The Alchemists: Cinta Abadi

Menangkap Ikan



Menangkap Ikan

0Pria itu tampak tertarik, ia menyilangkan tangannya di dada dan menanti jawaban Aleksis.     

"Baiklah, kalau begitu, sebutkan namamu."     

"Uhm... namaku Laura." Kata Aleksis dengan penuh kemenangan. "Nah, sekarang aku boleh tidur di dek?"     

Pria itu hanya tertawa dan akhirnya mengangguk. "Baiklah, Kalau begitu tolong ambilkan bantal satu lagi untukku."     

Aleksis tersenyum lebar dan mengangguk. Ia menaruh anak anjingnya di lantai lalu bergegas turun ke kabin. Saat ia sedang menuruni anak tangga, pria itu tiba-tiba memanggilnya.     

"Laura, tolong bawakan sebotol wine dari kulkas."     

Aleksis tidak menoleh, ia terus berjalan ke kabin dan mengambil bantal lalu kembali ke dek.     

"Ini bantal untukmu," katanya sambil menyerahkan bantal kepada pemuda itu.     

Pria itu menggeleng-geleng dan mengangkat tangannya, "Tidak bisa. Kau tidur di kabin. Bawa kembali bantal itu ke sana."     

"Lho... tadi katanya kalau aku bisa menyebutkan namaku aku boleh tidur di dek. Kau tidak akan memegang ucapanmu sendiri???" protes Aleksis.     

"Benar. Aku tadi bilang begitu. Tetapi kau berbohong dengan asal saja menyebut nama yang muncul di kepalamu. Kau bahkan tidak tahu siapa namamu sendiri dan kau asal saja mengarang nama. Ck ck ck... pikiranmu cepat juga ya, Adik kecil..."     

Aleksis merengut, "Dari mana kau tahu kalau namaku bukan Laura? Memangnya kau mengenalku?"     

"Tadi begitu kau turun ke kabin aku memanggilmu untuk membawakan wine, tapi kau sama sekali tidak menoleh. Itu berarti Laura bukanlah namamu yang sebenarnya. Kau hanya mengarang nama biar bisa menipuku..." Pemuda itu tampak terhibur melihat kelakuan Aleksis yang keras kepala, ia tidak marah. Tetapi tentu saja ia takkan membiarkan anak itu tidur di lantai dek yang keras. Ia membalikkan tubuh Aleksis dan mendorongnya agar berjalan turun ke kabin. "Selamat tidur."     

Aleksis tahu ia sudah kalah. Akhirnya sambil merengut ia pun tidur di kabin. Ia sampai lupa membawa anak anjingnya dari dek.     

***     

Matahari yang bersinar membuat air lautan di sekitar mereka tampak berkilauan seperti permata, membuat Aleksis terkagum-kagum. Ia sudah tak sabar untuk meloncat ke air dan berburu ikan untuk menunjukkan kemahirannya. Walaupun ia masih kecil, tetapi ia tidak boleh dianggap remeh.     

Mereka sarapan dengan sandwich tuna dan sekarang sedang bersantai membaca buku. Setelah bosan membaca buku, Aleksis kemudian memeriksa dapur dan mencari peralatan yang bisa dijadikannya sebagai tombak ikan darurat. Ah, ada pisau kecil dan sebatang kayu dari gagang sapu yang dipatahkan. Dengan telaten ia menyiapkan tombaknya dan setengah jam kemudian sudah bersiap dengan baju renang dan rambut yang dikepang rapi serta tombak di tangan. Sebuah tas kain diikatkan di pinggangnya untuk nanti menyimpan ikan tangkapannya.     

"Kakak bisa masak ikan?" tanyanya sambil tersenyum lebar. "Aku akan menangkap ikan untuk makan siang kita."     

Pria itu mendongak dari bukunya dan mengangguk, "Bisa. Jangan menangkap banyak-banyak ya, aku tahu kau pasti tidak tahan ingin pamer kepadaku bahwa kau jago menangkap ikan, tetapi kasihanilah makhluk hidup di laut dan ambil seperlunya saja..."     

Aleksis mengangguk. Itu juga yang diajarkan Paman Rory kepadanya. Kita harus hidup berdampingan dengan alam dan kita hanya mengambil seperlunya.     

Ia berdiri di anjungan dan segera meloncat ke air. Begitu tubuhnya menyentuh air laut yang dingin menyegarkan, Aleksis langsung merasa sangat hidup. Inilah hal yang ia sukai dan biasa ia lakukan. Saat adrenalin memenuhi otaknya, untuk sesaat ia merasa dapat mengingat banyak hal dalam hidupnya yang kemarin sempat terlupakan.     

Ia ingat mereka punya pertanian dan kedua adiknya memelihara segerombolan biri-biri... Ayahnya sangat hangat dan menyenangkan serta senang memasak berbagai makanan lezat untuk mereka. Ibunya cantik sekali, dan ia adalah perempuan paling lembut yang pernah dikenal Aleksis...     

Ah, seandainya ia bisa mengingat nama-nama mereka....     

"Kau baik-baik saja? Kenapa diam?" Pria itu sudah berjalan ke ujung dek dan melongok ke bawah, "Ketemu ikan?"     

Aleksis segera tergugah dari lamunannya dan mengangguk, "Ada ikan, aku akan menangkap beberapa. Kakak tidak mau terjun? Airnya sangat menyegarkan."     

"Hmm... mungkin nanti. Aku masih mau membaca." Pria itu mengangkat bahu, "Selamat bersenang-senang. Panggil aku kalau kau mau naik kapal kembali."     

"Tentu saja. Selamat membaca!"     

Aleksis lalu menyelam dan mencari gerombolan ikan yang berenang di bawah kapal mereka. Dengan cekatan ia telah menombak dua ikan besar dalam waktu 10 menit saja. Setiap dua menit ia akan naik ke permukaan dan mengambil oksigen. Aleksis sangat senang berada di air. Dalam hati ia menyayangkan pemuda itu tidak ikut berenang dan lebih memilih membaca buku. Otaknya yang cerdas lalu buru-buru memikirkan taktik agar ia dapat membuat pemuda itu turun ke air.     

"Ahh... tolong!! Turunkan tangga!! Aku mau naik, ada ikan hiu di bawah!!!" jerit Aleksis tiba-tiba. Sekejap kemudian pemuda itu sudah melongok dari ujung dek dan melihat Aleksis berenang dengan panik ke arah badan kapal. Dengan cepat ia melempar tangga tali agar Aleksis bisa menaiki kapal, tetapi sebelum anak itu bisa meraihnya ia kembali menjerit, "Aduh... kakiku keram...."     

Aleksis berhenti menggerakkan kakinya dan tampak kesakitan. Wajahnya memerah dan perlahan-lahan tubuhnya tenggelam.     

"Astaga! Bertahanlah!!" Tanpa pikir panjang pemuda itu segera meloncat ke arah terakhir ia melihat tubuh Aleksis dan menyelam ke dalam air untuk mencarinya. Ia menemukan anak itu di dalam air tampak lemas dan sepasang matanya terpejam.     

Pemuda itu buru-buru memeluk tubuh Aleksis dan berenang ke permukaan bersamanya, dengan cekatan ia bergerak ke arah badan kapal dan memegang tangga tali dengan tangan kirinya dan tangan kanannya memegang tubuh Aleksis. Dengan agak susah payah ia berhasil menaiki tangga hingga ke dek bersama Aleksis yang pingsan.     

"Aduh... kau ini menyusahkan sekali ya..." keluhnya sambil memompa air dari paru-paru Aleksis. Dalam waktu sepersekian detik ia segera mengambil keputusan untuk memberikan napas buatan agar anak itu sadar.     

Saat bibirnya menyentuh bibir Aleksis dan mulai meniup, tiba-tiba Aleksis membuka mata dan bangun dengan kaget.     

"Astaga!!! Apa yang kau lakukan????" serunya panik.     

Pemuda itu keheranan melihat tahu-tahu anak perempuan itu sadar begitu saja.     

Bukankah tadi dia tenggelam dan pingsan?     

"Aku mau menyadarkanmu dengan memberi napas buatan." Pria itu mengerutkan keningnya keheranan, "Kenapa memandangku seperti habis melihat setan?"     

Aleksis memegang bibirnya dengan panik. Astaga... tadi dia hanya pura-pura tenggelam untuk menggoda pria penolongnya ini. Ia sama sekali tak mengira orang ini akan menciumnya untuk memberikan napas buatan.     

"Aarghhh.....!!!" Aleksis hanya bisa menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya dan menyalahkan diri sendiri yang terlalu bodoh. Wajahnya tampak sangat malu.     

Pria itu akhirnya menyadari apa yang terjadi dan ia tertawa gelak-gelak.     

"Astaga... kau pikir aku menciummu? Itu tadi napas buatan, karena kau sedang pingsan akibat meminum banyak air. Kau ini aneh, tadi malam kau berkeras mau tidur denganku di dek kapal, tapi sekarang napas buatan kau anggap ciuman? Siapa sekarang yang tidak konsisten?" Ia tertawa lama sekali seakan kelakuan Aleksis adalah hal yang sangat lucu, "Adik kecil, kau ini masih anak-anak. Aku tidak akan tertarik kepadamu. Percayalah aku tidak mungkin punya pikiran macam-macam tentangmu."     

Entah kenapa saat pria itu bilang ia tak akan tertarik kepadanya karena Aleksis masih anak-anak, Aleksis justru merasa sebal. Umurnya memang baru 12 tahun, tetapi pria itu juga masih sangat muda, kemungkinan baru 24 atau 25. Delapan tahun lagi ketika Aleksis berusia 20 tahun, ia masih berumur 30'an awal. Mereka masih akan terlihat pantas untuk satu sama lain. Apalagi ayah ibu Aleksis juga berbeda usia cukup jauh, hingga 400 tahun...     

Aleksis memikirkan itu semua sambil mengerucutkan bibirnya.     

Setelah tawanya reda pria itu mengambil handuk dan melemparkannya ke arah Aleksis. "Kau ini licik juga ya. Tadi malam kau pura-pura sudah ingat namamu biar bisa tidur di dek, dan barusan kau pura-pura tenggelam agar aku terjun ke laut bersamamu. Ck ck ck... aku belum pernah bertemu anak perempuan sepertimu."     

Aleksis menangkap handuknya dan mulai mengeringkan diri sambil terus cemberut. Pemuda itu mengambil handuk satu lagi untuk dirinya sendiri dan mengeringkan rambutnya yang basah. Ia lalu melepas kemejanya yang basah kuyup oleh air laut dan menaruhnya di atas sebuah peti untuk menjemurnya.     

"Gara-gara kau kemeja kesayanganku menjadi rusak..." keluhnya.     

"Aku akan membelikan 100 kemeja seperti itu," kata Aleksis tanpa rasa bersalah. Ia hendak menambahkan bahwa ia bahkan sanggup membelikan kemeja baru satu pabrik, ketika kata-katanya terhenti di udara. Ia telah melihat banyak bekas luka di tubuh pria itu, dan ketika pria itu berbalik menghadap Aleksis, ia telah melihat sebuah tato naga menyeramkan di dada kanannya. Tanpa sadar Aleksis langsung berseru, "Heiii... kau Pangeran Siegfried!"     

Pemuda itu tertegun mendengar kata-kata Aleksis yang tidak terduga ini. "A.. apa katamu? Siapa?"     

Aleksis tersenyum lebar sambil menunjuk ke arah tato naga itu, "Pangeran Siegfried. Pangeran dari mitologi Jerman yang berhasil mengalahkan dan membunuh naga..."     

Pemuda itu lama sekali memandang Aleksis dan suatu ingatan tiba-tiba muncul kembali di kepalanya.     

Ah, Pangeran Siegfried...     

"Kau masih membawa ponsel yang kuberikan kepadamu?" tanyanya tiba-tiba.     

"Masih, kenapa?" Aleksis balik bertanya.     

"Tolong ambilkan, aku mau pinjam."     

Aleksis menurut. Ia turun ke kabin dan mengambil ponselnya dari tas lalu diberikan kepada pemuda itu, kemudian ia kembali ke kabin dan berganti pakaian lalu menjemur baju renangnya serta mengeluarkan beberapa ikan yang tadi sempat ditangkapnya dari tas.     

Pemuda itu mengeluarkan ponselnya dari tas lalu dengan dua buah ponsel di tangan ia tampak mengerjakan sesuatu.     

"Kau sedang apa dengan dua ponsel begitu?" tanya Aleksis keheranan, Ia mengayun-ayunkan seekor ikan di depan pemuda itu, "Besar kan, ikan tangkapanku?"     

"Hmm.. besar. Kau memang hebat," Pemuda itu mendongak lalu mengangguk setuju. "Kau bisa membersihkan ikan? Aku akan memasak untuk kita."     

"Bisa." Aleksis lalu membawa ikan-ikannya ke dapur dan mulai membersihkannya, sementara pemuda itu membuka ponsel Aleksis dan menghapus nomor teleponnya yang minggu lalu ia masukkan ke sana. Kemudian ia membuka ponselnya sendiri dan mencari sebuah nomor telepon. Ia lalu mengetikkan nomor telepon itu di ponsel Aleksis kemudian mengirim SMS.     

[Kau masih berutang satu juta dolar kepadaku. Aku mau menagihnya sekarang.]     

Lima menit kemudian datang balasan SMS-nya.     

[Kirimkan nomor rekeningmu. Aku akan membayarnya.]     

Hmm.. pemuda itu mengelus dagunya dan berpikir sejenak. Ia telah menyimpan nomor telepon itu selama 10 tahun dan tidak pernah menggunakannya. Pertemuannya dengan anak perempuan ini tiba-tiba mengingatkannya akan peristiwa sepuluh tahun lalu saat ia berkelahi dengan seseorang yang mengira ia menculik anaknya.     

Orang itu dengan mudahnya bilang bersedia memberinya ganti rugi satu juta dolar dan kemudian memberinya satu botol obat ajaib yang ternyata sangat ampuh mengobati luka.     

Ia ingat anak kecil itu memanggilnya sebagai 'Pangeran Siegfried' setelah melihat tato naga di dadanya, persis seperti apa yang dilakukan anak perempuan yang diselamatkannya ini. Hal itu membuatnya menduga-duga apakah mereka orang yang sama. Karena itu ia mencoba peruntungannya dan menghubungi nomor telepon itu.     

[Apakah kau kenal Paman Rory?]     

30 detik setelah pesannya terkirim, orang itu ternyata langsung meneleponnya. Pemuda itu sedang tidak mau berbicara dengan siapa pun, maka ia menolak panggilan teleponnya.     

[Dari mana kau tahu nama itu?]     

[Aku tidak akan menjawab sebelum kau menjawab pertanyaanku. Kalau kau menjawab, aku anggap lunas utang satu juta dolarmu.]     

Setelah beberapa menit akhirnya masuk balasan dari orang itu.     

[Aku adalah Paman Rory. Dari mana kau mendengar namaku?]     

Pemuda itu mendesah lega. Ternyata mereka memang benar-benar orang yang sama, pikirnya.     

[Dari seorang anak perempuan bermata biru hijau yang pandai menangkap ikan] Seulas senyum terukir di wajah pemuda itu saat ia mengirimkan SMS-nya. [Dia juga jago bermain baduk.]     

Di Colorado, Lauriel yang sedang menyiapkan makan malam tiba-tiba terhenyak membaca SMS dari nomor tak dikenal ini. Ia seketika menduga terjadi sesuatu kepada Aleksis, hingga anak itu bisa bertemu orang asing.     

Ia buru-buru menelepon Caspar.     

"Apa yang terjadi dengan Aleksis?" tanyanya cepat.     

Caspar yang tidak mengira Lauriel meneleponnya untuk langsung menanyakan tentang Aleksis menjadi gelagapan, "Ah... Aleksis menghilang. Kami masih mencoba mencarinya..."     

"MENGHILANG..!??" Suara Lauriel langsung meninggi. "Sudah berapa lama? Kenapa aku tidak diberi tahu?"     

Caspar tidak menganggap perlu memberi tahu Lauriel bahwa Aleksis menghilang. Ia memiliki akses lebih luas dari Lauriel dan ia saja masih belum dapat menemukan jejak anaknya, apa yang bisa dilakukan Lauriel dari Amerika?     

"Sudah seminggu...." jawab Caspar dengan suara gundah. Ia pun menyalahkan dirinya sendiri karena hingga kini bahkan ia belum berhasil menemukan Aleksis.     

"Di mana kalian?" tanya Lauriel tidak sabar.     

"Kami di Singapura, di Hotel Continental."     

"Hmm..." Lauriel segera memutus hubungan telepon, membuat Caspar keheranan.     

Lauriel buru-buru mengirim SMS lagi kepada orang yang menemukan Aleksis.     

[Tolong kembalikan anak angkatku, aku akan memberimu apa saja.]     

[Aku tidak butuh apa-apa. Tidak usah berlebihan. Aku kasihan kepadanya dan berusaha merawatnya selama seminggu ini, tetapi ia tak juga ingat siapa keluarganya, jadi aku tak bisa mengantarnya pulang.]     

[Oh, begitu. Baiklah. Tolong antarkan Aleksis ke Hotel Continental. Orang tuanya menunggu di sana.] Lauriel buru-buru mengirim SMS lagi, [Terima kasih.]     

[Kau sudah dua kali kehilangan anak ini. Orang tua yang tidak bisa mengurus anak sebaiknya tidak usah punya anak.] balas pemuda itu dengan ketus.     

Di ujung sana Lauriel merasakan hatinya tertusuk. Ia tidak punya anak karena kekasihnya meninggal dalam perang saat mengandung anak mereka. Ia membesarkan Aleksis dengan penuh kasih sayang seperti anaknya sendiri, tetapi perkataan pemuda itu sungguh membuatnya sedih, dan seolah membenarkan kenapa ia tidak memiliki anak sendiri. Mungkin ia tidak diberi kesempatan menjadi ayah karena ia memang tidak pantas.     

Namun Lauriel tidak bisa marah, karena bagaimanapun orang itu memang telah dua kali menyelamatkan Aleksis.     

[Tolong jaga Aleksis baik-baik dan antarkan dia kepada orang tuanya. Aku akan berutang budi kepadamu.] kata Lauriel untuk terakhir kalinya. Ia tak lagi memiliki nafsu untuk makan malam. Dengan lesu ia mengambil sebotol brandy yang paling keras dan menuangkan segelas untuk dirinya sendiri.     

Pemuda itu menutup ponselnya dan termenung. Ini memang anak yang sama, pikirnya, dan namanya adalah Aleksis.     

Rasanya lucu juga, bertemu anak ini saat ia dulu berusia dua tahun, dan sekarang saat ia mulai beranjak remaja.     

Mungkinkah nanti mereka akan bertemu kembali? Kalau mereka memang bertemu lagi saat anak ini berumur 20 tahun untuk bertanding baduk kembali, anak itu nanti pasti akan dapat mengingatnya, dan ia akan bingung karena pemuda itu tidak menua. Pikiran-pikiran ini membuat 'Pangeran Siegfried' merasa gundah.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.