis tampak sama menderitanya dengan pria itu, tetapi ia berhasil menguasai dirinya dan menggeleng pelan, "A... aku suka... Tapi aku tidak bisa begini..."     

"Kenapa?" tanya Alaric kecewa.     

"Aku sudah ditolak... dan saat ini aku hanya ingin menjadi temanmu... Seharusnya... seiring dengan waktu, aku akan bisa menghilangkan perasaan cintaku kepadamu dan kita dapat menjadi teman baik.." Aleksis tampak sangat sedih, "Tetapi... bagaimana bisa aku melenyapkan perasaanku kepadamu, kalau kau menciumku begini...? Tidakkah kau tahu betapa jahatnya perbuatanmu itu? Bagaimana aku bisa melupakan perasaanku kepadamu... kalau kau begini..?"     

Alaric terpaku mendengarnya.     

Ia sadar bahwa dengan bersikap tidak konsisten begini, ia hanya akan memberikan harapan kepada Aleksis yang sedang rapuh karena ditolak cintanya, padahal Alaric tidak berniat untuk menjalin hubungan cinta dengan gadis itu.     

Tiba-tiba ia merasa menjadi seorang pria brengsek sekali. Tadi ia dengan tegas menolak cinta Aleksis karena ia tak ingin mempermainkan hati gadis itu dan memberi harapan palsu. Tetapi mengapa tubuhnya mengkhianati prinsipnya dan justru mengejar Aleksis dengan begitu bernafsu?     

"Maafkan aku... Kau membuat pertahanan diriku porak-poranda..." Alaric membasahi bibirnya secara tidak sadar saat ia merasa kalut dan Aleksis memperhatikan ini. Gerakan bibir pria itu membuatnya terpesona. "Dapatkah aku menyebutmu sebagai kelemahanku? Aku tak pernah begini sebelumnya... Logikaku berkata aku tak boleh membiarkan diriku jatuh cinta kepadamu... Tetapi hatiku berkata lain...."     

Aleksis masih memperhatikan bibir Alaric yang basah, mengerutkan keningnya dan menggeleng-geleng,     

"Aku tidak mengerti apa yang menjadi dasar logikamu... Apakah aku begitu buruk, sehingga logikamu menyuruhmu untuk tidak mencintaiku? Beri aku alasan yang masuk akal, kenapa kita tidak bisa bersama?" tanya Aleksis penasaran.     

Alaric tampak tersudut.     

"Kau tidak mengenalku... Kita berasal dari dunia yang sangat berbeda," katanya pelan.     

Aleksis hampir menjerit, mengatakan bahwa memang dunia mereka sangat berbeda, tetapi ia tidak keberatan walaupun Alaric adalah seorang manusia biasa, lebih tua, bahkan berwajah buruk rupa... Sementara Aleksis adalah seorang alchemist yang bisa hidup abadi dan berasal dari salah satu keluarga paling berkuasa di dunia, ia juga sangat cantik dan akan awet muda selamanya.     

Mereka bagaikan langit dan bumi, tetapi Aleksis bersedia menerima Alaric apa adanya.     

Sayangnya Aleksis harus menahan diri dan tidak menyebutkan semua itu... Pikiran jernihnya masih mengingat pesan ayahnya untuk selalu menjaga kerahasiaan identitas mereka.     

"Itu saja?" tanya Aleksis dengan suara tercekat. "Menurutku kedua alasan tadi tidak kuat...."     

Semua orang yang kukenal telah mati, Aleksis... sementara aku tetap seperti ini. Aku sudah tak sanggup mencintai siapa-siapa dalam hidup ini, karena perlahan kalian semua akan mati dan direnggut dariku... lalu aku akan sendirian lagi.. pikir Alaric dengan getir.     

Aleksis menatap Alaric yang sedang berperang dengan dirinya sendiri. Pandangan gadis itu tampak dipenuhi tekad.     

"Kalau masalahnya adalah karena kita berasal dari dunia yang berbeda, maka beri tahu aku, seperti apa duniamu... supaya aku bisa masuk ke sana..." kata Aleksis tegas. "Kau selalu menyebutkan itu sebagai alasan kenapa kau tidak bisa mencintaiku, tetapi kau tidak menyebutkan apa penyebabnya... Yang namanya masalah itu harus dicari jalan keluarnya.... Kalau memang kita sudah berusaha mengatasinya tetapi kita tidak berhasil, maka aku akan menerima kekalahan dan mengundurkan diri. Tetapi... tolong jangan seperti ini..."     

Alaric menatap Aleksis dalam-dalam. Sepasang mata biru keunguannya tampak menjadi gelap ketika ia sedang sangat serius begini. Barusan Aleksis terdengar sangat dewasa... padahal ia tahu gadis itu belum genap berusia 20 tahun.     

Kata-katanya terdengar masuk akal, dan Alaric merasa malu karena ia yang lebih tua bahkan tidak memikirkannya dari sudut pandang tersebut.     

Apakah perbedaan mereka memiliki jalan keluar? pikirnya sedih.     

"Aleksis... aku mau bertanya kepadamu..." Akhirnya Alaric menghela napas panjang. "Kalau kau harus memilih di antara dua, jatuh cinta dan mengalami sakitnya patah hati... atau tidak usah jatuh cinta sama sekali dan tidak usah patah hati, apa yang akan menjadi pilihanmu?"     

"Aku akan memilih jatuh cinta dan mengalami sakitnya patah hati..." jawab Aleksis. "Hidup tanpa cinta bukanlah hidup yang sepenuhnya..."     

"Hmm..." Alaric mengangguk, "Baiklah. Lalu... kalau kau harus memilih, mencintai seseorang untuk suatu jangka waktu dan kau tahu bahwa kau harus merelakan orang itu pergi, atau tidak mencintai sama sekali supaya kau tidak perlu merasakan sakitnya perpisahan... Apa yang menjadi pilihanmu?"     

"Aku akan memilih mencintai seseorang dan kemudian merelakannya pergi..." jawab Aleksis. "Dan aku akan mengenang kebersamaan kami itu dengan bersyukur atas kesempatan yang kami miliki bersama, daripada tidak mau merasakan cinta hanya demi menghindari sakitnya perpisahan."     

"Baiklah..." Alaric mengangguk lagi. Ia memejamkan mata dan mengambil keputusan saat itu juga. Untuk pertama kalinya dalam hidup ia akan menentang logika dan mengikuti kata hatinya, "Kau menang."     

Aleksis mengerutkan kening tidak mengerti. "Aku menang apa?"     

Alaric membuka matanya dan tersenyum tipis, "Kau menang, Tuan Putri. Aku akan mengikuti kata-katamu. Sesungguhnya aku menahan diri setengah mati agar tidak jatuh cinta kepadamu, karena aku tahu waktu kita terbatas, dan aku tidak mau mengambil risiko merasakan patah hati ketika kita harus mengucap selamat tinggal dan berpisah... Tetapi karena kau bersedia mengambil risiko itu, aku pun akan begitu. Kalau kau bersedia menanggung patah hati hanya demi bersama orang yang kau cintai, maka aku pun akan begitu..."     

Aleksis perlu waktu beberapa detik untuk memahami maksud kata-kata Alaric karena pikirannya tiba-tiba menolak bekerja.     

"Jadi maksudmu... Kau mau mengambil kesempatan ini dan mencoba menjalin hubungan?" tanyanya dengan nada tidak percaya.     

Alaric mengangguk. "Aku akan belajar membuka hati dan menerima kenyataan bahwa waktu kita terbatas, dan menjalani hidup sebaik-baiknya bersamamu dalam waktu yang singkat itu... Bagiku sekarang, hidup 30 tahun bersamamu lebih baik daripada hidup selamanya tanpa dirimu..."     

Ah, ia pasti memikirkan perbedaan usia kami yang jauh, pikir Aleksis. Seandainya saja Alaric tahu bahwa begitu mereka menikah, Paman Aldebar akan memberikan ramuan abadi untuk Alaric sehingga ia akan hidup abadi seperti Aleksis...     

Mereka akan dapat bersama selamanya... bukan hanya 30 tahun.     

Pikiran-pikiran ini membuat Aleksis tersenyum. Ia senang Alaric sudah berubah pikiran dan kini mau mulai membuka dirinya kepada cinta. Cepat atau lambat, Aleksis akan menceritakan semuanya, dan mereka tidak perlu kuatir lagi akan hal-hal remeh seperti perbedaan usia dan latar belakang.     

"Aku yakin kita akan punya waktu lebih dari 30 tahun..." bisik Aleksis gembira.     

Ia mendekati tubuh Alaric dan kemudian memeluknya dengan haru, Pria itu mengangguk dan tersenyum, ikut larut dalam kebahagiaan Aleksis. Kemudian tanpa ragu ia mengusap-usap rambut gadis itu dan mencium puncak kepalanya.     

Alaric belum pernah merasa sebahagia ini dalam hidupnya.     

"Aku sangat senang bertemu denganmu, Adik kecil..." katanya pelan. "Kau wanita yang sangat mengagumkan. Aku rasa... aku sudah jatuh cinta kepadamu."     

Akhirnya Alaric mengakui bahwa ia jatuh cinta kepada Aleksis!     

Aleksis tersipu-sipu saat pertama kalinya ia mengambil inisiatif untuk mencium Alaric. Pria itu semula agak terkejut, tetapi kemudian ia membalas ciuman hangat gadis itu dengan ciuman yang lebih bergairah dan antusias.     

Setelah beberapa menit Alaric menyudahi serangannya lalu mencium kening Aleksis. "Kau mau minum sampanye untuk merayakan malam ini?"     

Aleksis mengangguk.     

Alaric tersenyum dan beranjak ke dapur untuk mengambil sampanye dan dua buah gelas.     

Begitu banyak hal yang terjadi malam ini, pikirnya. Rasanya seperti habis dihantam badai. Dari sejak menyelamatkan Aleksis saat ia jatuh dari tembok ketika hendak menyusup ke Sky Bar, lalu menolongnya dari Pavel yang akan melemparnya dari lantai 100, kemudian menyadari bahwa mereka sudah bertemu untuk ketiga kalinya dan kemudian mengetahui bahwa selama bertahun-tahun Aleksis sudah terobsesi dan mencintainya...     

Lalu malam ini Alaric sendiri bahkan tergugah dan mengesampingkan logikanya untuk mengikuti kata hatinya, kini ia malah membiarkan dirinya jatuh cinta.     

Aleksis sungguh berhasil membuatnya tak berdaya.     

Dengan menyunggingkan senyum tipis Alaric kembali ke ruang tamu. "Aleksis, mari minum..."     

Ia kaget melihat Aleksis sudah jatuh tertidur di sofa, padahal ia baru meninggalkan gadis itu beberapa menit saja.     

"Astaga..., kok cepat sekali sudah tidur," pikirnya gemas. Ia melirik jam tangannya dan menyadari waktu sekarang menunjukkan hampir pukul 02.00, sudah hampir pagi. "Pasti dia merasa kelelahan..."     

Alaric mengembalikan sampanye dan gelas ke dapur lalu dengan sabar membopong Aleksis ke kamarnya agar gadis itu dapat tidur dengan nyaman.     

Ia menaruh Aleksis di tempat tidurnya, menyalakan pendingin ruangan, dan lalu menyelimutinya. Pria itu mengamat-amati wajah cantik Aleksis yang terlihat begitu damai hingga puas lalu mengecup keningnya.     

"Selamat tidur, Adik kecil," bisiknya sebelum pergi meninggalkan gadis yang tertidur pulas itu, dan menuju kamar tamu untuk tidur.     

Walaupun sangat besar keinginannya untuk tidur di samping Aleksis dan memeluknya sepanjang malam, menikmati aroma citrusnya, Alaric berhasil menahan diri.     

Aleksis telah jatuh tertidur sebelum Alaric bisa meminta izin, maka ia tidak akan melanggar kepercayaan gadis itu dengan melakukan perbuatan yang mungkin Aleksis tidak sukai.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.