The Alchemists: Cinta Abadi

Aw...



Aw...

0Pavel terkejut melihat Aleksis berlari kencang kembali ke ruangan Alaric Rhionen, dan sebelum ia sempat menghentikannya, gadis itu telah membuka pintu dan menghambur masuk.     

"Pangeran Siegfried!!" Ia berseru memanggil Alaric dengan suara hampir kehabisan napas.     

Ini pasti Pangeran Siegfried yang dicarinya, pikir Aleksis. Ia sekarang ingat pria itu tadi juga memanggilnya 'Adik kecil' seperti yang biasa dilakukan pemuda penolongnya delapan tahun lalu.     

Pria bertopeng yang sedang menikmati wiskinya tampak terkejut melihat kehadiran Aleksis yang menerobos masuk ke ruangannya. Ia mengira gadis itu sudah pergi.     

Tanpa malu-malu Aleksis telah menghambur dan memeluknya, membuat pria itu menjadi salah tingkah. Ia meletakkan gelasnya dan dengan canggung balas memeluk Aleksis.     

"Astaga... kau belum mati... Kau masih hidup..." bisik Aleksis dengan penuh haru. "Aku senang sekali bisa bertemu kembali denganmu..."     

Beberapa saat kemudian Aleksis melepaskan pelukannya dan meneliti kedua tangan Alaric. "Tanganmu yang mana yang putus? Aku bisa meminta Paman Rory mengobatinya dan Paman Aldebar akan kuminta membuatkan tangan prostetik yang bagus..."     

Pria itu tampak terpukau melihat betapa Aleksis sangat kuatir terhadapnya. Gadis itu bahkan sempat-sempatnya memikirkan tangannya yang tadi ia bilang putus oleh ledakan bom.     

"Uhm... tanganku tidak apa-apa, Adik kecil. Tadi itu aku hanya bercanda..." katanya sambil tersenyum.     

Aleksis menatapnya lekat-lekat seakan hendak mematrikan sosok pria itu dalam ingatannya. Setelah delapan tahun, tentu ia tak lagi mengingat wajah pemuda penolongnya. Tadi siang ia bahkan mengira Nicolae adalah Pangeran Siegfried, padahal sebenarnya Pangeran Siegfried yang asli sudah berubah penampilannya. Memang sih mereka mirip secara fisik, apalagi rambutnya sama panjang dan tingginya juga sama.     

Atau jangan-jangan wajahnya sebenarnya tidak rusak, sama seperti tangannya tidak benar-benar hilang?     

Apakah ini sebenarnya Nicolae yang menyamar?     

Tapi Nicolae kan masih muda... sementara Pangeran Siegfried sekarang seharusnya sudah 30'an...     

Bukan, malah seharusnya sudah 40'an kalau mengingat ia pertama kali bertemu Aleksis 18 tahun yang lalu di Thailand.     

Aleksis mengerutkan keningnya dan tanpa sadar menyentuh topeng kulit di wajah Alaric.     

Seakan membaca pikiran Aleksis, pria itu menyentuh tangan Aleksis dan menurunkannya. Ia menggeleng dengan ekspresi sendu, "Aku hanya bercanda soal tanganku, tetapi wajahku yang buruk....itu benar. Aku sendiri tidak sanggup melihatnya, makanya aku memakai topeng ini..."     

"Oh..." Aleksis terpana.     

Berarti wajah Alaric memang sudah rusak, pikirnya sedih.     

Pangeran Siegfried tidak mungkin Nicolae yang menyamar sebagai Alaric, karena jelas-jelas mereka berbeda usia hampir 20 tahun. Kalau Alaric adalah Nicolae, ia haruslah memiliki keistimewaan awet muda seorang alchemist. Sementara Nicolae tadi tidak mengerti apa itu alchemist. Ayah Aleksis juga pasti mengenalnya, karena Caspar hingga sekarang masih merupakan ketua klan alchemist dan ia tahu semua orang.     

Aleksis diam-diam menegur dirinya sendiri yang berpikiran terlalu jauh, hanya karena Alaric memakai topeng untuk menyembunyikan wajahnya yang rusak.     

Betapa malangnya Alaric... luka di wajahnya pasti sangat parah dan sakit, hingga wajahnya menjadi rusak seperti itu.     

Aleksis seketika dilanda kesedihan lagi, memikirkan peristiwa buruk yang membuat Alaric kini harus bersembunyi di balik topeng hanya untuk bertemu orang lain.     

Ia lalu mengangkat tangannya kembali dan membelai pipi Alaric dengan penuh kasih sayang.     

"Pasti rasanya sakit sekali ya..." katanya lirih.     

Alaric tertegun melihat Aleksis sama sekali tidak berubah sikap, walaupun ia sudah mengatakan bahwa wajahnya memang rusak. Tanpa sadar ia memejamkan mata dan menikmati usapan tangan Aleksis di wajahnya. Pelan-pelan wajahnya menyunggingkan senyum tipis.     

"Hmm... tidak sakit lagi. Itu sudah sangat lama berlalu," katanya kemudian.     

"Paman Rory bilang ia pertama kali bertemu denganmu 18 tahun yang lalu, dan ia memberimu obat luka yang ampuh... tetapi kau malah memberikan sisa obat terakhir kepadaku saat aku terjatuh dari mobil.. Kenapa kau tidak meminta obat lagi kepada Paman Rory? Ia pasti dengan senang hati akan memberikannya. Kau tidak tahu selama bertahun-tahun kami berusaha mencari jejakmu... Tetapi kau sangat misterius," kata Aleksis dengan nada sedikit protes.     

Duh, seandainya Alaric meminta obat dari Paman Rory, tentu wajahnya bisa diselamatkan...     

"Aku tidak pernah menolong orang karena mengharapkan sesuatu," jawab Alaric sambil mengangkat bahu. "Lagipula ini risiko pekerjaanku. Kalau aku membiarkan kalian mengetahui jati diriku, aku harus membunuh kalian..."     

"Astaga..." Aleksis menekap bibirnya kaget, "Kalau begitu, apakah kau sekarang akan membunuhku? Aku sudah mengetahui identitasmu..."     

Alaric memandang Aleksis sambil tersenyum kecil, "Buat apa aku menyelamatkanmu tiga kali, kalau ternyata aku akhirnya membunuhmu? Bukankah itu namanya bodoh dan membuang-buang tenaga? Kalau aku menginginkanmu mati, aku cukup membiarkanmu saja. Dengan tingkat kecerobohanmu seperti ini, nanti juga mati sendiri."     

Aleksis mengerucutkan bibirnya mendengar ucapan Alaric. Dia tidak salah sih... Tiga kali Alaric bertemu dengannya, tiga kali pula ia menyelamatkan Aleksis dari bahaya...     

Ugh... mengingat itu rasanya Aleksis ingin menjerit kesal.     

"Jadi lain kali kalau aku dalam bahaya, kau akan membiarkanku begitu saja?" cetusnya dengan nada protes. Tingkahnya yang agak kekanakan ini membuat Alaric tak kuasa menahan diri untuk tidak tertawa.     

Walaupun kini anak perempuan yang ditolongnya itu sudah berubah menjadi seorang gadis dewasa yang sangat sangat cantik, kelakuannya tidak jauh berbeda seperti saat dulu mereka bertemu dan bergaul rapat selama seminggu saat gadis itu masih berusia 12 tahun. Alaric masih ingat betapa dulu Aleksis menjebaknya untuk terjun ke air dengan pura-pura tenggelam.     

Ah, gadis ini nakal sekali, pikirnya gemas.     

"Mungkin," jawab Alaric dengan nada pura-pura acuh.     

"Apa? Kau tega membiarkanku mati kalau aku nanti terancam bahaya karena kecerobohanku?" Aleksis tampak sangat kecewa. "Apakah aku ini begitu menyebalkan untukmu? Apakah aku tidak ada artinya sama sekali...?"     

Kali ini air mata yang mengalir ke pipi Aleksis bukanlah air mata buaya. Ia sungguh-sungguh tersinggung, karena Alaric sepertinya tidak memiliki perasaan yang sama seperti dirinya.     

Ia ingat dulu Alaric juga mengatakan tidak mau bertemu lagi dengannya...     

Mungkin itulah penyebab pria itu hingga kini sengaja menghindar darinya dan menyembunyikan identitasnya.     

Pelan-pelan sesisip rasa malu merasuk ke dalam hati Aleksis. Kali ini mereka tidak sengaja bertemu kembali... untuk ketiga kalinya. Kalau takdir tidak mempertemukan mereka begini, mungkin Alaric tetap berusaha sekuat tenaga untuk terus menghindarinya.     

Memikirkan ini membuat Aleksis merasa sedih dan tersinggung. Ia tahu dirinya sangat cantik dan kalau ia tidak dengan sengaja menjelekkan penampilannya, tidak akan terhitung banyaknya laki-laki yang akan mengganggunya... Tetapi Alaric sepertinya tidak mengaguminya seperti kebanyakan lelaki lain.     

Padahal dia kan sudah tua... dan wajahnya juga sekarang sudah jelek...     

Kenapa justru dia yang tidak menyukaiku, pikir Aleksis.     

Ia lalu merengut.     

"Baiklah... aku juga punya harga diri..." katanya kemudian, berusaha terlihat tegar. "Karena sekarang kita sudah bertemu, aku sudah tahu namamu, dan kau yang jelas-jelas tidak mau bertemu lagi denganku... malahan kau ingin membiarkanku mati dalam kecerobohanku... Rasanya sudah tidak ada lagi urusan di antara kita..."     

Ia mengangkat hidungnya tinggi-tinggi dan berbalik hendak pergi.     

Alaric tampak geli melihat tingkahnya. Ia tahu Aleksis benar-benar tersinggung, padahal tadi ia hanya bercanda dengan kata-katanya.     

Jangankan menyelamatkannya tiga kali... seribu kali pun ia takkan keberatan. Gadis itu sangat menggemaskan.     

Ketika Aleksis berlalu dengan langkah-langkah panjang, Alaric tiba-tiba memanggilnya.     

"Adik kecil, bagaimana nasib anak anjingmu? Apakah dia masih hidup?"     

Serentak langkah Aleksis terhenti dan ia menoleh, "Tentu saja Pangeran Siegfried Kecil masih hidup. Ia sangat bahagia dan gemuk... Aku membawanya ke Singapura untuk bertemu denganmu..."     

Alaric menepuk keningnya.     

Astaga... Ternyata Aleksis sungguh-sungguh menamai anjingnya 'Pangeran Siegfried Kecil'. Dulu ia mengira gadis itu hanya bercanda.     

Ia berdiri terpukau melihat gadis di depannya ini.     

Aleksis adalah gadis paling cantik yang pernah dilihatnya, juga memiliki kepribadian paling menyenangkan dan lucu. Dari interaksi mereka berkali-kali, ia juga menyadari bahwa gadis itu pemberani dan sangat cerdas...     

Ia tak dapat menahan kekagumannya...     

Tidak... ia tak dapat menahan dirinya untuk tidak jatuh cinta...     

Gadis ini begitu tulus memperlakukannya, bahkan tidak mempedulikan wajahnya yang rusak...     

"Aleksis..." tanpa sadar bibirnya telah memanggil nama gadis itu dengan suara serak.     

"Ya?" Aleksis berbalik dan menatap Alaric dengan ekspresi keheranan. Rasanya baru pertama kali Alaric memanggil namanya seperti ini. Matanya kemudian membulat saat melihat Alaric perlahan-lahan mendekatinya. "A... ada apa?"     

Mulutnya terbuka tetapi tak mampu mengeluarkan kata-kata saat Alaric sudah mencapainya dan tiba-tiba memeluknya erat sekali.     

Perasaan damai yang akrab itu kembali menyelubungi seluruh tubuh Aleksis. Ia mengingat perasaan ini dengan baik. Dari dulu Pangeran Siegfried-nya selalu memberikan perasaan teduh yang membuatnya merasa aman dan terlindungi...     

Alaric lalu melonggarkan pelukannya dan menyentuh dagu Aleksis. Perlahan tapi pasti ia mendekatkan wajahnya, kemudian bibirnya pun mencium lembut bibir Aleksis yang terbuka, hendak bicara tapi tak mampu mengeluarkan kata-kata.     

Perasaan euphoria yang asing tetapi sekaligus akrab membuat Aleksis melayang saat bibirnya dilumat Alaric dengan penuh cinta.     

Ini adalah ciuman pertamanya...     

Ternyata ciuman itu bahkan lebih indah dari yang selama ini dibayangkan Aleksis...     

Ia memejamkan mata menikmati pagutan bibir mereka berdua, dan Aleksis tak kuasa menahan desahannya saat lidah Alaric mulai menjelajah ke dalam mulutnya. Ia amat sangat menyukai bibir Alaric yang basah dan lembut itu... dan secara insting ia lalu membalas ciumannya.     

Pantas saja Papa dan Mama sangat sering bermesraan, pikirnya...     

Ia pun akan sering begitu, karena sekarang ia sudah mengetahui bahwa ternyata berciuman dengan Pangeran Siegfried ini rasanya sangat sangat menyenangkan...     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.