The Alchemists: Cinta Abadi

Berlayar



Berlayar

0Perjalanan mereka sangat menyenangkan dan dalam hati Aleksis bertekad untuk minta dibelikan motor begitu ia cukup umur. Ia pun ingin belajar mengendarai motor seperti pria keren di depannya ini.     

Saat memasuki jalan dekat pelabuhan yang sepi tiba-tiba saja pemuda itu mengerem mendadak hingga helm Aleksis membentur punggungnya.     

"Aduhh...!! Ada apa?" tanya Aleksis sambil mengusap-usap pipinya yang tadi terbentur punggung pemuda di depannya.     

"Maaf, aku mengerem mendadak," kata pemuda itu cepat lalu memasang standar motornya dan turun. Aleksis keheranan melihatnya. Ia juga turun dari motor dan mengikuti langkah pria itu yang sudah duduk berjongkok satu meter di depannya.     

"Astaga... itu..?" Aleksis sudah melihat seekor anak anjing yang terluka di tengah jalan yang tadi kalau saja pemuda itu tidak buru-buru mengerem, mungkin anjing itu sekarang sudah mati tertabrak. Aleksis tampak kuatir sekali, "Bukan kita yang menabraknya, kan?"     

Pria itu menggeleng. "Lukanya masih baru, sepertinya tadi anak anjing ini terserempet saat hendak menyeberang."     

"Apa yang harus kita lakukan?" tanya Aleksis cemas, "Kalau tidak ditolong anak anjing ini pasti akan mati..."     

Ternyata bahkan sebelum Aleksis bertanya pria itu sudah mengangkat anak anjing yang terluka itu dan menggendongnya sambil berjalan ke motor. "Ayo naik, kita bawa ke kapal."     

"Oh..." Aleksis terkesima. Cepat sekali pria itu sudah memutuskan untuk menolong anak anjing yang tadi hampir ditabraknya. Tanpa sadar ia memandangi penolongnya itu dengan sepasang mata kagum yang tak bisa disembunyikan.     

"Kenapa berdiri saja di situ? Ayo, semakin cepat kita sampai, semakin cepat kita bisa mengobati lukanya. Aku menduga kaki belakangnya patah." Pria itu memberi tanda agar Aleksis segera naik kembali ke boncengan.     

"I... iya... Sini biar aku yang gendong anjingnya, nanti Kakak kesulitan mengendarai motor," kata Aleksis menawarkan.     

Pria itu hanya tertawa, "Aku bahkan bisa mengendarai motorku tanpa kesulitan saat menggendongmu minggu lalu. Kau terlempar dari sebuah mobil yang sedang melaju kencang dan hampir tertabrak, aku tidak punya pilihan selain membawamu di motorku untuk dibawa ke rumah..."     

Tetapi ia menyerahkan juga anak anjing itu kepada Aleksis.     

"Oh... berarti anjing ini nasibnya sama sepertiku... dan Kakak sama-sama memungut kami berdua dari jalan..." kata Aleksis pelan. Air matanya hampir menetes saat ia menerima anak anjing itu dan memeluknya erat-erat. "Terima kasih..."     

"Hei... jangan menyamakan dirimu dengan anjing, ya. Tapi kau benar, anjing ini nasibnya sama denganmu. Anggap saja kalian berjodoh..."     

Aleksis mengangguk lalu naik ke boncengan. Pria itu memacu motornya lebih cepat karena ia ingin mereka segera tiba di dermaga. Lima menit kemudian motor itu sudah masuk ke area pelabuhan dan ia memarkirnya di lokasi parkir para pemilik kapal. Dengan bergegas ia dan Aleksis segera berjalan ke dermaga dan sesaat kemudian kapal miliknya sudah terlihat.     

"Itu kapal catamaran milikku." Pemuda itu menunjuk ke arah sebuah kapal catamaran berukuran sedang berwarna putih dengan layar putih bermotif biru yang sedang diparkir manis di dermaga. "Ayo naik!"     

Karena Aleksis menggendong anak anjing yang terluka, pria itu yang membawakan tas mereka. Ia melempar tas keduanya lalu memanjat naik ke kapal dan kemudian membantu Aleksis.     

"Kapalmu bagus! Kami punya satu kapal seperti ini di Monaco, ukurannya sedikit lebih besar," kata Aleksis sambil melihat-lihat sekelilingnya, "Ayahku kadang-kadang berlayar membawa kami keliling teluk, tapi tidak lama. Ia lebih senang mengemudikan helikopter."     

Pria itu tampak terkesan mendengar perkataan Aleksis. Sungguh anak perempuan ini terdengar seperti bukan orang sembarangan kalau mendengar cerita-ceritanya tentang keluarganya.     

"Ayahmu terdengarnya keren sekali..." komentarnya sambil menaruh tas mereka di kabin kapal. Ia keluar dengan kotak P3K dan handuk lalu memberi tanda agar Aleksis menaruh anak anjingnya di lantai yang sudah dialasinya dengan handuk.     

"Ayahku memang keren." Aleksis mengangguk setuju.     

"Kau tahu apa pekerjaan ayahmu?" tanya pria itu sambil mulai membersihkan luka anak anjing dengan alkohol dan kemudian memberi antibiotik. Setelah itu ia mengeluarkan kasa dan sebatang besi pendek untuk mengikat kaki anak anjing itu sebagai pen darurat untuk merawat kakinya yang patah. Dalam waktu 5 menit saja semuanya sudah beres.     

"Ayahku tidak bekerja..." jawab Aleksis, "Wahh... Kakak sangat ahli mengobati lukanya. Apakah Kakak dokter?"     

"Hmm... tidak. Kebetulan saja aku berpengalaman mengobati luka karena aku sering terluka dalam perkelahian," jawab pria itu sambil mengangkat bahu. Aleksis tampak tercengang mendengarnya.     

Orang selembut ini sering berkelahi? Kenapa?     

"Kok memandangiku begitu?" Pria itu menyadari tatapan Aleksis yang penuh pertanyaan akhirnya menoleh keheranan, "Ada yang aneh di wajahku?"     

Aleksis menggeleng, "Ti... tidak.. Aku tidak menyangka Kakak sering berkelahi. Apakah kau punya banyak musuh? Kenapa berkelahi?"     

"Kau masih terlalu kecil untuk mengerti. Nanti kapan-kapan kalau kau sudah dewasa dan sudah bisa menang melawanku dalam pertandingan baduk, aku akan menjawab pertanyaan-pertanyaanmu, yang paling aneh sekalipun," jawab pemuda itu sambil tersenyum simpul. Ia menyerahkan anak anjing yang sudah diobatinya kepada Aleksis. "Ini, kau mau menggendongnya? Hati-hati dengan kaki belakangnya."     

"Terima kasih..." dengan ceria Aleksis menerima anak anjing itu dan seketika ia lupa pada pertanyaannya tadi.     

Pria itu lalu menyalakan mesin kapal dan segera mengemudikannya ke tengah lautan. Matahari yang bersinar cemerlang perlahan-lahan bergerak ke arah barat dan sebentar kemudian mereka sudah berada di laut lepas dengan pemandangan matahari terbenam yang cantik di horizon.     

Aleksis duduk bersila di haluan sambil menggendong anak anjing yang terluka itu dengan penuh kasih sayang. Ia merasa sangat sayang kepada anjing itu karena mengingat bahwa mereka senasib. Sama-sama terluka di jalan dan ditolong oleh orang yang sama.     

Kapal sudah dibiarkan mengapung mengikuti gerak ombak dan mereka duduk bersantai menikmati matahari terbenam. Pria itu turun ke kabin dan mengambil sebotol wine, sekarton susu dan dua buah gelas. Ia menuang susu ke satu gelas dan menyerahkannya kepada Aleksis.     

"Ini untukmu." Lalu ia menuang segelas wine untuk dirinya sendiri.     

Aleksis menerima minumannya dengan penuh terima kasih. Mereka lalu duduk sambil minum minuman masing-masing dan tidak berkata apa-apa.     

"Kakak... kalau aku masih juga tidak dapat mengingat tentang keluargaku... apa yang akan kau lakukan?" tanya Aleksis tiba-tiba setelah minumannya habis. Pria itu tampak terkejut mendengar pertanyaan ini. Ia pun tidak pernah memikirkan kemungkinan itu.     

"Hmm... aku tidak tahu. Kehidupanku tidak cocok untuk membawa-bawa anak kecil," katanya dengan nada suara menyesal.     

"Aku bukan anak kecil, umurku sudah 12 tahun... Kalau di Indonesia, 5 tahun lagi aku sudah punya KTP, bisa ikut Pemilu dan dianggap sebagai orang dewasa, bahkan sudah boleh menikah..." kata Aleksis cepat.     

"Indonesia? Apa hubungannya dengan ini?" tanya pria itu heran.     

"Ibuku separuh Indonesia, jadi aku tahu..."     

"Hmm... Adik kecil, sebaiknya kita jangan memikirkan hal-hal buruk dulu. Aku yakin kau pasti akan dapat mengingat tentang keluargamu, cepat atau lambat. Tadi kau sudah bisa mengingat nama adik-adikmu, lalu kau juga sudah ingat ayahmu bisa menerbangkan helikopter, ibumu separuh Indonesia... Aku yakin sebentar lagi kau akan bisa mengingat semuanya... jadi jangan menyusahkan diri dengan berandai-andai tentang hal buruk." Pria itu mengacak rambut Aleksis dan menuangkan susu kembali ke gelasnya, "Ayo minum susu yang banyak biar kau cepat besar."     

Dengan sedikit merengut Aleksis menenggak habis susunya. Di saat seperti ini rasanya ia memang ingin cepat dewasa. Tidak enak diperlakukan seperti anak kecil begini.     

Malam pun tiba dan mereka lalu makan makanan sederhana yang disiapkan pemuda itu dengan memanaskannya di microwave. Sup lentil kalengan dan lasagna yang dibawanya dari rumah. Untuk anak anjing yang mereka selamatkan pria itu memanggang dua buah sosis.     

"Untung Kakak ingat membawa makanan, ya..." kata Aleksis sambil melahap supnya. Ia tidak lupa memotong sosis dan menyuapi anak anjingnya dengan cekatan. "Aku tadi hanya ingat membawa baju dan buku-buku. Biasanya kami memancing sendiri, jadi tidak pernah membawa bekal dari rumah..."     

"Kau bisa memancing?"     

"Aku JAGO memancing...." kata Aleksis dengan bangga. "Sayang kau tidak punya alat pancing di sini. Aku ingin menangkap ikan untuk kita."     

"Hmm... ini kapal baru. Aku biasanya juga menaruh alat pancing di kapalku, sekarang belum sempat." Pemuda itu tambah tertarik melihat Aleksis ternyata penuh dengan kejutan.     

"Kalau kau punya pisau kecil, aku bisa membuat tombak dengan batang kayu di sana itu dan menangkap ikan dengan menombak ikan di laut. Aku sudah bilang kan kalau aku jago menyelam?"     

"Astaga..." Pemuda itu berhenti memakan supnya dan menatap Aleksis dengan keheranan, "Siapa kau sebenarnya?"     

"Aku?" Aleksis tertegun melihat pandangan heran bercampur kagum dari pria yang dipanggilnya 'Kakak' itu. Sesaat kemudian ia menggeleng pelan. "Aku tidak tahu..."     

"Hmm... sudahlah tidak usah dipikirkan. Besok kita bersenang-senang menangkap ikan dengan caramu. Siapa tahu dengan begitu kau bisa mengingat lebih banyak hal lagi..." Pria itu mengalihkan pembicaraan karena tak ingin Aleksis menjadi sedih. Mereka lalu menghabiskan makan malamnya dalam diam.     

Aleksis menawarkan mencuci piring bekas makanan mereka lalu membersihkan kabin. Hanya ada satu kabin untuk tidur di kapal itu dan dapur. Selama bertualang dengan kapal Paman Rory, Aleksis tidak pernah tidur di kabin, ia sangat menyukai tidur di dek beralaskan bantal dan memandangi jutaan bintang di angkasa. Maka malam ini secara otomatis ia lalu membawa satu bantal dari kabin dan menaruhnya di dek. Ia sudah siap untuk tidur sambil memeluk anak anjingnya.     

"Terima kasih untuk bantalnya," Pria itu tersenyum senang dan segera membaringkan kepalanya di bantal yang ditaruh Aleksis di dek. Ia memejamkan matanya dan menyuruh Aleksis untuk ikut beristirahat, "Kau juga lekaslah tidur, besok kita bisa melakukan banyak kegiatan dari pagi."     

"Eh... bantal itu untukku..." kata Aleksis dengan suara rikuh. Ia tak mengira pria itu langsung memakai bantalnya untuk tidur di dek.     

Dia kan pemilik kapal? Bukankah seharusnya ia tidur di kabin?     

"Lho? Aku pikir kau mengambilkan bantal ini untukku..." Pria itu membuka matanya lalu garuk-garuk kepala melihat ekspresi canggung Aleksis, "Ada kamar tidur di bawah situ. Kenapa kau mau tidur di dek?"     

"Aku biasa tidur beratapkan bintang..." aku Aleksis. "Lagipula kan Kakak pemilik kapalnya.. Masa Kakak yang tidur di luar?"     

"Astaga... kau memang anak aneh. Aku pikir sudah sewajarnya kalau aku yang tidur di dek karena aku laki-laki. Kau ini anak perempuan. Apalagi kau baru pulih dari sakit, sebaiknya kau tidur di tempat yang nyaman, biar kau cepat sembuh." Pria itu melambai dan memberi tanda agar Aleksis turun ke kabin. "Setidaknya kalau bukan untukmu, lakukan itu untuk anak anjingmu yang sekarang sedang terluka. Dia pasti akan lebih senang tidur di tempat tidur yang empuk."     

"Tapi aku biasa tidur di dek... Aku tidak keberatan. Kalau Kakak tidak mau tidur di kabin, tidak apa-apa, aku juga ikut tidur di sini..." Aleksis tetap keras kepala. Langit begitu cerah dan jutaan bintang di angkasa malam ini tampak begitu menawan. Ia tak rela kehilangan pemandangan secantik ini dan menukarnya dengan langit-langit kabin yang putih membosankan.     

"Adik kecil! Kalau kau merasa berutang budi kepadaku, kau harus menuruti kata-kataku sekali ini." Akhirnya pria itu habis kesabaran, "Kau tidak boleh tidur di dek bersamaku. Kau ini anak perempuan. Kalau kau masih balita, mungkin aku akan memperbolehkanmu tidur di sini bersamaku, tetapi kau ini sudah besar, secara norma itu sudah tidak patut. Aku hanya menjaga kehormatanmu."     

Aleksis bingung sekali. Tadi pria itu bilang ia hanyalah seorang anak kecil yang masih harus minum susu agar cepat besar. Tapi sekarang ia bilang Aleksis sudah besar dan tidak boleh tidur bersamanya di dek. Mana yang benar? Kenapa tidak konsisten sekali?     

Selama ini Aleksis selalu tidur berdampingan dengan Paman Rory tercinta saat mereka bertualang kemana-mana dan tidak pernah ada sedikit pun kesan bahwa itu tidak patut. Toh, Paman Rory sudah seperti ayahnya sendiri. Secara penampilan Paman Rory dan pria ini juga terlihat seusia... lalu tidak patutnya di mana?     

Pria itu tampak putus asa karena Aleksis tidak juga mengerti maksudnya, dan tetap berdiri merengut di dek. Sungguh anak ini sangat aneh, pikirnya.     

"Baiklah... kalau begitu aku akan mengizinkanmu tidur di dek kalau kau bisa menyebutkan siapa namamu. Itu baru adil." Akhirnya pria itu duduk menghadap Aleksis dan menyilangkan tangannya di dada. "Siapa namamu?"     

Seulas senyum seketika terukir di bibir Aleksis, "Aku tahu siapa namaku!"     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.