The Alchemists: Cinta Abadi

Aleksis dan Alaric



Aleksis dan Alaric

0Aleksis tidak tahu berapa lama waktu berlalu sampai akhirnya mereka saling melepaskan diri, dengan enggan.     

Keduanya saling menatap dengan pandangan agak canggung, tetapi bahagia. Walaupun Alaric mengenakan topeng, Aleksis dapat melihat matanya tampak berseri-seri, dan tatapannya membuat jantung Aleksis berdetak lebih kencang.     

"Uhm.." Aleksis tampak salah tingkah dan tersipu. Ia segera berbalik ke arah pintu dan tanpa diperintah, kedua kakinya sudah berlari cepat keluar ruangan Alaric.     

Pria itu tampak kebingungan melihat tingkah Aleksis. Gadis itu datang dan pergi bagaikan badai... Padahal tadinya ia ingin duduk dan mengajak gadis itu bicara.     

Akhirnya ia tersenyum sendiri dan kembali mengambil gelas wiskinya dan menghabiskan minumannya dengan perasaan riang.     

Ia dapat memerintahkan Pavel untuk mencari informasi tentang Aleksis besok.     

Alaric tidak mengira 10 menit kemudian tiba-tiba pintu ruangannya diketuk dan Aleksis masuk lagi, kali ini sambil menggendong seekor anjing bulldog yang sangat gemuk.     

"Eh... Kau kembali?" Alaric tak dapat menyembunyikan nada suaranya yang terdengar senang. "Apa itu?"     

Aleksis tersenyum lebar, "Ini Pangeran Siegfried Kecil. Aku kan sudah bilang kalau ia sehat, bahagia dan gemuk..."     

Alaric tak dapat menahan tawa melihat anjing bertampang malas dan mata setengah terpejam itu. Ia menghampiri Aleksis dan mengambil alih Pangeran Siegfried Kecil dari gendongannya.     

"Hallo, Pangeran Siegfried... Apa kabar? Sudah lama sekali, ya?" katanya sambil mengusap-usap kepala anjing itu yang segera saja menguap lebar sekali. "Rupanya ini sudah jam tidurnya. Dari mana kau mengambilnya? Kok cepat sekali?"     

"Eh.. aku menginap di Hotel Continental sampai hari Minggu, sesudah itu aku pindah ke asrama." Aleksis tidak mau langsung memberi tahu bahwa ia adalah anak pemilik gedung ini dan sekarang ia tinggal di penthouse di puncak gedung. Bagaimanapun ayahnya selalu menekankan kepadanya untuk selalu menjaga privasi dan identitasnya.     

"Kau sekarang kuliah di Singapura? Jurusan apa?" tanya Alaric tertarik.     

"Aku lupa jurusan apa..." jawab Aleksis terus terang. "Aku asal pilih saja...hahaha..."     

"Kenapa begitu?" Alaric terheran-heran mendengar jawaban cuek Aleksis.     

"Uhm... aku sebenarnya tidak berniat kuliah sih... Aku mendaftar ke kampus sini hanya sebagai alasan agar aku bisa pindah ke Singapura dan mencarimu." Aleksis menunduk menyembunyikan wajahnya yang memerah, "Sekarang aku sudah menemukanmu..."     

Alaric terpana mendengar keterusterangan gadis itu. Ia tidak menyangka Aleksis begitu menyukainya... atau malah terobsesi dengannya.     

Hal itu membuat dadanya terasa hangat, dan tanpa dapat ditahannya, ia telah mendaratkan ciuman berikutnya ke bibir Aleksis. Ia belum pernah merasakan demikian tertarik kepada seorang wanita sebelumnya. Aleksis dengan tingkahnya yang menggemaskan telah membuatnya tak berdaya dan tidak dapat menahan diri.     

Mereka baru berhenti berciuman ketika Pangeran Siegfried Kecil meronta-ronta mencoba melepaskan diri karena terjepit di antara keduanya.     

"Astaga... Maafkan kami, Pangeran Siegfried..." kata Aleksis cepat-cepat. Ia mengambil anjingnya dari tangan Alaric dan menaruhnya di sofa. Ia menoleh ke arah Alaric yang memandangnya dengan geli, dan keduanya lalu tertawa lepas.     

Aneh sekali. Pada detik yang bersamaan keduanya berpikir bahwa mereka seperti pasangan suami istri dengan anak kaki empat mereka.     

Keduanya lalu tersenyum simpul dengan pikiran tersebut.     

"Hmm... Jadi..?" Aleksis menatap Alaric dan mencoba mencari bahan pembicaraan.     

"Jadi?" Alaric menatapnya sambil mengangkat bahu.     

"Kau tadi menciumku," kata Aleksis akhirnya.     

"Itu benar," Alaric mengangguk.     

"Lalu sekarang bagaimana?" tanya Aleksis.     

"Bagaimana apanya?" Alaric bertanya balik.     

"Ugh...." Aleksis menghentakkan kakinya tidak sabar. "Kau tahu maksudku."     

"Aku tidak tahu maksudmu," kata Alaric.     

"Apa yang kau lakukan kepada perempuan yang pernah kau cium?" tanya Aleksis cepat.     

Alaric menggeleng, "Aku belum pernah mencium perempuan sebelumnya... Jadi aku tidak tahu maksudmu."     

"Astaga... tidak mungkin! Umurmu kan sudah 40'an... masa kau belum pernah mencium perempuan sebelumnya?" Walaupun nada suaranya terdengar tidak percaya, sebenarnya dalam hati Aleksis merasa senang karena Alaric belum pernah mencium perempuan lain sebelumnya.     

Berarti tadi itu sama-sama ciuman pertama mereka.     

Umurku lebih tua dari itu, pikir Alaric.     

"Mengapa kau tidak percaya bahwa kau adalah perempuan pertama yang kucium?" tanya Alaric.     

"Aku tidak percaya, sebab kau tadi sangat ahli mencium..." kata Aleksis sambil mengerucutkan bibirnya.     

"Kau tahu dari mana kalau aku ahli? Sudah berapa laki-laki yang kau cium?" Alaric bertanya lagi.     

Aleksis seketika merasa tersudut.     

"Uhm... kau adalah yang pertama... tapi tetap saja... orang bilang ciuman pertama itu canggung dan aneh... tapi tadi ciumanmu rasanya sangat menyenangkan dan tidak canggung... jadi aku pikir, kau memang sudah terbiasa..." kata Aleksis terbata-bata.     

Ia ingin mempercayai perkataan Alaric, tapi masa iya ada laki-laki seusianya yang belum pernah mencium perempuan sebelumnya? Ini sulit dipercaya.     

"Entahlah... mungkin aku berbakat?" Alaric mengangkat bahu.     

"Be... benarkah kau belum pernah bersama perempuan lain sebelumnya?" tanya Aleksis dengan dada berdebar-debar.     

"Uhm... aku bukan malaikat," kata Alaric cepat. Ia baru mengerti maksud Aleksis. "Aku ini laki-laki normal dan memiliki kebutuhan seksual. Tetapi aku tidak pernah mencium perempuan yang kutiduri. Aku tidak mau menggunakan perasaan dalam hubungan fisik semata."     

"Oh..." Seketika perasaan Aleksis yang tadi diliputi kegembiraan berubah mendung. Tentu saja ia seharusnya tidak berharap terlalu banyak. Alaric jauh lebih tua darinya, dan pasti sudah pernah bersama banyak wanita, dia kan laki-laki normal. Sudah bagus kalau Alaric ini tidak punya istri.     

Alaric menyadari kekecewaan Aleksis tetapi untuk hal ini ia tak dapat berbuat apa-apa. Perbedaan usia di antara mereka terlalu jauh. Sudah sewajarnya bila ia telah memiliki pengalaman jauh lebih banyak dibandingkan Aleksis.     

Aleksis mengira Alaric sudah berusia 40'an... padahal sebenarnya umurnya jauh lebih tua dari itu. Seandainya saja gadis itu tahu, mungkin ia akan ketakutan dan menganggapnya sebagai orang aneh, pikir Alaric sedih.     

"Kau kecewa kepadaku?" tanya Alaric dengan halus.     

Aleksis menggeleng. Ini adalah risiko yang harus ia tanggung karena jatuh cinta kepada laki-laki yang jauh lebih tua. Ia ingat, sebelum bertemu Finland, Caspar, ayah Aleksis adalah seorang playboy yang selama ratusan tahun berganti kekasih sebulan sekali.     

Ayahnya itu jauh lebih parah daripada Alaric yang hanya tidur dengan perempuan tanpa menggunakan perasaan kepada mereka.     

"Jadi sekarang bagaimana?" tanya Alaric lagi. "Karena itu adalah ciuman pertamamu, dan aku yang mengambilnya... aku bersedia bertanggung jawab. Apa yang kau inginkan dariku? Aku akan mengabulkannya..."     

Aleksis menggigit bibirnya... Ini kesempatan bagus untuk meminta hal berharga dari Alaric.     

Aleksis bisa meminta Alaric menikahinya... atau minimal menjadikannya kekasih...     

Atau meminta Alaric untuk mendatangi orang tuanya dan melamar Aleksis...     

Ahh... memalukan. Masakan ia meminta itu dari Alaric? Mereka hanya sekadar berciuman dan belum ada pembicaraan apa-apa tentang cinta di antara keduanya, Aleksis menegur dirinya sendiri.     

Akhirnya ia membuat keputusan.     

"Uhm... permintaanku adalah... Aku mau melihat wajahmu." Ia menatap Alaric dengan sungguh-sungguh. "Aku ingin mengenalmu luar dalam... termasuk mengetahui bagaimana penampilanmu yang sebenarnya."     

Alaric menggeleng, "Maaf, itu tidak bisa. Aku takut kau akan mimpi buruk nantinya. Bahkan aku sendiri tidak mau melihat wajahku..."     

"Tadi katanya kau akan mengabulkan keinginanku..." kata Aleksis protes.     

"Apa pun, kecuali itu," sahut Alaric tegas.     

"Ugh... baiklah. Kalau begitu aku minta satu juta dolar," kata Aleksis sewot.     

Sebenarnya keterlaluan sekali meminta satu juta dolar untuk ciuman yang Aleksis sendiri sangat menikmati. Tapi ia kesal karena Alaric menolak permintaannya.     

Tanpa berkedip Alaric mengambil ponselnya dari meja dan menyerahkan kepada Aleksis. "Tuliskan nomor rekeningmu di sana, aku akan mentransfernya sekarang."     

"Ugh.... kau ini!" Aleksis menepis ponsel itu hingga jatuh ke meja. "Dasar orang kaya... kau pikir segala sesuatunya bisa diselesaikan dengan uang?"     

"Lho... yang minta uang kan kau sendiri?" tanya Alaric. Ia mulai bingung menghadapi gadis ini.     

"Iya sih..." Tiba-tiba Aleksis tidak tahu lagi apa yang diinginkannya.     

Pernyataan Alaric bahwa ia pernah tidur dengan banyak perempuan tadi sudah mengacaukan perasaannya. Ia merasa cemburu kepada perempuan-perempuan yang tidak dikenalnya itu karena mereka telah mengambil Alaric darinya, sebelum ia cukup dewasa untuk bertemu Alaric.     

Ugh... pikiran macam apa ini? Ia merutuki diri sendiri.     

"Aku hanya ingin melihat wajahmu. Kalau kau tidak bisa mengabulkan permintaanku itu, maka biarlah kau berutang kepadaku seumur hidup," kata Aleksis akhirnya.     

Saat mendengar perkataan Aleksis, Alaric menjadi terkesima. Sesungguhnya ia dan Aleksis sangat mirip. Mereka bahkan mengeluarkan kata-kata yang begitu serupa dalam situasi yang mirip ini.     

Ia ingat dulu menantang laki-laki yang dipanggil Paman Rory itu untuk memberinya satu juta dolar, tapi kemudian ia menolak menerima uang itu dan memilih untuk membuat Rory berutang seumur hidup.     

Dan malam ini Aleksis melakukan hal yang persis sama kepadanya...     

Tanpa sadar ia geleng-geleng kepala. Gadis ini sangat cocok dengannya.     

"Baiklah... Adik kecil. Mungkin suatu hari nanti aku akan membayar utang ini. Aku tidak tahu kapan, mungkin suatu hari nanti aku akan menunjukkan wajahku yang mengerikan ini kepadamu. Mungkin kalau nanti kau sudah tua dan rabun," kata Alaric akhirnya.     

Tapi aku tidak akan pernah menjadi tua dan rabun, pikir Aleksis dalam hati. Ia kesal karena menyadari berarti seumur hidupnya ia takkan pernah dapat melihat wajah Alaric.     

"Hmmph... begitu saja?" tanya Aleksis kemudian. "Kau tidak akan memintaku menjadi kekasihmu atau apa?"     

"Hmm... kau mau menjadi kekasihku?" Alaric balik bertanya. "Kau tahu wajahku buruk, dan seumur hidup kau tak akan dapat melihatnya. Apakah kau tidak keberatan?"     

Aleksis mengangguk tegas.     

Alaric terkesiap melihat ternyata gadis itu sama sekali tidak berubah, masih saja terobsesi kepadanya.     

"Tidakkah kau pikir ini semua terlalu cepat?" tanya Alaric memastikan. "Kau bahkan tidak mengenalku."     

"Tidak apa-apa, kau juga tidak mengenalku. Kita sama," tukas Aleksis.     

"Lalu apa gunanya kita menjadi kekasih? Kita ini tidak saling mengenal..." Alaric terdengar hampir putus asa.     

"Kau sendiri yang bilang kalau kita bertemu untuk ketiga kalinya, berarti kita berjodoh. Tidakkah kau menyadari bahwa itu benar? Takdir terus mempertemukan kita, dan selama delapan tahun ini aku selalu memikirkanmu..." Aleksis menatap Alaric dengan pandangan penuh keteguhan.     

"Aleksis... kau tidak mengenalku. Kalau kau tahu hal-hal mengerikan yang aku lakukan, mungkin kau justru akan membenciku..." kata Alaric pelan.     

"Aku tahu kau orang baik.... Kau telah berkali-kali menyelamatkanku, tanpa pamrih..." kata Aleksis keras kepala. "Selebihnya, aku yakin apa pun yang kau lakukan, itu karena kau harus melakukannya dan kau tidak punya pilihan..."     

"Cinta membuatmu bias," komentar Alaric. "Aku tidak tahu apakah itu cinta atau obsesi.. Yang jelas kau gadis aneh karena menyukaiku..."     

"Jadi bagaimana?" tanya Aleksis lagi. Ia sudah tidak sabar karena Alaric sepertinya tidak berniat memperjelas hubungan mereka. Ia merasa sedih dan kesal karena sepertinya di antara mereka, Aleksis-lah yang bersikeras ingin agar mereka menjadi pasangan kekasih, sementara Alaric bersikeras agar mereka tidak memiliki hubungan apa-apa.     

Pikiran itu membuat dadanya sesak.     

"Maaf, saat ini aku tidak dapat berinvestasi perasaan kepada seorang wanita. Tadi aku menciummu karena kesalahan. Kau terlalu mengagumkan dan untuk sesaat aku kehilangan kendali. Aku sarankan kau mencari laki-laki yang tidak akan membuatmu sakit. Laki-laki yang tidak perlu menyembunyikan wajahnya di balik topeng.." Alaric menggeleng penuh penyesalan.     

Aleksis ternganga mendengar kata-kata Alaric. Ia sama sekali tidak menyangka, cintanya akan ditolak begitu saja...     

Pikirannya seketika berkabut dan dengan kecewa ia menghentakkan kaki lalu mengambil anjingnya dari sofa. Ia tidak akan mengemis cinta kepada laki-laki yang telah menolaknya.     

"Baiklah. Kalau begitu selamat tinggal...." katanya tegas, lalu berjalan keluar ruangan sambil membanting pintu. Air matanya berhasil ia tahan sampai masuk ke lift dan menghilang ke lantai 100.     

Perasaan sedih, marah, dan kecewa semua berbaur menjadi satu.     

Di dalam ruang kerjanya, Alaric hanya bisa menghela napas panjang dan menuangkan wiski ke gelasnya hingga penuh dan meminumnya dengan cepat.     

"Maafkan aku, Aleksis... Kau adalah gadis paling mengagumkan yang pernah aku temui, tapi aku tidak boleh jatuh cinta kepadamu. Aku tidak akan sanggup bertahan kalau aku kehilanganmu beberapa puluh tahun lagi karena kau menjadi tua dan mati. Kita terlalu berbeda... Sudah takdirku untuk selalu sendirian...." bisiknya pelan, seolah Aleksis masih ada di sampingnya, mendengarkannya berkeluh kesah.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.