The Alchemists: Cinta Abadi

Mari bertanding Baduk 8 tahun lagi



Mari bertanding Baduk 8 tahun lagi

0Terry heran karena sudah beberapa kali datang di penthouse untuk bertemu keluarga walinya yang baru dan ia belum melihat anak perempuan menyebalkan yang waktu itu memaksanya ikut ke Hotel Continental, tetapi ia tidak berani bertanya kemana gerangan anak itu.     

Ia sudah memutuskan untuk mengikuti keluarga Finland karena ia menyadari Jean terlalu sibuk untuk menjadi walinya, walaupun pria itu dengan baik hati bersedia mengurusinya. Terry tak dapat membayangkan bila Jean harus pindah ke Singapura untuk tinggal bersamanya, meninggalkan karier cemerlang di Hollywood selama beberapa tahun.     

Pertimbangan berikutnya tentu saja karena adanya tiga 'adik' yang akan membuatnya merasa tidak lagi kesepian. Lima belas tahun hidup sebagai anak tunggal membuat Terry sangat ingin merasakan memiliki saudara.     

Jean menemaninya tinggal di rumah sementara ia menyelesaikan ujiannya dan mengurusi berbagai keperluannya agar ia dapat pindah dari Singapura mengikuti keluarga Finland. Untuk menghindari kehebohan, Jean menyembunyikan wajahnya dengan topi dan kacamata hitam saat mengantar Terry ke sekolah. Hanya kepala sekolah yang mengetahui jati dirinya saat mereka datang ke kantor beliau.     

Ucapan bela sungkawa atas kematian orang tuanya menghujani Terry semingguan itu dan teman-teman sekolahnya sedih saat mengetahui ia akan pindah dari Singapura. Ia termasuk anak populer yang banyak disukai di sekolah sehingga kepergiannya membuat banyak teman yang kehilangan.     

"Aku hanya perlu suasana baru," kata Terry kepada beberapa sahabatnya saat mereka sedang bersiap-siap pulang, "Nanti aku akan kembali untuk kuliah di Singapura."     

"Benarkah? Aku senang mendengarnya. Kalau tidak ada kamu nggak seru," komentar seorang temannya yang keturunan Korea.     

Terry mengangguk pasti. Bagaimanapun Singapura adalah rumahnya. Ia pasti akan kembali ke sini setelah ia cukup umur untuk hidup sendiri. "Hmm... kita nanti mengadakan pesta perpisahan di rumahku. Kalian bisa datang kan hari Sabtu ini?"     

"Pasti. Kami akan datang."     

"Terima kasih." Terry melihat ada panggilan di ponselnya dari Jean, yang pasti sudah tiba di gerbang sekolah untuk menjemputnya. "Aku sudah dijemput. Sampai jumpa."     

Ia berjalan cepat ke gerbang dan menemukan Jean di bangku kemudi sebuah BMW yang sedang menunggunya. Ia masuk ke dalam dan keduanya segera melaju. Mereka akan menuju ke penthouse untuk makan siang bersama keluarga Finland.     

"Hari Sabtu aku mau mengadakan acara perpisahan dengan teman-temanku... Setelah itu aku bisa ikut keluarga Schneider.." kata Terry di perjalanan. "Kapan kira-kira kita akan meninggalkan Singapura?"     

Jean menghela napas. Tidak mau menjawab. Mereka sepakat tidak akan membahas tentang Aleksis di depan Terry karena kuatir ia akan menyalahkan dirinya atas penculikan Aleksis. Tidak ada yang tahu kapan mereka akan meninggalkan Singapura. Tentu saja mereka harus menunggu sampai Aleksis ditemukan. Sudah hampir seminggu tidak ada kabarnya.     

Bahkan Caspar yang memiliki akses luar biasa tidak dapat menemukan anaknya sendiri. Ini membuat semua orang merasa sangat resah dan kuatir telah terjadi sesuatu dengan anak itu.     

Karena Jean tidak menjawab, Terry seketika merasakan firasat buruk. Ia lalu bertanya dengan lebih spesifik. "Apakah terjadi sesuatu? Aku belum melihat Aleksis selama seminggu ini..."     

Jean hanya memandangnya selintas dan menggeleng, "Kami tidak tahu."     

***     

Karena ternyata turun hujan dua hari berturut-turut, Aleksis dan penolongnya tidak jadi ke Harbourfront untuk berlayar. Mereka menghabiskan waktu di rumah, pemuda itu bekerja dan Aleksis membaca buku. Setelah dua hari Aleksis mulai merasa bosan. Ia lalu memutuskan untuk mengitari perpustakaan dan melihat apakah ada hal yang menarik di sana.     

"Hei.. Kakak punya papan baduk. Kau bisa memainkannya? Mau bermain satu set bersamaku?" tanya Aleksis tiba-tiba saat ia melihat satu set peralatan baduk tersimpan rapi di atas sebuah rak. Pemuda itu yang sedang sibuk dengan laptopnya mendongak keheranan.     

"Kau bisa main baduk?" tanya pemuda itu kepada Aleksis.     

Aleksis mengangkat bahu. "Bisa. Aku sudah belajar sejak masih kecil."     

"Kau SEKARANG juga masih kecil..." kata pemuda itu sambil tertawa. "Hmm.. baiklah. Kita lihat sebaik apa permainanmu."     

Dengan semangat Aleksis menaruh papan baduk di meja dan keduanya segera sibuk mengatur bidak masing-masing dan memulai permainan. Aleksis menggunakan bidak putih dan pria itu menggunakan bidak hitam. Sesaat saja keduanya sudah hanyut dalam permainan strategi itu dan mulai menyusun langkah demi langkah untuk mengisi kotak.     

Tidak terasa dua jam kemudian, keduanya sudah mengisi hampir setengah papan dan langkah yang harus diambil menjadi semakin sulit dan penuh perhitungan. Pemuda itu berkali-kali menatap Aleksis dengan pandangan kagum. Ia tak menyangka anak perempuan berusia 12 tahun ini sangat ahli memainkan baduk.     

Dalam hati ia mulai menduga-duga siapa anak ini sebenarnya. Ia terlihat berasal dari keluarga kaya, ia juga sangat cantik dan sangat pintar, bahkan mendengar ceritanya tentang berbagai petualangannya bersama pamannya, kemungkinan ia menjalani kehidupan yang tidak biasa.     

"Kau sangat pintar..." puji pemuda itu setelah akhirnya ia mengaku kalah kepada Aleksis saat permainan berakhir.     

Aleksis mengerutkan keningnya. "Aku seharusnya tidak menang. Tadi Kakak sengaja mengalah dua langkah ke belakang. Kenapa kau berbuat begitu?"     

Pemuda itu terkesima sesaat lalu tertawa halus, "Ah... jadi kau tahu. Aku tidak mungkin menang melawan anak perempuan. Lagipula aku lebih tua dan sudah berlatih lebih lama. Kalau kau seusia denganku, kau pasti akan bisa mengalahkanku dengan mudah."     

"Apakah menang dari seorang anak perempuan tidak ada artinya?" protes Aleksis. "Apakah aku tidak berarti di matamu?"     

"Wahh... kau ini sangat kompetitif ya, Adik kecil. Baiklah, aku mengaku salah. Tadi aku mengalah sedikit karena aku tidak suka menyakiti anak perempuan, tapi kalau kau ingin bertanding sungguh-sungguh, kita bisa melakukannya nanti kalau kau sudah dewasa. Aku punya prinsip tidak mau melawan anak kecil dalam hal apa pun. Berapa umurmu sekarang?"     

"Umurku 12 tahun," jawab Aleksis.     

"Hm... nanti kita bertanding baduk serius saat umurmu sudah 20 tahun. Dalam waktu 8 tahun tentu kemampuanmu sudah jauh lebih baik. Kita akan menjadi lawan yang lebih seimbang." Pemuda itu mengacak rambut Aleksis dengan riang, "Kalau kita bertanding dengan serius sekarang, kau juga tidak akan menang."     

Aleksis mengerucutkan bibirnya hendak protes, tetapi ia sadar bahwa ia takkan bisa memaksa pria ini bertanding dengannya. Akhirnya ia hanya bisa setuju.     

"Baiklah... aku akan kembali 8 tahun lagi... Kita akan bertanding baduk, dan aku akan mengalahkanmu dengan jujur," katanya kemudian.     

"Baiklah. Aku suka semangatmu." Pemuda itu membereskan peralatan baduk mereka dan menyimpannya kembali ke atas rak.     

Aleksis sudah seminggu berada di rumahnya dan hubungan mereka sudah akrab, apalagi sejak mereka menghabiskan banyak waktu di perpustakaan untuk membaca dan bekerja. Anak perempuan itu akhirnya sudah merasa tidak sungkan lagi untuk bertanya tentang penolongnya itu.     

Ia penasaran karena sama sekali tidak melihat keluarganya, tidak juga foto di dinding rumah.     

"Uhm... Kakak keluarganya di mana?" tanya Aleksis sambil mengamati berbagai buku yang ada di rak. Ia berusaha membuat pertanyaannya sekasual mungkin. "Apakah mereka sedang di luar negeri?"     

Pemuda itu, yang wajahnya selalu tampak teduh, tiba-tiba terlihat diliputi aura kelam, membuat Aleksis menyesal telah mengajukan pertanyaan yang tampaknya menimbulkan luka di hati penolongnya.     

"Aku tidak punya keluarga," jawabnya kemudian, tidak bersedia memperpanjang pembicaraan, ia kembali menyibukkan diri dengan laptopnya dan tidak memperhatikan Aleksis.     

"Maaf kalau aku menyinggung perasaanmu..." Aleksis mencubit dirinya sendiri. Sekarang jelas kelihatan bahwa keluarga adalah topik sensitif bagi pemuda ini. Mungkin ia sudah kehilangan keluarganya. Aleksis mencoba meringankan suasana dengan membicarakan keluarganya sendiri. "Aku sudah ingat sekarang bahwa aku punya dua orang adik. Nama-namanya mereka adalah London dan Rune. Mungkin kau bisa melakukan pencarian dengan informasi itu...."     

Pemuda itu mengangkat wajahnya dari laptop, "London dan Rune? Nama adik-adikmu tidak biasa. Apakah kau sudah bisa mengingat namamu?"     

Aleksis menggeleng.     

"Aku baru ingat Paman Rory, dan dua adikku... Apakah kau tidak bisa mencari informasi dari ketiga nama itu?"     

"Hmm... sayangnya tidak. Aku perlu nama belakang, atau setidaknya nama orang tuamu.. atau nama lengkap pamanmu."     

Aleksis menggeleng. "Uhm... bagaimana kalau kita berlayar seperti rencana semula? Aku mungkin bisa mengingat lebih banyak hal kalau keluar dari rumah dan melakukan hal-hal yang aku biasa lakukan..."     

Pemuda itu menoleh ke jendela untuk melihat cuaca di luar. Ia kemudian berjalan ke teras dan mengangkat tangannya ke udara, lalu mengangguk-angguk, "Cuacanya bagus. Tidak akan hujan sama sekali sampai besok. Kita bisa berlayar."     

"Asyik! Kita berangkat sekarang?" tanya Aleksis gembira.     

"Ahahaha... kau terlalu bersemangat. Hm... baiklah, kau siapkan perlengkapanmu, lalu tunggu aku di ruang tamu satu jam lagi. Aku perlu menyelesaikan sedikit pekerjaan."     

Aleksis sangat gembira hingga ia melompat dan memeluk pria itu lalu berlari keluar perpustakaan secepat kilat. Laki-laki itu hanya menggeleng-geleng melihat tingkah anak perempuan yang penuh semangat itu.     

Satu jam kemudian saat ia ke ruang tamu, Aleksis telah siap dengan satu duffel bag yang digantungkan di punggungnya. Sepasang mata biru hijau anak itu tampak berbinar-binar gembira.     

"Kita cuma berlayar sehari, besok pulang. Kenapa tasnya besar sekali?" tanyanya kepada Aleksis.     

"Aku membawa baju ganti, pakaian renang, alat snorkeling, dan beberapa buku untuk dibaca." jawab anak itu dengan bangga. "Aku sudah biasa berlayar."     

"Aha. Kau bisa snorkeling? Kalau menyelam bisa? Aku ada perlengkapan menyelam juga di kapal."     

"Aku bisa menyelam, tapi aku lebih suka menyelam bebas (free diving tanpa tabung oksigen). Aku bisa menahan napas di dalam air hingga 2 menit." kata Aleksis dengan bangga.     

"Wahh... hebat! Sepertinya kau memang anak yang istimewa." Pria itu mengangguk kagum. Ia lalu mengacak rambut Aleksis dan menggandengnya keluar. "Ayo kita berangkat."     

Di halaman telah terparkir motor besarnya dan dengan sigap pria itu menaruh tas Aleksis dan tasnya sendiri di bagian depan, lalu menaiki motornya dan mengenakan helm yang tergantung di kemudi. Ia kemudian menyerahkan helm satu lagi kepada Aleksis dan memberi tanda agar anak itu naik.     

"Kenapa tidak naik mobil? Aku lihat di garasi Kakak punya dua mobil," kata Aleksis setelah duduk di bangku belakang.     

"Apakah menurutmu naik mobil lebih menyenangkan? Kita bisa menikmati saputan angin dan sinar matahari langsung kalau naik motor begini," jawab pria itu, "Aku hanya naik mobil kalau hujan."     

Dalam hatinya Aleksis setuju. Memang rasanya lebih bebas dan menyenangkan berkendara dengan motor seperti ini. Hanya saja di keluarganya tidak ada yang mengendarai motor, malahan mereka kemana-mana selalu diantar supir pribadi. Jadi naik motor begini merupakan pengalaman baru yang mengasyikkan baginya.     

"Aku suka naik motor." kata Aleksis sambil merangkulkan tangannya ke pinggang pria itu. "Kakak kalau naik motor begini kelihatan keren sekali. Kakak adalah orang paling keren yang pernah aku temui."     

"Haha.. kau lucu sekali, Adik kecil." Pria itu hanya tertawa kecil mendengar ucapan Aleksis yang blak-blakan dan mulai melajukan motornya, Gerbang mansion terbuka secara otomatis dan mereka segera keluar menuju pelabuhan.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.