The Alchemists: Cinta Abadi

Bertemu Terry



Bertemu Terry

0PERISTIWA INI TERJADI SEMBILAN TAHUN SETELAH LONDON SCHNEIDER DILAHIRKAN     

Kabar yang diterima keluarga Schneider pagi itu sungguh mengejutkan. Pasangan Kendrick dan Sylvia Chan mengalami kecelakaan di Prancis saat sedang berlibur dan tewas seketika. Ini membuat anak mereka satu-satunya, Terry, menjadi yatim piatu.     

"Kita harus ke Singapura dan menemui anak itu..." tukas Finland dengan wajah gundah. Bagaimanapun Terry adalah darah dagingnya, walaupun ia tidak melahirkan anak itu sendiri. Sepuluh tahun lalu ia bahkan memberikan donasi sumsum tulang belakang saat Terry mengidap kanker darah untuk menyelamatkan nyawanya.     

Caspar mengangguk. Ia dapat membayangkan kesedihan yang dialami anak berusia 15 tahun itu, ditinggalkan secara mendadak oleh kedua orang tuanya sekaligus. Orang tuanya sendiri meninggal dalam perang ketika usianya sudah 350 tahun tetapi kesedihannya tak juga hilang setelah puluhan tahun. Maka Caspar mengerti.     

"Kita bisa berangkat sore ini... Akan kuminta Kara menyiapkan semuanya," kata Caspar. Ia memeluk istrinya dengan kuat, untuk berbagi kesedihannya. "Apa kata Jean?"     

"Jean juga akan segera datang. Mungkin kita yang akan tiba duluan karena kita lebih dekat."     

Saat itu keluarga Finland dan Caspar sedang berdiam di tanah pertanian mereka di New Zealand. Mereka sangat menyukai Wellington dan selalu tinggal di sana minimal sebulan dalam setahun. New Zealand di musim semi* sangatlah indah. Perjalanan dari Wellington ke Singapura hanya 8 jam dan mereka dapat tiba pada pagi hari. Jean yang bermukim di Amerika harus terbang 20 jam untuk bisa tiba di Singapura. Walaupun ia langsung bergegas ke bandara setelah mendengar berita tentang pasangan Chan, ia tetap baru akan tiba besok malam.     

"Kita mau kemana, Ma?" tanya Aleksis keheranan melihat ibunya mengemas beberapa pakaian mereka ke dalam koper kecil. Mereka baru dua minggu berada di Wellington dan biasanya masih akan tinggal di sana hingga awal bulan Oktober, sekarang masih awal September. Ia menggigit sehelai rumput di mulutnya dengan gaya yang cuek sekali dan segera bertengger di anak tangga pertama rumah mereka, mengamati ibunya yang terlihat resah dan bolak-balik memasukkan dan mengeluarkan barang dari koper.     

"Kita akan bertemu kakakmu di Singapura," kata Finland terburu-buru. Perhatiannya tampak sangat tidak fokus.     

Aleksis mengerutkan keningnya dan kemudian serentak menoleh kepada ayahnya yang hanya mengangkat bahu.     

"Kakak? Aku kan anak pertama?" Sesaat kemudian matanya membelalak besar dan memancarkan pandangan penuh tuduhan kepada Caspar, "Astaga....! Papa punya anak dari perempuan lain?! Aku tahu dulu Papa itu playboy... tapi seharusnya Papa jangan bikin malu begini, dong..."     

Caspar terkesiap mendengar tuduhan anaknya dan menoleh ke arah Finland yang menepuk keningnya sendiri.     

"Aleksis pikir Terry itu anakku..." katanya sambil merengut. Finland menghela napas dan memukul bahunya dengan gemas.     

"Dasar."     

Caspar tertawa melihat Finland terpancing emosi dan buru-buru menciumnya.     

"Sudah...sudah, kau ceritakan saja kepada Aleksis tentang Terry, biar aku yang packing dan mengurus keberangkatan kita. Dalam kondisi stress begini kau malah akan melupakan barang-barang penting kita," katanya dengan suara lembut. "Aleksis, ambilkan sebotol wine dan dua gelas dari dapur. Mama perlu minum sedikit biar tenang."     

Aleksis menuruti permintaan ayahnya, walaupun masih dengan wajah penuh pertanyaan.     

Kakak? Kakak dari mana?     

Ia kembali lima menit kemudian dengan sebotol wine yang sudah terbuka dan dua buah gelas, lalu menuangkan wine dan menyerahkan segelas kepada ibunya.     

"Ada apa ini? Apa yang kalian sembunyikan dariku?" tanyanya dengan penuh selidik. Aleksis baru berusia 12 tahun tetapi ia sangat dewasa untuk umurnya dan sering berlaku seperti teman saja dengan orangtuanya. Apalagi kalau dilihat secara fisik mereka tidak seperti orang tua dan anak. Kedua orang tuanya terlihat sangat muda.     

Finland meneguk habis wine-nya dan setelah merasa agak tenang, ia lalu menceritakan peristiwa belasan tahun lalu ketika ia masih merupakan seorang mahasiswa miskin di Singapura yang membutuhkan uang.     

"Ya ampuuunn...! Jadi dia anakmu dengan Paman Jean? Astaga...." Aleksis menekap mulutnya karena kaget setelah mendengar cerita ibunya. Caspar mengangkat bahu sambil tersenyum dan Finland mengangguk dengan wajah sedih.     

"Kita tidak bisa membiarkan dia sendirian, entah bagaimana kita harus mencari cara untuk menolongnya... Anak itu masih kecil," kata Finland prihatin. "Anak sekecil itu tidak boleh hidup sendiri tanpa orang tua..."     

"Kita belum tahu apakah orang tuanya punya kerabat atau tidak," kata Caspar mengingatkan. "Dia bisa tinggal bersama mereka."     

"Jean bilang anak itu sebatang kara. Orang tuanya tidak punya kerabat lagi." Finland mendesah sedih, "Jean berniat mengadopsinya kalau memungkinkan."     

"Oh, ya? Well, itu ide bagus," kata Caspar. "Semoga prosesnya lancar."     

Aleksis tampak tercenung, masih berusaha mencerna informasi yang diterimanya secara tiba-tiba seperti ini. Sesaat kemudian senyumnya merekah lebar.     

"Asyik!!! Ternyata aku punya kakak laki-laki!" serunya tiba-tiba. "Aku selalu ingin punya kakak."     

Ia memeluk Finland dan mencium pipinya.     

"Terima kasih, Ma. Aku senang bahwa ternyata aku punya kakak..." katanya dengan gembira.     

Caspar menatap adegan itu dengan wajah protes.     

"Heii... kenapa sekarang kau malah berterima kasih? Ini tidak adil! Tadi waktu Papa yang dituduh punya anak dari perempuan lain, Papa dibilang bikin malu. Tapi kalau Mamamu yang punya anak dari Jean, kau malah senang punya kakak?! Aleksis, kau ini orangnya berat sebelah, ya?"     

Aleksis segera menyadari kesalahannya dan buru-buru menghambur ke arah ayahnya dan memeluknya dengan hangat.     

"Papa mau wine?" bisiknya dengan suara menggemaskan sehingga mau tak mau ayahnya berhenti merengut. Ia menerima segelas wine dari Aleksis dan meneguknya hingga habis.     

"Baiklah, Finland, kau duduk saja sambil minum wine untuk menenangkan diri. Aleksis panggil kedua adikmu dari lapangan rumput, mereka harus siap-siap," kata Caspar dengan tegas. Finland dan Aleksis mengangguk.     

Tidak lama kemudian Aleksis kembali dengan kedua adiknya, London dan Rune. Kedua anak itu sebenarnya tidak senang harus kembali ke rumah. Mereka sedang asyik bermain dengan kelompok biri-biri peliharaan mereka, tetapi begitu melihat wajah ibunya yang muram, mereka segera merubungnya dan menanyakan apa yang terjadi.     

Agar Finland tidak harus mengulang ceritanya, Aleksis yang mewakili untuk menceritakan apa yang terjadi. Kedua adiknya tampak sangat terkejut.     

Kalau Aleksis sangat mirip dengan ibunya, maka London yang berusia 9 tahun memiliki wajah yang bagaikan pinang dibelah dua dengan ayahnya, ia juga memiliki rambut hitam dan sepasang mata biru cemerlang serta lesung pipi yang menawan.     

Sementara Rune yang berumur 7 tahun tidak mirip satu pun orang tuanya. Rambutnya berwarna dirty blond dengan mata biru yang agak sipit, membuatnya terlihat misterius. Kalau ketiganya berdiri berjajar, orang-orang tak akan mengira mereka adalah saudara kandung.     

"Kasihan sekali..." kata London penuh simpati. Ia tak dapat membayangkan harus kehilangan kedua orang tuanya sekaligus.     

"Dia tidak tahu tentang kita," kata Caspar mengingatkan, "Jadi nanti kalau kalian bertemu dia, tidak usah membahas tentang kehidupan kaum Alchemist."     

"Baik, Pa." Ketiga anaknya mengangguk.     

Beberapa jam kemudian keluarga itu sudah berada di pesawat menuju Singapura. Kara menemani mereka bersama Jadeith dan beberapa pengawal Caspar yang lain. Sejak sering bertemu di Jerman sepuluh tahun yang lalu, Jadeith dan Kara mulai sering menghabiskan waktu bersama hingga akhirnya Kara meminta untuk pindah bekerja kepada keluarga Caspar dan meninggalkan Aldebar.     

Tentu saja hal ini menguntungkan bagi Caspar karena Kara adalah seorang asisten yang sangat efisien dan dengan bertambahnya anggota keluarganya dengan tiga orang anak, ia merasa kehadiran Kara akan sangat meringankan beban Finland. Gadis itu kini mengikuti mereka ke seluruh dunia, bersama Jadeith.     

"Apakah menurutmu Jadeith dan Kara akan menikah?" bisik Finland kepada Caspar saat melihat Jadeith dan Kara mengobrol di kabin pesawat sambil menikmati minuman.     

"Terlalu dini untuk menilainya. Kau tahu kaumku tidak terburu-buru. Ned dan Portia saja berhubungan selama hampir 200 tahun baru memutuskan menikah," Caspar hanya mengangkat bahu. "Lagipula kenapa kau menjadi penasaran? Biasanya kau tidak begini."     

"Uhm... tidak apa-apa, aku hanya kepikiran."     

Finland mengakui memang orang-orang Alchemist sangat tidak terburu-buru dengan perkara menikah dan punya anak. Caspar adalah anomali di antara kaumnya. Finland sangat menyukai Kara dan ia berharap gadis itu mendapatkan kebahagiaan, dan menurutnya Kara dan Jadeith adalah pasangan yang sangat serasi.     

Mereka mendarat di Bandara Changi pada pagi hari dan segera menuju ke Hotel Continental untuk menaruh barang-barang dan beristirahat sejenak, lalu berangkat ke rumah duka. Pasangan Chan disemayamkan di sana selama beberapa hari sebelum dikremasi, agar teman-teman mereka dapat menyampaikan penghormatan terakhir dan menghibur anak mereka, Terry.     

"Selamat siang, Nyonya... Er... Tuan." Pengacara keluarga Chan tak dapat menyembunyikan kekagetannya saat melihat Finland dan Caspar di pintu masuk rumah duka. Wajah kedua orang ini tidak berbeda dengan sepuluh tahun lalu saat mereka bertemu pertama kali di rumah sakit, ketika Finland mendonorkan sumsum tulang belakangnya.     

"Selamat siang, Pak Li. Di mana Terry?" tanya Finland cepat. Pengacara Li segera mempersilakan rombongan kecil itu masuk ke dalam dan membawa mereka menemui seorang remaja laki-laki yang sedang termenung di kursi menatap dua buah peti yang ada di tengah ruangan.     

Pemandangan itu seketika membuat hati Finland tersentuh. Untuk sesaat ia teringat dirinya belasan tahun lalu yang menjadi sebatang kara setelah neneknya meninggal dunia dan ia tak punya satu pun kerabat lagi di dunia ini.     

Pelan-pelan ia melangkah mendekati Terry dan duduk di sampingnya.     

"Hallo, Terry... kau masih ingat kepadaku?" tanyanya dengan suara lembut keibuan.     

Terry menoleh dan wajahnya yang berduka tidak menampakkan ekspresi apa pun saat ia menggeleng, "Tidak ingat..."     

"Oh..." Finland menghela napas, "Namaku Finland, aku kenalan orang tuamu... Kami datang untuk menemanimu di sini..."     

"Terima kasih..." Terry mengangguk dan kembali menunduk, tidak berkata apa-apa lagi. Terlihat sekali ia habis menangis cukup lama dan kini air matanya sudah kering.     

Aleksis sudah melihat wajah Terry yang sangat mirip dengan Paman Jean dan seketika merasa kasihan pada anak laki-laki yang sedang berduka itu. Ia lalu duduk di samping Terry juga. Tangannya menepuk-nepuk bahu Terry dengan lembut.     

"Jangan sedih. Kau tidak sendirian di dunia ini.. Kami adalah keluargamu." kata gadis itu dengan suara bijak yang mengagetkan ayah dan ibunya.     

.     

.     

*Musim di Australia dan New Zealand terbalik dengan musim di Amerika dan Eropa karena letaknya yang berlawanan di bumi.     

Saat di NZ dan Australia musim semi, maka di Eropa dan Amerika justru sedang musim gugur.     

Saat di NZ dan Australia musim dingin, maka di Eropa dan Amerika justru sedang musim panas.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.