The Alchemists: Cinta Abadi

Pergi



Pergi

0Caspar menggamit Aleksis dan berbisik pelan ke telinganya, "Aleksis, dia tidak tahu itu, jangan bilang bahwa kita keluarganya, dia akan bingung..."     

Terry tentu tidak mengetahui bahwa mereka ini memiliki hubungan 'keluarga' dengannya.     

"Oh..?" Aleksis terkesiap keheranan. Ia tidak menyadari bahwa Terry sendiri tidak tahu ia bukan anak biologis orangtuanya. Ia seketika menekap mulutnya dan ekspresinya berubah menjadi kasihan.     

"Kalian siapa?"     

Untuk pertama kalinya Terry mengangkat wajahnya dan memandang kelima orang yang baru datang itu baik-baik. Ia tidak mengenali satu pun dari mereka. Kalau melihat sikap dan cara mereka berinteraksi, ini adalah satu keluarga.     

Anak perempuan yang duduk di sebelah kanannya sangat mirip dengan perempuan dewasa yang duduk di sebelah kirinya. Anak laki-laki yang berdiri di depannya bagaikan pinang dibelah dua dengan laki-laki berpenampilan menarik yang ada di sampingnya sambil menggandeng seorang anak laki-laki kecil berambut pirang berwajah penuh rasa ingin tahu. Siapa mereka ini?     

"Kami kenal orang tuamu..." kata Finland dengan lembut, "Kau mungkin tidak ingat, tetapi sepuluh tahun lalu saat kau dirawat di rumah sakit karena leukemia, aku dan suamiku datang menjengukmu... Waktu itu kau masih kecil."     

Terry tampak berusaha mengingat-ingat dan beberapa saat kemudian matanya membulat dan ia terpaku menatap Finland.     

"Ka.. kau, ibu biologisku yang memberikan donasi sumsum tulang belakang untukku, kan?" katanya dengan suara tertahan.     

Finland dan Caspar kaget mendengar kata-kata Terry. Oh... rupanya anak ini mengetahui jati dirinya. Tadinya mereka tidak mau membahas itu karena tidak ingin Terry menjadi semakin sedih, tetapi ternyata ia sudah mengetahui apa yang terjadi.     

Finland cepat-cepat mengendalikan perasaannya dan mengangguk sambil tersenyum, "Jadi kau tahu?"     

Terry mengangguk pelan, "Ayah dan Ibu berusaha menyembunyikannya, tetapi mereka tentu tak bisa menghapus semua berita di internet dari masa 10 tahun lalu. Aku sudah tahu bahwa aku adalah anak yang dibuat dengan program bayi tabung menggunakan embrio dari donor..."     

"Kau membuatnya terdengar buruk," komentar Caspar. "Memangnya kenapa kalau kau bukan anak biologis orang tuamu? Itu artinya kau adalah anak yang sangat disayangi. Orang tuamu melakukan apa saja demi bisa memilikimu dalam hidup mereka... Kau tahu kan betapa mahal dan sulitnya proses bayi tabung itu? Dan mereka membesarkanmu selama 15 tahun dengan penuh kasih sayang..."     

"Aku tidak mengeluh, kok. Aku cuma menyatakan fakta..." Terry mengerucutkan bibirnya persis seperti Finland kalau sedang merengut, dan Caspar menyadari itu.     

Anak ini wajahnya mirip Jean, tetapi gerak-gerik dan ekspresinya sangat mirip Finland, pikirnya. Memang DNA tidak bisa berbohong.     

Tanpa sadar ia memandang ketiga anaknya sendiri dengan perasaan puas. Ia tidak perlu cemburu sekarang atas fakta bahwa Jean memiliki keturunan bersama Finland, walau bukan anak resmi, sebab ia sendiri sudah memperoleh tiga anak yang luar biasa bersama istrinya. Tiga anak itu membuat keluarga mereka menjadi sangat seru dan menyenangkan.     

Caspar sebenarnya tak keberatan menambah anak lagi, tapi sekarang ia sadar memiliki tiga anak berumur berdekatan itu sudah cukup merepotkan, karena walaupun mereka punya banyak staf, ia dan Finland lebih suka mengurusi sendiri anak-anak mereka.     

Mungkin nanti kalau anak-anak sudah besar dan meninggalkan rumah, mereka akan mengalami sindrom sarang kosong, seperti induk burung yang merasa kesepian karena anak-anaknya sudah besar dan terbang pergi meninggalkan orang tuanya...     

Kalau saat itu tiba, ia bisa mengusulkan kepada Finland untuk punya anak lagi. Ha ha ha.     

Caspar cukup beruntung karena ia berhasil mendapatkan keinginannya agar Finland tak usah kembali bekerja setelah London berumur dua tahun. Istri tercintanya itu mengandung Rune saat London berumur 15 bulan, dan setelah melahirkan anak ketiga ia kemudian berfokus pada tiga anaknya yang masih kecil-kecil.     

Tanpa terasa, tahu-tahu saja sembilan tahun berlalu dengan cepat dan kini Finland sudah tidak terlalu ingin kembali ke dunia kerja. Ia menemukan kepuasan dari berbagai hal baru yang ditemuinya dalam hidup dan petualangan mereka sendiri sebagai sebuah keluarga.     

Ia merasa bahagia belajar bahasa baru ketika mereka berpindah-pindah negara, mengenal budaya asing dan menekuni beberapa minatnya yang dulu tak pernah ia lakukan secara serius, seperti fotografi dan menulis.     

Caspar sangat senang melihat Finland kini sibuk dengan berbagai proyek kecil yang memberinya kepuasan batin. Istrinya itu sekarang sudah bisa membuat wine, keju, dan parfum sendiri dengan bahan-bahan dari tanah pertanian dan kebun anggur mereka. Finland pun mulai belajar melukis dan kadang mereka akan pergi ke tempat indah dan melukis bersama.     

Caspar sendiri sudah bertahun-tahun tidak menjadi dokter, salah satu profesi favoritnya. Ia sudah puas menjadi dokter pribadi keluarga Schneider yang mengurusi vaksinasi dan batuk pilek anak-anak, serta tidak mengurusi bisnis sama sekali. Kurt Van Der Ven melakukan tugasnya dengan sangat baik membantu Stanis, ayahnya, dalam mengelola Grup Schneider selama ini sehingga mereka sama sekali tidak perlu mengganggunya.     

Sudah bertahun-tahun lamanya mereka sekeluarga hidup damai, hingga tiba-tiba kemarin Finland menerima panggilan telepon yang mengabarkan kematian pasangan Chan. Kini mereka harus memutuskan apa yang harus mereka lakukan untuk membantu Terry.     

Finland menatap Terry dengan penuh perhatian.     

"Sudah berapa lama kau duduk di sini? Kau sudah makan?" tanyanya kepada Terry. "Mungkin lebih baik kalau kita mengobrol di tempat lain..."     

Terry tidak bergeming.     

Finland yang kehilangan orang tuanya saat ia masih sangat kecil mengerti kesedihan anak itu dan tidak mau memaksa. Ia bertukar pandang dengan Caspar dan bertanya dengan matanya bagaimana pendapat pria itu.     

"Tidak apa-apa, kita tunggu saja di sini," kata Caspar sambil tersenyum penuh kesabaran.     

Ia lalu duduk di samping Aleksis. London dan Rune kemudian mengikuti jejaknya dan duduk di sebelahnya.     

Jadilah mereka berenam duduk bersama-sama di bangku, menunggu. Tidak ada yang berbicara apa-apa lagi.     

Pengacara Li yang melihat itu dari jauh tampak menarik napas lega. Kini ia merasa tidak perlu kuatir lagi anak kliennya akan menjadi sebatang kara. Keluarga ibu biologisnya ada di sini dan sepertinya mereka sangat baik kepadanya.     

***     

Hari berganti dari siang menjadi sore dan akhirnya malam pun tiba. Sudah beberapa puluh tamu datang melayat dan mereka semua memberikan penghormatan terakhir kepada pasangan Chan. Terry hanya melihat mereka datang dan pergi tanpa bereaksi.     

Rune mulai gelisah dan memohon kepada ayahnya dengan pandangan matanya untuk mengajaknya pergi dari situ. Duduk manis selama 5 jam adalah rekor baru baginya, dan ia sudah tak tahan lagi.     

"Baiklah... sudah waktunya pulang." Caspar memutuskan, "Kita semua harus makan malam."     

Semua bangkit berdiri kecuali Terry. Anak itu rupanya memiliki sifat keras kepala yang entah diturunkan dari siapa.     

"Aku tetap di sini.." katanya tegas. "Aku harus menunggui orang tuaku."     

"Aku mengerti kau sangat kehilangan, tetapi aku yakin orang tuamu akan sedih melihatmu menyiksa diri seperti ini. Setidaknya ikutlah dengan kami dan makan, lalu beristirahat. Besok pagi kita akan kembali kemari." Finland mencoba membujuknya. "Percayalah padaku, aku ini seorang ibu."     

"Kakak...." tiba-tiba Aleksis tidak lagi dapat menahan diri dan memanggil Terry sebagai kakaknya. "Ayolah ikut kami. Kalau kau tidak makan, kami juga tidak akan makan. Apa kau tidak kasihan melihat ada anak kecil di sini yang akan kelaparan karenamu?"     

Ia berdiri dan menarik Rune ke depannya, menyodorkan wajah memelas bocah itu ke arah Terry yang tampak kaget. Wajah Rune tampak merengut menyedihkan. Anak itu memang gampang lapar dan ia sudah cukup bersabar selama berjam-jam sedari tadi.     

"Aku tidak minta kalian tinggal di sini," Terry mengomel. Ia tidak pernah melihat keluarga itu sebelum ini, mengapa sekarang ia harus bertanggung jawab karena anaknya kelaparan?     

"Ugh!" Kesabaran Aleksis sangat pendek. Ia segera menarik tangan Terry dan memaksanya berdiri lalu menyeretnya ke arah pintu. "Dasar laki-laki, susah sekali diberi tahu."     

"Heii... lepaskan aku!" Terry ingin memukul anak perempuan menyebalkan itu agar melepaskannya tetapi ia dididik menjadi lelaki sejati oleh orang tuanya, dan lelaki sejati tidak memukul perempuan.     

Akhirnya ia hanya bisa menyentakkan tangannya kuat-kuat agar Aleksis melepaskannya.     

Eh... tidak bisa lepas.     

Terry menatap anak perempuan berambut berantakan itu dengan mulut ternganga.     

Anak ini kuat sekali, pikirnya.     

"Kau ikut kami dan makan malam! Mama tidak bersusah payah memberikan sumsum tulang belakangnya kepadamu sepuluh tahun lalu agar kau bisa mati kelaparan di sini sekarang," tukas Aleksis.     

Ia terus menarik tangan Terry dengan kuat keluar gedung dan menuju mobil mereka yang diparkir di depan. Akhirnya Terry mengalah dan ikut masuk ke mobil walaupun wajahnya tampak tidak rela.     

Finland dan Caspar saling pandang dan mengangkat bahu sambil tersenyum. Aleksis tidak suka basa-basi dan mereka tidak heran kalau ia akan memaksa Terry mengikuti keinginannya.     

Mereka lalu berjalan keluar rumah duka juga dan masuk ke dalam mobil satu lagi yang parkir di belakang mobil pertama. London dan Rune mengikuti kakaknya masuk ke mobil yang sama.     

Kedua kendaraan mewah itu segera meluncur kembali ke Hotel Continental. Di dalam perjalanan ketiga anak keluarga Schneider menatap Terry lekat-lekat sehingga membuatnya merasa tidak nyaman.     

Rune bahkan sampai menyipitkan matanya untuk melihat Terry dengan lebih baik.     

"Kalian jangan menatapku seperti itu. Tidak sopan, tahu," kata Terry sambil membuang muka.     

"Hmm... dia mirip Paman Jean, ya..." kata Rune kepada London, seolah-olah Terry tidak ada di sana, membuat anak remaja itu bertambah kesal. "Tapi bedanya Paman Jean sangat manis dan ramah, orang ini ketusnya bukan main."     

"Mungkin ketusnya dari Mama. Kau tahu kan, Mama kalau sedang ngambek sama Papa juga menyebalkan seperti itu..." balas London.     

Keduanya memperhatikan Terry lagi dan mengangguk-angguk.     

"Astaga.. kalian berhentilah memperlakukan seolah aku tidak ada!" tukas Terry tidak sabar. Kedua anak lelaki itu cuek saja membicarakan dirinya di depannya seperti itu. Ia lalu menoleh ke arah Aleksis yang duduk di sampingnya. "Begitu mobil ini berhenti aku akan pergi. Kau JANGAN mengejarku. Aku tidak mau memukul perempuan!"     

"Coba saja kalau kau berani memukulku!" tantang Aleksis. "Aku bisa mengalahkan sepuluh anak laki-laki sepertimu dengan mudah."     

"..." Terry merasa akan percuma berdebat dengan anak perempuan bermata biru hijau itu, ia menggertakkan giginya dan mencoba membantah lagi, "Ini penculikan! Aku akan melaporkan kalian kepada polisi...!"     

"Kau mau bilang kepada polisi bahwa seorang anak perempuan berumur 12 tahun menculikmu dengan paksa?" Aleksis merasa sangat geli, ia menutup mulutnya dengan punggung tangan dan tertawa terbahak-bahak sampai meneteskan air mata. "Aku hanya mengajakmu makan malam..."     

Terry hanya bisa mendengus. Ia tahu Aleksis benar. Justru ia yang akan malu kalau sampai melapor ke polisi bahwa ia diculik seorang anak perempuan yang lebih muda darinya.     

Ia akhirnya berhenti bicara dan mulai mengamati ketiga anak yang duduk di mobil itu. Yang perempuan terlihat berumur 12 tahun dengan wajah sangat cantik walaupun rambutnya dibiarkan berantakan, sementara kedua adiknya tampak sangat akrab dan mereka memiliki dua pasang mata yang sangat jahil. Kelihatannya ketiga anak ini sangat dekat.     

Seketika ia ingat keadaannya sendiri yang merupakan anak tunggal seumur hidupnya. Dari dulu ia mendambakan memiliki saudara, tetapi saat ia mengetahui bahwa ternyata kedua orang tuanya tidak bisa punya anak sendiri, ia sadar bahwa harapannya tidak akan pernah terwujud.     

Pikirannya melayang pada perempuan cantik setengah Asia yang tadi duduk di sampingnya selama berjam-jam dengan sabar dan memperlakukannya dengan sangat lembut. Perempuan itu adalah ibu biologisnya.     

Terry menggigit bibirnya dengan sedih. Lima tahun lalu saat ia mengetahui bahwa dirinya bukan anak biologis keluarga Chan, ia berusaha mencari tahu siapa orang tua kandungnya. Ia menemukan informasi tentang Jean Pierre Wang, tetapi tentu saja ia tak bisa menjangkau aktor yang demikian terkenal. Sementara ibu biologisnya menghilang dan tak dapat dilacak.     

Hari ini tiba-tiba perempuan itu muncul dan ia membawa seisi keluarganya. Ia sudah punya anak-anak lain yang sangat manis dan sepertinya mereka merupakan keluarga bahagia. Tanpa sadarnya Terry mengusap matanya yang hampir basah.     

Rasanya menyakitkan sekali, setelah kehilangan orangtuanya kini ia harus menyaksikan ibu biologisnya memamerkan anak-anak kandungnya di depannya seperti ini dan mereka terlihat begitu bahagia.     

Mobil berhenti di depan Hotel Continental dan keempat anak itu segera keluar. Terry memandang hotel dan Aleksis dan dalam waktu beberapa detik ia pun mengambil keputusan.     

"Aku tahu niat kalian baik, tapi maaf, aku sedang berduka dan tidak sanggup berbasa-basi dengan orang lain. Jangan kejar aku." Ia menepuk bahu Aleksis pelan dan sekejap kemudian sudah berlari sekuat tenaga menghilang ke balik pepohonan.     

Ia menduga orang-orang ini tidak tinggal di Singapura, sehingga tentu tidak tahu luar dalamnya Singapura seperti dirinya, ia akan bisa pergi dan menghilang. Ia tak sanggup melihat keluarga itu lagi.     

"Heii! Heiii... jangan pergi!!" Aleksis sigap berlari kencang mengejar Terry. Ia juga segera menghilang.     

Mobil yang dinaiki Caspar dan Finland sudah tiba dan keduanya terkejut melihat bayangan Aleksis yang berlari menjauh.     

"Ada apa?" tanya Finland cemas. "Kemana mereka?"     

Jadeith yang tadi menyetiri Caspar dan Finland tidak membuang waktu segera keluar dari mobil dan berlari ke arah menghilangnya kedua anak tadi. Seorang pengawal mengikutinya berlari memburu Terry dan Aleksis.     

"Terry dan Aleksis tadi masih bertengkar di mobil. Terry bilang dia mau pergi dan melarang Aleksis mengejarnya..." kata London.     

"Seperti biasa Aleksis tidak mau mendengarkan jadi dia mengejar Terry." Rune melanjutkan ucapan kakaknya.     

Caspar menepuk keningnya. Finland menghela napas panjang. Keduanya hanya bisa berharap anak-anak itu segera ditemukan sebelum terjadi hal yang tidak diinginkan.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.