The Alchemists: Cinta Abadi

Alaric Rhionen



Alaric Rhionen

0Aleksis akhirnya sadar setengah jam kemudian. Kepalanya sakit dan untuk beberapa lama ia harus mengumpulkan pikirannya untuk mengingat apa yang terjadi.     

"Ugh... di mana aku?" gumamnya. Aleksis mengerjap-ngerjapkan matanya dan memandang ke sekeliling. Sepertinya ia berada di sebuah kamar yang berukuran sedang. Hanya ada satu tempat tidur dan meja kerja kecil di sana.     

Sesaat kemudian ia ingat apa yang terjadi sebelum ia pingsan. Seseorang mengatakan bahwa Pangeran Siegfried yang dicarinya ternyata sudah mati... Hal itu sangat membuat Aleksis terpukul hingga ia tak dapat menahan kesedihan dan jatuh pingsan.     

Penantiannya selama delapan tahun ternyata berakhir begitu saja dalam antiklimaks yang menyedihkan...     

Tanpa dapat ditahan lagi ia pun menangis sesenggukan.     

Aleksis adalah seorang gadis yang ekspresif. Ia bicara blak-blakan, menangis dan tertawa dengan begitu mudahnya, dan kini ia sedang meratapi cinta pertamanya yang sudah tiada dengan kesedihan yang mendalam.     

Suara tangisnya membuat seorang pria yang sedang duduk di luar menjadi tergugah. Ia bangkit dari kursi kerjanya dan berjalan perlahan menghampiri pintu kamar lalu membukanya pelan-pelan. Ia tampak tertegun melihat gadis yang demikian cantik itu kini bersimbah air mata dan menangis dengan begitu sedih.     

Mengapa ia sesedih ini? pikirnya bingung.     

Ia lalu membuka pintu dan masuk ke dalam kamar. Sehelai sapu tangan kemudian terulur ke depan wajah Aleksis yang bersimbah air mata, membuat gadis itu terlengak.     

Ia menoleh ke samping dan menemukan pria bertopeng itu berdiri di sebelah tempat tidur dengan mengulurkan sapu tangannya.     

Selain ayahnya, Aleksis tidak pernah melihat laki-laki lain membawa sapu tangan sebelumnya, dan untuk sesaat pemandangan itu membuat Aleksis tertegun.     

"Te.. terima kasih," bisiknya pelan sambil mengambil sapu tangan itu dan mengusap air mata dan hidungnya yang basah. "Di mana aku?"     

"Hmm... di kantorku. Tadi kau pingsan dan aku pikir kau tidak mau bangun di tengah-tengah kerumunan orang, jadi kubawa ke sini..." jawab pria itu.     

"Oh..." Aleksis ingat Rhionen Industries memiliki kantor di sepuluh lantai di Gedung Continental. Berarti pria itu berkantor di sini juga?     

"Kenapa kau menangis sedih sekali?" tanya pria itu kemudian. Suaranya terdengar lembut dan penuh perhatian, membuat Aleksis mengerutkan kening, berusaha berpikir keras, di mana ia pernah mendengar suara ini.     

"A..aku sedih karena kau bilang Pangeran Siegfriedku sudah meninggal..." jawab Aleksis dengan suara getir.     

"Pangeran Siegfried-mu?" Pria itu tampak terhibur melihat tingkah Aleksis yang menurutnya kekanak-kanakan itu. "Sejak kapan kau menjadi pemiliknya?"     

"Ugh... bukan itu maksudku..." cetus Aleksis. "Aku bukan pemiliknya. Aku berutang budi kepadanya dan aku ingin sekali bertemu kembali dengannya untuk membalas kebaikannya kepadaku... Makanya aku sedih sekali waktu tahu bahwa ia sudah meninggal."     

"Hmmm.." Pria itu mengangguk-angguk. Ia lalu keluar kamar tanpa berkata apa-apa lagi, membuat Aleksis menjadi penasaran dan buru-buru bangkit dari tempat tidur dan mengikutinya ke ruang tamu.     

Pria ini pasti seorang yang penting di perusahaan. Kantornya memiliki kamar untuk beristirahat, dan ruang tamunya cukup besar, lalu di ruangan sebelah ada ruang kerja berisi meja kerja besar dan kursi yang sangat nyaman, hampir seperti takhta seorang raja, dengan jendela besar dari lantai ke langit-langit yang menunjukkan pemandangan kota indah dari ketinggian lantai 39.     

Pria bertopeng itu mengambil sebotol red wine dan dua buah gelas lalu menuangkan wine untuk mereka. "Minumlah, biar kau merasa agak tenang."     

Aleksis menerima gelasnya dengan penuh terima kasih.     

Ugh, setelah menerima berita buruk seperti tadi, rasanya ia perlu minuman yang lebih keras. Ia membayangkan wiski atau vodka... Tapi untuk sementara wine juga tidak apa-apa, pikirnya.     

Aleksis meneguk wine-nya dan untuk sesaat kepalanya terasa menjadi lebih ringan.     

"Siapa kau?" tanyanya kemudian setelah pikirannya agak tenang. "Apakah kau kenal dengan Pangeran Siegfried-ku? Bisa tolong ceritakan... bagaimana ia mati?"     

Pria itu memutar gelasnya dan tampak berpikir cukup lama, seberapa banyak ia harus menceritakan apa yang diketahuinya kepada gadis itu. Akhirnya ia mengangguk.     

"Alaric mati dalam salah satu tugas berbahaya yang dikerjakannya." Ia mengangkat bahu, "Itu adalah risiko pekerjaan."     

Aleksis menekap mulutnya dalam shock. Sejak ia mengetahui kemungkinan profesi Pangeran Siegfried, hati Aleksis sering berdebar gelisah membayangkan bahwa suatu saat nanti ia mungkin akan terbunuh dalam salah satu tugasnya, sebab ia sendiri mengatakan kepada Aleksis delapan tahun lalu bahwa ia tidak yakin ia masih akan hidup untuk bertanding baduk dengan Aleksis.     

"Si... siapa yang membunuhnya? Apakah kau tahu?" tanya Aleksis sambil menggigit bibirnya dengan kalut.     

"Apa yang akan kau lakukan kalau kau tahu?" tanya pria itu keheranan.     

"Aku akan membalaskan dendamnya!" jawab Aleksis dengan tegas.     

"Adik kecil, Alaric itu sangat tangguh, tetapi bahkan ia terbunuh dalam tugasnya. Bagaimana bisa seorang perempuan muda sepertimu, yang tadi bahkan tidak berkutik menghadapi Pavel, bisa membalaskan dendamnya?" tanya pria itu sambil geleng-geleng, "Aku menghargai semangatmu, tetapi sebaiknya kau lupakan saja Alaric dan melanjutkan hidupmu..."     

Aleksis mengeraskan wajahnya dan menggeleng tegas, bibirnya hampir berdarah karena tadi digigitnya dalam gundah, "Aku sendiri mungkin tidak terlalu kuat, tetapi aku bisa meminta bantuan ayah dan pamanku... Mereka akan melakukan apa pun untukku... Dendam ini harus kubalas. Tolong beri tahu aku, siapa yang membunuhnya..."     

Pria itu terkesima melihat tekad Aleksis.     

"Kenapa kau begini keras kepala? Aku hanya memberimu nasihat untuk kebaikanmu sendiri. Lupakan Alaric dan dendamnya... lanjutkan hidupmu. Kau masih sangat muda. Jangan menyiksa diri dengan hal yang tidak perlu."     

Aleksis menaruh gelasnya dan menggeleng kuat-kuat, "Maaf ya, aku masih berduka. Jangan mengatur aku harus bagaimana. Aku berterima kasih karena kau sudah menolongku malam ini, tetapi hidupku adalah urusanku. Dan saat ini aku memutuskan untuk membalaskan dendam Pangeran Siegfried. Aku akan membunuh siapa pun yang sudah menyakitinya..."     

"Kau ini lucu... tingkahmu seperti seorang kekasih yang ingin membalas dendam." Pria itu mengerutkan keningnya, "Apa hubunganmu dengan Alaric yang sebenarnya? Alaric sudah mati tujuh tahun lalu, berarti saat terakhir kalian bertemu, kau pasti masih kecil, kan?"     

Aleksis merasa tersudut mendengar pertanyaan itu. Memang benar, saat mereka bertemu delapan tahun lalu, ia masih seorang anak-anak, tetapi kini ia bertingkah seperti seorang kekasih yang ditinggal mati... Tentu orang luar yang tidak mengetahui apa yang terjadi akan menganggap sikapnya aneh dan menggelikan.,,     

"Justru itu, karena mereka membunuh Alaric, aku tidak dapat bertemu dengannya di saat aku sudah dewasa...!" tukas Aleksis kemudian, suaranya dipenuhi kemarahan, "Mereka mengambil kesempatanku untuk bisa menjadi kekasihnya..."     

Pria itu tampak tercengang di balik topengnya.     

Ia mengamati baik-baik wajah Aleksis untuk menilai apakah gadis ini bersungguh-sungguh dengan ucapannya atau tidak.     

"Kalian pasti berbeda umur cukup jauh... Kau masih sangat muda, sangat cantik... tentunya kalau dia masih hidup, Alaric akan terlihat seperti Om-Om kalau berdampingan denganmu. Apa kau tidak malu?" tanyanya penasaran.     

Aleksis menggeleng, "Sama sekali tidak. Bagiku perbedaan usia tidak menjadi masalah."     

Ayahku lebih tua 414 tahun dibandingkan ibuku, pikirnya.     

"Alaric banyak melakukan tugas berbahaya... Di salah satu misinya ia terluka parah akibat ledakan bom dan ia kehilangan satu tangan dan wajahnya menjadi rusak..." kata pria bertopeng itu pelan. "Kalaupun ia masih hidup, penampilannya sudah sangat menyedihkan..."     

"Astaga...." Aleksis terhenyak mendengar penjelasan pria bertopeng itu. "Oh tidak... Pangeran Siegfried yang malang...."     

"Kalau ia masih hidup, kau pasti tidak akan memandangnya sebelah mata karena ia sudah buruk rupa," kata pria bertopeng itu lagi.     

Aleksis memejamkan matanya dalam kesedihan, mengingat nasib malang yang dialami Pangeran Siegfried-nya sebelum mati. Oh, kasihan sekali kau...     

"Aku tidak keberatan. Bukan wajahnya yang membuatku menyukainya..." kata Aleksis beberapa saat kemudian, setelah ia menguasai perasaannya. "Seandainya saja ia tidak demikian misterius dan menghilang begitu saja... Keluargaku pasti mau menolongnya saat ia mengalami keadaan sulit... Ia tidak harus mati dalam keadaan menyedihkan begitu...."     

Pria bertopeng itu terdiam mendengar perkataan Aleksis. Ia terpukau karena gadis di depannya ini, yang begitu cantik, begitu memikat, sama sekali tidak mempedulikan semua kekurangan Alaric yang tadi disampaikannya. Gadis ini terdengar begitu tulus...     

Aleksis membenamkan wajahnya di kedua tangannya dan kembali menangis sedih, membayangkan nasib malang pemuda penolongnya.     

Pria bertopeng itu tampak ragu-ragu sejenak, tapi kemudian ia bergerak dan mendekap Aleksis ke dadanya dan mengusap kepala gadis itu, berusaha menenangkannya.     

"Adik kecil... apa yang kau rasakan ini cuma perasaan khayalan yang tidak nyata. Kau menciptakan sosok seorang Pangeran Siegfried di dalam kepalamu dan menjadi terobsesi karenanya, selama bertahun-tahun. Tolong lupakan dia, demi kebaikanmu sendiri..."     

Aleksis tidak dapat menggambarkan perasaannya saat itu. Di satu sisi ia sangat sedih karena mengetahui Pangeran Siegfried sudah meninggal, tetapi di sisi lain ia merasa sangat nyaman dalam dekapan pria asing ini.     

Ah.. apakah ia perempuan gampangan? Kenapa ia mesti merasa nyaman dalam pelukan laki-laki lain? Hatinya menyalahkan diri sendiri.     

Mungkin benar kata pria ini, Pangeran Siegfried hanyalah obsesi baginya.     

Ini tidak sehat.     

Ia melepaskan diri dari pelukan pria bertopeng itu dan menghapus air matanya. Bagaimana bisa ia menyatakan bahwa ia sangat menyukai Pangeran Siegfried dan ingin menjadi kekasihnya, tetapi membiarkan dirinya dipeluk orang lain?     

"Baiklah.. kalau kau tidak mau memberitahuku siapa yang membunuh Pangeran Siegfried... aku akan mencari tahu sendiri. Yang jelas sekarang sudah terbukti Rhionen Assassins dan Rhionen Industries memang memiliki hubungan. Aku akan berusaha mencari tahu lebih lanjut..." kata Aleksis lirih. Ia merapikan penampilannya dan menarik napas panjang. "Terima kasih atas bantuanmu... Aku harus pergi..."     

Pria itu tampak kecewa karena Aleksis melepaskan diri dari pelukannya, tetapi ia mengangguk.     

"Semoga kau bisa melupakannya..." kata pria itu lembut. "Alaric pasti senang ia pernah menyelamatkanmu dua kali, karena kau sudah tumbuh menjadi wanita yang sangat mengagumkan, seperti dugaannya."     

Aleksis mengangguk lemah dan berjalan mencari pintu keluar. Ia harus pulang ke penthouse dan melanjutkan menangis di sana, lalu membuat rencana untuk mencari tahu siapa pembunuh Pangeran Siegfried, dan membalaskan dendamnya...     

Pria bertopeng itu hanya menatap kepergiannya dengan pandangan rumit. Ia mengangkat gelas wine-nya dan seketika merasa bahwa ia pun membutuhkan minuman yang lebih keras. Ia menaruh kembali gelasnya di meja lalu bergerak ke kabinet dan mengeluarkan sebotol wiski berumur 24 tahun.     

Aleksis berjalan perlahan-lahan di ruangan kantor yang begitu luas, melintasi berbagai ruangan dan kubikel yang kosong. Tentu saja kantor ini kosong, selain ini sudah bukan jam kerja, para karyawannya sedang berpesta di Sky Bar di puncak gedung.     

Saat ia sedang kebingungan mencari arah lift, ia melihat Pavel sedang berjalan masuk ke ruangan kantor. Seketika ekspresinya berubah keras saat melihat pria yang tadi hampir melemparkannya dari Sky Bar.     

Ugh... orang ini lagi!     

Pavel tampak tidak mempedulikannya dan berjalan berpapasan tanpa ekspresi. Saat itulah Aleksis teringat bahwa sampai kini ia sama sekali tidak mengetahui nama si pria bertopeng yang telah menolongnya dan memberitahunya tentang nasib Pangeran Siegfried.     

Ah, ia tidak boleh menjadi orang yang tidak tahu terima kasih. Ia harus menanyakan namanya.     

"Heii... Pavel, kan?" panggilnya kemudian, sebelum Pavel bergerak terlalu jauh darinya.     

Pavel menoleh dengan pandangan datar, "Ada apa?"     

"Uhm... aku tadi lupa menanyakan nama pria bertopeng yang menolongku. Aku mau mengirim kartu ucapan terima kasih..." kata Aleksis, berusaha menahan diri agar tidak bersuara ketus saat bicara dengan Pavel. Bagaimanapun ia perlu informasi darinya saat ini. Aleksis harus bisa menahan kemarahannya. "Bolehkah aku tahu siapa namanya?"     

Wajah Pavel tampak mengkerut tidak suka. Jawabannya terdengar lebih seperti dengusan, "Itu tuan Alaric Rhionen. Dia adalah pemilik perusahaan ini."     

"Alaric Rhionen?" Aleksis perlu waktu beberapa detik untuk mencerna jawaban Pavel.     

Bukankah Alaric adalah nama Pangeran Siegfried yang sebenarnya? Apakah namanya demikian umum sehingga pemilik perusahaan Rhionen Industries juga bernama Alaric?     

Tiba-tiba sesuatu terbetik di pikiran Aleksis. Ia baru ingat tadi pria bertopeng itu bilang Alaric tentu senang ia telah dua kali menyelamatkan Aleksis, karena kini Aleksis sudah tumbuh menjadi wanita yang mengagumkan....     

Dari mana ia tahu Pangeran Siegfried telah dua kali menyelamatkan Aleksis? Aleksis tidak pernah menceritakannya...!     

Apakah...     

Apakah... mereka orang yang sama?     

Tanpa dapat ditahan lagi sepasang kaki Aleksis telah berlari kembali ke ruangan pria bertopeng itu.     

Pangeran Siegfried adalah Alaric Rhionen...     

Dan ia adalah pria bertopeng yang malam ini menyelamatkan Aleksis!     

Mereka telah tiga kali bertemu!     

Ia telah tiga kali menyelamatkan Aleksis!     

Mereka memang berjodoh....     

Senyuman tersungging di bibirnya saat Aleksis berlari kembali ke ruangan itu dengan air mata berjatuhan.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.