The Alchemists: Cinta Abadi

Pemilik Taman Bonsai



Pemilik Taman Bonsai

0Suasana di penthouse tampak sangat kelam ketika Jadeith datang membawa masuk Terry. Caspar, Finland, dan Jean duduk di sofa ruang tamu dengan wajah gelap dan tangan terlipat di dada. London dan Rune sedang dibawa oleh Kara ke ruangan lain untuk belajar.     

"Kenapa kalian memaksaku kemari?" tanya Terry dengan wajah menentang. Ia memeluk kendi berisi abu orang tuanya di dadanya dan suasana hatinya sedang sama buruknya dengan ketiga orang yang ada di depannya.     

"Kami sudah berkonsultasi dengan Pengacara Li dan mengetahui bahwa orang tuamu sudah tidak punya kerabat lagi. Sebagai anak di bawah umur kau tidak bisa hidup sendiri. Ia mengusulkan untuk mencarikan wali sampai umurmu 21 tahun dan kau bisa menerima warisan dari ayahmu," kata Caspar tanpa mempedulikan sikap protes Terry. Suaranya terdengar berwibawa walaupun wajahnya tampak sangat lelah. "Kau bilang sudah mengetahui bahwa istriku di sini adalah ibu biologismu... maka tentu kau mengetahui siapa orang yang ada di sebelahnya.."     

Terry mengarahkan pandangannya kepada laki-laki tampan yang duduk di paling ujung. Wajahnya tampak sangat familiar. Bukan hanya karena Terry sering melihatnya menghiasi majalah dan poster film, tetapi juga karena ia menemukan wajah pria itu sangat mirip dengan wajahnya sendiri.     

Ia terkesima selama beberapa saat, tak mampu memahami mengapa laki-laki itu terlihat sangat muda. Bukankah seharusnya ia kini berumur hampir 40 tahun? Sepuluh tahun lalu saat ia datang untuk tes kecocokan donor, usianya sudah 28 tahun lebih...     

"Apakah kau Jean Pierre Wang?" tanya Terry pelan, mencoba memastikan.     

Jean mengangguk, tersenyum walaupun wajahnya tampak dipenuhi kabut kekuatiran. Terry tak mengerti kenapa ketiga orang ini terlihat sangat lelah dan kuatir. Apakah mereka tak menyukai kehadirannya di sini? Apakah mereka hanya datang karena orang tua Terry dan pengacara Li meminta mereka datang?     

"Oh..."     

Terry tidak tahu harus berkata apa. Ia menatap Jean dengan saksama. Orang ini sangat mirip dengannya, dan untuk pertama kalinya Terry merasa seolah dapat melihat dirinya sendiri dalam sosok orang lain.     

Ini adalah ayah biologisnya... walaupun bukan ayahnya yang sebenarnya.     

Orang ini hanya donor sel sperma, pikirnya getir. Ayahnya sudah mati dalam kecelakaan beberapa hari lalu. Perempuan yang duduk di sampingnya juga begitu, ia hanya mendonorkan sel telur dan sumsum tulang belakang... Perempuan itu sudah punya keluarga dan anak-anaknya sendiri.     

"Kami di sini sedang membahas siapa di antara kami yang tepat untuk menjadi walimu hingga saat kau dewasa..." kata Finland kemudian. Ia melihat wajah Terry yang sangat tertekan sehingga ia menjadi tidak tega. Dengan suara sangat lembut ia lalu menjelaskan maksud mereka menemuinya. "Aku adalah ibu biologismu, dan Jean adalah ayah biologismu. Kami dapat dan bersedia menjadi walimu setelah orang tuamu meninggal. Aku memiliki suami dan tiga orang anak dan saat ini kami tinggal di New Zealand dan Jerman. Kalau kau ikut kami, kau akan memperoleh kehidupan yang layak dan teratur. Hanya saja anak-anak kami tidak bersekolah di sekolah umum. Kalau kau ikut kami, kau juga akan belajar dengan guru pribadi. Kau sudah bertemu anak-anak kami kemarin. Ada Aleksis, London, dan Rune."     

Sepasang mata cokelat Terry membulat besar mendengar ucapan Finland. Ia sama sekali tak mengira mereka mau begitu saja menjadi walinya seperti ini.     

"Kukira kau sudah tahu bahwa aku adalah ayah biologismu..." Jean melanjutkan perkataan Finland, dengan suara sama lembutnya dan membuat Terry hampir meneteskan air mata karena tersentuh, "Aku tahu, aku bukanlah ayahmu yang sebenarnya. Hubungan di antara kita hanyalah sebatas DNA, dan aku juga tidak memiliki bakat menjadi ayah karena orang tuaku bercerai saat umurku baru lima tahun. Aku tidak tahu caranya menjadi seorang ayah yang baik. Tetapi aku ingin mau memberiku kesempatan untuk menjadi walimu. Aku orang sibuk, tetapi aku akan berusaha meluangkan waktu untuk mengurusi sekolahmu. Ayahku orang Singapura dan aku bersedia tinggal bersamamu di Singapura agar kau dapat menyelesaikan sekolahmu di sini. Nanti kita pikirkan sama-sama kau mau kuliah di mana. Mungkin nanti kau bisa ikut pindah denganku ke Amerika. kalau kau mau."     

Terry hanya dapat memandang ketiga orang itu dengan ekspresi tercengang. Ia sama sekali tidak mengira mereka ingin menjadi walinya... Padahal mereka bukan keluarga.     

"Kenapa kalian melakukan ini?" tanyanya pelan.     

Mereka tentu punya niat atau tujuan tertentu.. pikirnya.     

Tapi...     

Tidak mungkin mereka mengincar harta keluarga Chan, mengingat Jean adalah seorang aktor yang sangat sukses.. Dan pasangan yang duduk di sebelahnya juga terlihat kaya. Setidaknya dengan tinggal di penthouse seperti ini, tentu mereka sangat kaya raya... Lalu apa tujuan mereka sebenarnya?     

Terry sungguh tidak habis pikir.     

"Apa kalian sungguh-sungguh dengan ucapan kalian?" tanyanya kemudian, suaranya terdengar dipenuhi keraguan.     

Finland bangkit dan menghampiri Terry, lalu tanpa disangka-sangka memeluknya dengan haru.     

"Kami sungguh-sungguh, Nak. Percayalah, aku sangat mengerti bagaimana rasanya menjadi anak yang hidup sebatang kara. Kami tak akan membiarkanmu sendirian..."     

Saat itulah pertahanan diri Terry runtuh dan untuk pertama kalinya ia lalu menangis di depan orang yang asing seperti ini...     

Jean kemudian bergabung dan ikut memeluk anak itu dan bertiga mereka berusaha menahan air mata agar tidak mengalir semakin deras.     

Caspar hanya melihat pemandangan itu dengan wajah gelap. Pikirannya dipenuhi oleh Aleksis... Dadanya terasa sesak memikirkan nasib anak perempuannya itu.     

***     

Aleksis heran karena luka-lukanya pulih dengan sangat cepat. Untunglah tidak ada luka dalam maupun tulang yang patah, sehingga dalam waktu 3 hari ia sudah merasa pulih.     

Kini, ia tinggal mencari tahu siapa keluarganya... lalu pulang ke rumah.     

Tuan penolongnya terlihat sibuk. Ia hanya datang menjenguk sekali sehari dan memastikan pelayan-pelayannya mengurusi Aleksis dengan baik. Sampai kini ia masih tak mau memperkenalkan namanya.     

"Aku juga tak tahu namamu, adik kecil. Jadi aku tidak berkewajiban memberitahumu namaku..." katanya sambil tersenyum saat mengunjungi Aleksis siang itu dan si anak perempuan mencoba menanyakan namanya kembali.     

"Kalau begitu, bagaimana aku bisa memanggilmu?" tanya Aleksis dengan keras kepala.     

"Kau bisa memanggilku 'Kakak'. Aku bisa memanggilmu 'Adik'. Rasanya adil kalau begitu," jawab pemuda itu sambil mengangkat bahu. Aleksis akhirnya tidak punya pilihan selain setuju.     

"Baiklah... Uhm, kalau kau berhasil menemukan orang tuaku, mereka akan sangat berterima kasih dan memberimu sangat banyak hadiah.." kata Aleksis kemudian.     

"Terima kasih, tapi aku tidak perlu hadiah apa-apa," kata pemuda itu sambil tersenyum simpul. Ia merentangkan tangan menunjukkan rumahnya yang besar. "Aku punya segalanya."     

Aleksis membenarkan dalam hatinya. Mansion ini sangat besar dan mewah, tentu pemiliknya sangat kaya.     

Mungkin benar ia tidak membutuhkan materi. Tapi bagaimana dengan hal-hal yang tidak bisa dinilai dengan uang...?     

"Aku tahu kau kaya... Tapi pasti ada sesuatu yang kau inginkan dalam hidup. Ayahku bisa mewujudkannya, apa pun itu." Aleksis berkeras. Ia belum dapat mengingat banyak hal, tetapi ia tahu pasti ayahnya sangat berkuasa dan mampu mewujudkan apa pun mimpi yg dimiliki seseorang.     

Pemuda itu mengerutkan keningnya mendengar kata-kata Aleksis.     

"Kau tahu siapa ayahmu? Kau mau aku menghubunginya?"     

"Uhmm.. Bukan begitu. Aku belum bisa mengingatnya, tapi yang jelas aku tahu ayahku sangat berkuasa. Kalau kita bisa menemukannya ia akan membalas pertolonganmu kepadaku..."     

"Hmm.. Baiklah. Aku percaya." Pemuda itu mengacak rambut Aleksis dan tersenyum sedikit. "Kau sudah merasa baikan? Mau ikut denganku jalan-jalan keluar? Pasti tidak enak rasanya diam di kamar terus berhari-hari."     

Aleksis mengangguk dan segera bangun dari tempat tidur, mengikuti langkah pria itu keluar. Ia sendiri keheranan karena kondisi tubuhnya sudah sangat membaik, padahal ia baru dirawat selama tiga hari.     

Mereka berjalan keluar pintu mansion menuju halaman belakang yang begitu luas. Anak tangga pualam putih dari pintu belakang turun ke sebuah taman hijau yang penuh diisi tanaman bunga dan bonsai, memberi kesan sejuk dan damai.     

"Indah sekali tamannya..." kata Aleksis kagum.     

"Terima kasih. Aku memang senang berkebun," jawab pemuda itu sambil tersenyum senang. Ia tahu tamannya sangat cantik tetapi tentu saja akan menyenangkan mendengar pujian itu dari orang lain.     

Ia mengambil sebuah gunting tanaman dari dahan sebuah pohon dan dengan telaten mulai memotong beberapa ranting kecil dari sebuah bonsai pohon beringin yang cantik di bagian paling depan.     

"Kakak sangat berbakat," puji Aleksis. "Selain berkebun, apa lagi hobi Kakak?"     

Pemuda itu menjawab ringan pertanyaan demi pertanyaan Aleksis sambil menata bonsainya dengan khimad, "Aku suka berkuda, mendaki gunung, berlayar... hmmm... masih banyak lagi."     

"Ah, aku juga. Aku paling senang berlayar di Karibia bersama Paman Rory. Katanya kalau usiaku sudah 17 tahun dan kemampuan menyelam bebasku sudah sebagus dia, aku akan diajaknya mengambil harta karun bajak laut di Barbados."     

"Paman Rory? Bagaimana dengan ayahmu?" tanya pemuda itu menanggapi cerita Aleksis. "Apakah kau tidak memiliki orang tua lagi?"     

Aleksis hanya bisa menggeleng. Ia ingat nama Paman Rory tetapi tidak bisa mengingat orang tuanya...     

Hmm... apakah itu berarti ayah ibunya sudah tiada?     

Pikiran itu seketika membuat dadanya terasa sesak.     

"Hei... jangan sedih dulu. Mungkin orang tuamu masih ada, kau hanya belum bisa mengingatnya. Beri dirimu waktu. Dalam tiga hari saja kau sudah bisa pulih dan mengingat nama pamanmu. Mungkin besok kau bisa mengingat yang lainnya..." Melihat wajah Aleksis yang hampir menangis, pemuda itu meletakkan guntingnya dan mendekati Aleksis untuk mengusap kepalanya, menghibur anak itu. "Kau ingat nama lengkap Paman Rory ini?"     

Aleksis menggeleng. "Aku tidak ingat."     

"Baiklah... mungkin kalau aku mengajakmu berlayar kau akan dapat mengingat namanya dengan lebih lengkap." Pemuda itu akhirnya memutuskan, "Aku akan mengajakmu ke Harbourfront besok, aku punya kapal di sana. Kita bisa berlayar dan menikmati matahari. Siapa tahu kenanganmu saat berlayar dengan Paman Rory akan kembali dan kau bisa mengingat namanya..."     

"Aku akan senang sekali..." kata Aleksis. Dadanya tidak terasa sedih lagi.     

Pemuda itu kembali menekuni bonsainya dan Aleksis duduk mengamatinya. Mereka tidak bicara apa-apa lagi selama setengah jam.     

Aleksis kemudian menjelajahi taman dan mengagumi karya-karya bonsai pria itu yang lain. Walaupun ia baru mengalami luka-luka dan saat ini tidak dapat mengingat tentang dirinya dan keluarganya, Aleksis sama sekali tidak merasa cemas. Entah kenapa tempat ini membuatnya merasa sangat damai.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.