The Alchemists: Cinta Abadi

Delapan Tahun Kemudian



Delapan Tahun Kemudian

0Setelah cukup lama berpikir, akhirnya Caspar memecah keheningan.     

"Famke adalah anggota kelompok Rhionen Assasins sebelum ia mati..." katanya. "Sebelum itu ia bekerja sendiri. Jadi kemungkinan pria ini ada hubungannya dengan kelompok itu."     

Jadeith mengangguk. "Ini adalah salah satu kelompok pembunuh bayaran paling rapi dan tersembunyi di dunia. Kita juga hanya punya informasi tentang mereka berdasarkan apa yang Famke ceritakan. Anggota yang memiliki tato naga adalah pembunuh kelas satu, di bawahnya ada phoenix, harimau, dan serigala."     

"Aku kuatir ia ada hubungan dengan Famke dan kita akan menghadapi urusan yang belum selesai," kata Caspar.     

"Kalau anak itu sungguh-sungguh anggota Rhionen, mungkin dia satu level dengan Famke. Tetapi mengingat usianya yang masih muda, ia pasti anggota baru, belum bergabung saat Famke masih hidup. Kemungkinan mereka tidak saling mengenal," kata Lauriel menimpali.     

"Setahuku Famke adalah satu-satunya alchemist di kelompok itu dan ia menjaga rahasia identitasnya dengan baik. Kurasa kita tidak perlu menguatirkan mereka." Caspar mengetuk-ngetukkan jarinya di meja makan. "Tapi laki-laki itu sungguh membuatku penasaran."     

"Dia tidak berbuat jahat kepada Aleksis, malah sudah dua kali menolongnya," kata Lauriel, "Sebaiknya kau jangan menganggunya."     

"Aku tidak suka berutang budi kepada orang lain," sahut Caspar. Wajahnya tampak agak gusar, tetapi ia menyetujui ucapan Lauriel. "Kau benar, aku tidak akan mengganggunya. Semoga lain kali aku akan mendapat kesempatan membalas kebaikannya."     

Aleksis yang mendengarkan percakapan mereka dari tadi hanya bisa termangu. Ia tidak mengira 'Pangeran Siegfried' benar-benar telah dua kali menyelamatkannya.     

Ah, kalau kami bertemu untuk ketiga kalinya berarti kami memang berjodoh, pikir anak perempuan itu. Pelan-pelan seulas senyum menghiasi wajahnya.     

Aleksis akan merasa sangat senang kalau dapat bertemu sang pangeran lagi.     

"Paman Rory, tolong ajari aku bermain baduk biar lebih jago, dong... Aku mesti mengalahkan seseorang beberapa tahun lagi," katanya sambil bergelayut manja di tangan Lauriel. "Paman kan tahu aku tidak suka kalah."     

"Sebaiknya Paman mengajarimu bela diri, biar kau lebih aman," tukas Lauriel, "Kau tidak tahu betapa cemasnya kami waktu kau menghilang..."     

"Ya, itu juga. Paman ikut pulang bersama kami, kan? Aku masih rindu... Kita kan sudah tiga bulan tidak bertemu," kata Aleksis sambil memberikan tatapan anak anjing manjanya yang terbaik. Ia bahkan mengalahkan sorot mata Pangeran Siegfried Kecil.     

Lauriel menghela napas dan mengangguk. Tentu saja ia akan ikut keluarga Schneider pulang ke rumah mereka. Ia tidak terbang jauh-jauh dari Colorado hanya untuk bertemu Aleksis sebentar lalu kembali pulang ke Amerika.     

Rombongan keluarga Schneider yang tadinya berangkat berjumlah 5 orang ditambah staff, kini akan pulang ke New Zealand dengan tambahan personil: Paman Rory, Paman Jean, dan Terry. Di antara ketiga tamu yang ikut rombongan mereka, hanya Terry yang masih merasa asing di antara keluarga mereka. Lauriel sudah sering tinggal bersama keluarga Schneider kalau ia merindukan anak-anak Caspar dan Finland. Jean juga begitu.     

Lauriel memang menganggap Aleksis sebagai anak angkatnya dan ia sering mengajak Aleksis bepergian karena anak perempuan itu adalah anak paling besar dan ia sangat mandiri, tetapi ia tetap memperlakukan London dan Rune dengan penuh kasih sayang, selayaknya paman kandung.     

Kehadirannya selalu disukai anak-anak itu karena Lauriel sangat ahli berbagai tanaman dan ia mendidik mereka dengan sangat baik tentang berbagai tumbuh-tumbuhan dan khasiatnya. Jean juga sangat akrab dengan keluarga itu dan kadang berlibur bersama keluarga Schneider kalau jadwal pekerjaannya tidak padat. Mereka pun hampir selalu menghabiskan liburan natal bersama, dan hubungan di antara mereka semua sudah demikian dekat seperti keluarga sendiri.     

Terry yang baru masuk ke dalam lingkungan itu merasa terpukau melihat betapa beruntungnya anak-anak Schneider karena memiliki orang tua penyayang dan dua paman yang keren. Ia senang karena ketiga anak itu memperlakukannya dengan sangat baik. Bahkan untuk beberapa hal, mereka seolah memujanya karena Terry lebih tua dan tahu sangat banyak hal.     

Aleksis yang usianya paling dekat dengannya juga berhasil membuatnya kagum karena anak perempuan itu sangat pintar dan menyenangkan. Kesan pertama mereka yang buruk di tempat persemayaman orang tua Terry sudah terhapus saat ia dan Aleksis berdamai lalu memutuskan untuk saling menghormati.     

Dalam hatinya ia merasa sangat senang karena impiannya untuk memiliki saudara menjadi terkabul, walaupun untuk memperoleh itu ia harus kehilangan orang tuanya.     

Keluarga itu tiba di Wellington setelah bertualang di Singapura selama seminggu dan kehidupan mereka kembali berjalan seperti biasa. Anak-anak Schneider dan Terry diajar oleh guru pribadi, London dan Rune kembali mengurusi biri-biri mereka, Aleksis mengurusi Pangeran Siegfried Kecil, sementara Terry belajar menyesuaikan hidup di tempat dan keluarga yang baru baginya.     

Jean tinggal selama sebulan di Wellington sambil beristirahat dari film terakhirnya. Ia senang bisa menghabiskan waktu dengan Terry dan saling mengenal. Jean terkesan saat mendengar Terry berniat untuk kuliah film karena anak itu dulu mengetahui Jean adalah ayah biologisnya.     

"Paman Jean terlalu terkenal.. aku pikir satu-satunya cara agar aku dapat bertemu denganmu adalah dengan terjun ke dunia film," Terry mengaku. "Karena itulah aku mau sekolah film."     

"Tapi kau sekarang sudah bertemu denganku.. Apakah kau masih ingin mengambil kuliah di jurusan film?" tanya Jean tertarik.     

Terry mengangguk. "Benar. Menurutku film adalah seni yang sangat menarik."     

"Uhm... aku senang mendengarnya," Jean berpikir sejurus, sebelum kemudian mengambil keputusan, "Kau boleh memanggilku ayah, kalau kau mau. Tadinya aku berniat mengadopsimu... Tapi ternyata pengacara hanya membutuhkan wali..."     

Terry terkesiap mendengar ucapan Jean yang tiba-tiba.     

Jean Pierre Wang? Ingin mengadopsinya? Ini sulit dipercaya.     

"Ke... kenapa?" tanya Terry.     

Jean mengangkat bahu, "Uhm... karena bagaimanapun ada darahku mengalir di tubuhmu, dan aku ingin memastikan kau baik-baik saja."     

Terry menatap Jean lama sekali, pelan-pelan ia mengangguk dan berkata pelan, "Ayah..."     

***     

DELAPAN TAHUN KEMUDIAN     

Aleksis berjalan dengan langkah-langkah panjang penuh semangat mengikuti sekretaris Tuan Miller ke dalam ruangannya.     

Wajahnya yang kecokelatan karena terbakar matahari selama berbulan-bulan di Karibia tampak agak kusut dan rambutnya yang panjang berantakan tidak mengurangi kecantikannya yang khas. Sepasang matanya yang memiliki warna biru dan hijau kali ini tidak terlalu menarik perhatian karena ia menutupinya dengan kaca mata seperti yang biasa dilakukan Paman Rory.     

Aleksis yang cantik jelita memang terbiasa membiarkan penampilannya berantakan dan mengenakan pakaian seadanya dengan jeans sobek-sobek agar tidak mengundang gangguan pria-pria iseng, yang tentu akan membuat para pengawalnya bereaksi keras. Sekilas pandang orang akan mengira gadis ini hanyalah seorang kutu buku yang tidak menarik perhatian.     

"Silakan duduk, Miss Aleksis..." Tuan Miller menyambut Aleksis dengan ramah dan mempersilakannya duduk di sofa. "Kami biasanya tidak menerima mahasiswa baru tiba-tiba seperti ini, tetapi Tuan Van Der Ven menyumbang pembangunan gedung perpustakaan yang baru dan kami harus menghargai niat baiknya untuk mengirim keponakannya menjadi mahasiswa pertukaran selama satu tahun ini."     

"Terima kasih, Tuan." Aleksis tersenyum senang. Ia tahu Kurt Van Der Ven, orang kepercayaan ayahnya, dapat mengurusi semua yang dibutuhkannya dengan mudah. Ia hanya perlu meminta. "Saya bersemangat untuk mulai kuliah di sini."     

"Bagus. Mahasiswa boleh tinggal di asrama atau mencari apartemen di luar kampus. Kau bisa menghubungi Ms. Lauren di luar kalau memerlukan bantuan untuk mengurus akomodasi. Perkuliahan dimulai hari Senin depan."     

Aleksis mendengarkan beberapa petuah dari direktur universitas dengan sungguh-sungguh sebelum meminta diri untuk mengurus kepindahannya ke asrama.     

Ms. Lauren menyambutnya dengan baik dan memberi beberapa dokumen kepada Aleksis untuk dipelajari.     

"Jadi, apakah kau mau tinggal di asrama atau di luar?" tanya Ms. Lauren setelah Aleksis menandatangani beberapa berkas.     

"Aku mau coba tinggal di asrama," kata Aleksis cepat. "Aku mau punya teman perempuan yang banyak."     

"Kau tidak punya teman perempuan di kampus sebelumnya?" tanya Ms. Lauren keheranan.     

Aleksis menggeleng. Usianya sudah hampir 20 tahun tetapi hingga kini Aleksis memang tidak punya teman perempuan. Seumur hidupnya dihabiskan untuk bertualang bersama Paman Rory atau ikut orang tuanya keliling dunia. Bisa dibilang sahabatnya adalah ibunya dan kedua adiknya saja. Mereka sangat dekat, tetapi tetap bukan teman yang sebenarnya.     

Setelah puas menjelajah, kini ia merasakan kerinduan untuk menjadi seperti gadis-gadis lain yang bersekolah di kampus umum dan berteman dengan orang dari berbagai kalangan.     

Kampus St. Mary University menjadi pilihannya karena lokasinya yang berada di Singapura dan sangat strategis untuk menjelajah Asia dan Australia, sehingga ia tetap gampang bertualang jika diinginkannya, dan kakaknya Terry juga kuliah di sana dan sudah hampir lulus. Minimal ia tidak usah takut menyesuaikan diri karena sudah ada orang yang dikenalnya di kampus. Terry mengambil jurusan film dan ia sendiri mengambil jurusan manajemen. Keduanya bisa sering bertemu karena gedung kuliah mereka letaknya berdekatan.     

"Keluargaku sering berpindah-pindah, jadi aku tidak pernah punya teman dekat," kata Aleksis sambil tersenyum sedikit.     

Hal itu akan berubah, pikirnya. Ia sudah siap menetap selama beberapa tahun dan menjadi orang biasa. Pasti akan sangat menarik.     

"Oh, kasihan sekali. Apa pekerjaan orang tuamu?" tanya Ms. Lauren tertarik. "Apakah mereka di militer?"     

"Uhm... mereka peneliti," jawab Aleksis berusaha memilih kalimat yang memiliki makna sekabur mungkin. Ibunya mempunyai beragam minat dan ayahnya memiliki banyak profesi yang bisa ditekuninya berganti-ganti tergantung mood-nya. Saat ini mereka sedang menikmati bulan madu berdua untuk kesekian kalinya sehingga Aleksis bisa kabur dari rumah selama satu tahun untuk hidup sebagai gadis biasa, dan kedua adiknya belajar di bawah asuhan Paman Aldebar.     

"Oh, mereka peneliti? Bagus sekali..." komentar Ms. Lauren kagum. Gadis di depannya memang terlihat seperti kutu buku, mungkin sekali orang tuanya memang sangat cerdas. "Baiklah. Semuanya sudah beres. Kau bisa masuk asrama sore ini dan mulai kuliah hari Senin mendatang."     

"Terima kasih Ms. Lauren." Aleksis bangkit dan minta diri. Ia keluar dari gedung administrasi dengan wajah bahagia dan ketika tiba di luar ia menghirup udara segar dalam-dalam. Ia tak sabar menjadi mahasiswa biasa dan berteman dengan orang-orang seumurnya.     

Tangannya terentang dan matanya terpejam saat ia menarik napas dalam-dalam. Tanpa sadar bibirnya berseru gembira, "Yeahhh..."     

"Awas lalat masuk," cetus sebuah suara dari belakangnya, membuat Aleksis terkesiap dan menoleh.     

Seorang pemuda jangkung berambut panjang yang diikat dengan pita merah melewatinya sambil tersenyum jahil. Wajahnya yang tampan ditutupi sepasang kaca mata hitam besar yang membuatnya terlihat misterius, sikapnya tampak acuh dengan kedua tangan yang masuk ke saku saat ia melangkah ringan menjauhi Aleksis.     

"Nicolae...!!" Beberapa gadis yang melihatnya lewat seketika menjadi histeris dan berteriak memanggil namanya. Pemuda itu melambai ke arah mereka dan meneruskan perjalanannya ke arah gedung perpustakaan.     

"Awas lalat masuk?" gumam Aleksis kebingungan.     

Dasar.     

I memperhatikan gadis-gadis 'groupies' barusan dan berpikir, apakah memang seperti ini kelakuan gadis dari kalangan biasa.     

Masa aku harus menjerit memanggil nama cowok seperti mereka?     

"Nicolaeee..!!" Ia berseru sambil memonyongkan bibirnya dengan gemas. Huh... Dasar.     

"Hei.. Kau jangan bikin aku malu ya..." Tiba-tiba sebuah tangan telah menepuk kepala Aleksis dan ketika ia menoleh dilihatnya Terry menutup wajahnya sambil geleng-geleng. "Jangan bilang kau juga penggemar cowok cantik Nicolae itu.."     

Aleksis mengerucutkan bibirnya dan memukul Terry.     

"Kau terlambat. Aku sudah mengurus pendaftaran sendiri."     

"Aku sibuk," Terry mengangkat bahu, tetapi tidak berusaha menghindari pukulan adiknya. "Mau kutraktir makan siang?"     

"Mau." Wajah cemberut Aleksis segera berganti senyuman manis sekali saat ia menggandeng Terry dan menariknya ke arah kafetaria. "Makanku banyak, lho..."     

Terry tertawa dan mengikuti Aleksis ke kafetaria dan membukakan kursi untuk mereka.     

Suasana kafetaria yang bising seketika menjadi hening ketika orang-orang menyadari kehadiran keduanya.     

Aleksis tertegun melihat semua orang seperti menatapnya keheranan.     

"Astaga... Kenapa orang-orang menatapku begini? Ada sesuatu di wajahku?" bisiknya kepada Terry.     

Pemuda itu menggeleng sambil memutar bola matanya.     

"Kau pasti dikira pacarku yang baru... Tidak usah pedulikan mereka." Terry pura-pura tidak melihat pandangan menyelidik gadis-gadis di sekitar mereka dan dengan cuek memanggil pelayan untuk memesan makanan.     

"Astaga? Mereka pikir seleraku serendah itu?" cetus Aleksis dengan nada jahil, yang segera dihadiahi tepisan di kepala oleh Terry. Aleksis segera protes, "Heiiii... Aku ini masih dalam masa pertumbuhan, tahu! Kalau otakku terluka dan tidak berkembang sempurna, kau tanggung jawab ya!"     

Dalam hatinya Aleksis sekarang percaya pada ucapan Terry kemarin bahwa pemuda itu sangat terkenal di kampus. Ia bisa melihat gadis-gadis di sekitarnya menatapnya penuh kebencian dan rasa cemburu karena ia duduk makan semeja dengan Terry.     

Pemuda itu memang tampan sekali dan kedudukannya sebagai ketua senat membuatnya sangat disegani di kampus. Banyak sekali gadis yang ingin menjadi kekasihnya.     

Ahh.. Seandainya mereka tahu kalau Aleksis adalah adik Terry, mungkin gadis-gadis itu tidak akan bersikap sejudes ini, justru akan berusaha berbaik-baik untuk mengambil hatinya. Memang Aleksis dan Terry memiliki orang tua dan nama belakang berbeda, tetapi secara biologis, bisa dibilang keduanya adalah saudara kandung.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.