The Alchemists: Cinta Abadi

London



London

0Caspar adalah orang yang sangat efisien. Dalam waktu dua jam saja ia telah menyelesaikan semua urusannya dengan para anggota direksinya dan menyerahkan perkara selanjutnya kepada Stanis dan Kurt untuk mengontrol segala sesuatu setelah ia mengundurkan diri.     

Pukul 15.30 ia sudah membereskan barang-barangnya dan membawa Finland pulang, kali ini tidak perlu bertemu di basement tempat parkir secara diam-diam seperti biasanya. Ben yang sudah mendengar apa yang terjadi hanya tersenyum simpul saat melihat keduanya keluar dari ruangan Caspar.     

"Sini saya bawakan tas Tuan," katanya menawarkan diri. Ben membawa tas Caspar seperti biasa, sementara Caspar membawakan tas Finland dan menggandengnya keluar. Ia sudah berpamitan kepada direksinya, dan untuk orang dengan kedudukan setinggi dirinya ia tak perlu berpamitan kepada para staf di ruang tengah yang tidak bekerja langsung di bawahnya.     

Namun demikian ia menyempatkan diri mengangguk ke arah mereka saat lewat menuju lift. Mereka membalas anggukannya dan tersenyum senang melihat suasana hati sang tuan besar yang begitu bagus.     

Sepuluh menit kemudian keduanya sudah ada di mobil menuju mansion. Di perjalanan Finland menerima SMS dari Ruth dan beberapa teman kerjanya yang meminta maaf bila ada kata-kata maupun perbuatan mereka yang menyinggungnya selama mereka bekerja bersama.     

Ia mengakui bahwa mereka selama ini memperlakukannya dengan baik, hanya saja hormon kehamilannya yang menyebalkan membuatnya hari ini menjadi sensitif dan gampang tersinggung. Ia cepat-cepat membalas dengan mengatakan bahwa ia menyukai mereka dan senang bekerja bersama mereka. Lalu menuliskan ucapan selamat tinggal secara pribadi kepada masing-masing.     

Teman-teman kerjanya merasa sangat terharu karena Finland ternyata sama baiknya dengan tuan besar mereka, dan mereka menjadi lega karena ia sama sekali tidak menyimpan kekesalan terhadap mereka.     

Akhirnya Finland dan Caspar akan benar-benar mengundurkan diri dari pandangan dunia dan hidup tenang sambil menunggu anak mereka lahir.     

***     

Keluarga Schneider tidak membuang waktu lagi segera pulang ke Jerman setelah melakukan persiapan selama dua hari. Musim dingin hampir berakhir dan mereka melihat salju di Jerman sudah mulai mencair. Beberapa minggu lagi musim semi akan tiba dan Finland hanya bisa membayangkan betapa indahnya kastil mereka nanti dikelilingi hutan yang menghijau dan bunga-bunga yang bermekaran.     

Karena sudah bulan kelima, Caspar dan Finland sudah dapat mencari tahu jenis kelamin anak mereka, dan keduanya sangat senang karena, sesuai dengan harapan Caspar, anak kedua mereka ternyata laki-laki.     

Oh ya, seperti tipikal Caspar yang sering berlebihan, ia telah membeli mesin USG sendiri sehingga mereka bisa melihat hasil sonogram anak mereka kapan saja mereka inginkan.     

"Mau dikasih nama siapa?" tanya Finland saat mereka memandangi gambar layar mesin USG yang bergerak-gerak teratur seiring detak jantung anak mereka.     

"Hmm... anak kita yang pertama diberi nama sesuai nama ayahmu, bagaimana kalau yang kedua diberi nama sesuai nama ayahku?" tanya Caspar dengan suara serak. Finland tahu ia sangat dekat dan menyayangi orangtuanya, dan memberikan nama ayahnya bagi anak mereka merupakan tindakan yang sangat menunjukkan kasih sayang dan penghormatan terhadap orang tuanya.     

"Tentu saja, aku setuju," Finland menyentuh pipi Caspar dan tersenyum lembut, "Siapa nama ayahmu?"     

"Namanya London," jawab Caspar.     

"Kau tahu, aku dulu sering dibully orang karena namaku seperti nama sebuah negara..." kata Finland mengingatkan, "Apakah ini tindakan yang bijak, memberinya nama seperti sebuah kota?"     

"Kita lihat siapa yang berani membully anakku karena namanya," kata Caspar tegas, "Aku bahkan bisa membalas semua orang yang dulu membully-mu di sekolah kalau kau inginkan... Kau tinggal sebutkan namanya."     

Finland buru-buru mencium Caspar dan mengusap rambutnya, "Hmm.... tidak perlu. Aku sudah melupakan semua itu. Aku yakin tidak seorang pun akan berani mengganggu anak kita, walau kita beri dia nama paling aneh sekalipun...ahahaha..."     

Akhirnya mereka sepakat untuk menamai anak kedua mereka London, dari nama ayah Caspar.     

Finland masih menderita akibat hormon kehamilannya yang membuatnya menjadi sangat sensitif, gampang sakit, dan gampang kesal, maka demi kebaikan semua orang akhirnya Caspar merelakan Lauriel membawa Aleksis untuk bertualang bersamanya sementara Caspar mengurusi istrinya.     

Lauriel sangat senang dan ia segera membawa Aleksis ke salah satu tempat favoritnya di Karibia. Ia ingin mengajari Aleksis agar terbiasa dengan laut dan nanti saat anak itu besar bisa diajaknya berlayar dan menyelam, karena Lauriel sangat menyukai lautan.     

Dengan penuh pengertian ia menelepon orang tua anak itu setiap hari dan membiarkan mereka berbicara lewat video. Caspar hanya bisa geleng-geleng melihat setelah 3 bulan Aleksis sudah tampak seperti seorang bajak laut kecil dengan rambutnya yang berantakan dan kulitnya yang agak kecokelatan.     

"Aleksis, kau harus jago menyelam, ya... Paman menyembunyikan harta karun di bawah laut dan tempat itu hanya bisa dicapai oleh penyelam yang andal..." kata Lauriel sambil mengepang rambut Aleksis yang sudah semakin panjang. Mereka sedang duduk di sampan sambil menunggui pancingan mereka menangkap ikan. Lauriel sangat suka laut karena di sana ia tidak banyak melihat manusia.     

Di tempat seperti ini ia akan merasa sedang hidup di bumi yang luas dengan hanya hewan-hewan di laut dan burung-burung di angkasa, dikelilingi lautan tanpa batas berair biru jernih seperti permata berkilauan dengan langit biru cemerlang dihiasi awan-awan kecil berwarna putih yang berarak. Semuanya sempurna apalagi karena ada manusia kecil favoritnya duduk di sampingnya berceloteh tanpa henti tentang apa saja.     

Saat itulah Lauriel membuat keputusan ia tidak akan mengambil kematian.     

***     

Finland tiba-tiba terbangun pada pukul 3 dini hari karena kontraksi yang tiba-tiba dan perutnya terasa sakit sekali.     

Ia segera membangunkan Caspar yang tidur di sampingnya dan berbisik sambil menahan sakit. "Sepertinya aku akan melahirkan..."     

"Lho? Kok tiba-tiba? Sudah berapa jarak kontraksinya?" tanya Caspar yang langsung menjadi segar saat mendengar kata 'melahirkan'. Ia buru-buru bangun memakai kimononya dan menyalakan lampu.     

"Mana kutahu... aku tidak sempat menghitung," desis Finland kesal. Ia sedang sangat kesakitan, tak punya waktu menghitung jarak kontraksi yang seharusnya menjadi tugas Caspar.     

"Oh.. maaf, pertanyaan bodoh..." Caspar segera menelpon rumah sakit dan meminta dikirim helikopter medis untuk menjemput mereka. Kastil mereka terletak di daerah terpencil dan pasti akan membutuhkan waktu lama untuk ke rumah sakit besar, akan lebih praktis jika ia meminta dijemput oleh helikopter.     

Ia tak mau menerbangkan sendiri helikopternya ke rumah sakit karena perhatiannya pasti akan terbagi dan ia tak mau ambil risiko sedikit pun untuk istri dan anaknya.     

Tidak sampai 10 menit kemudian tim medis sudah datang dan seperti suami siaga yang seharusnya Caspar sudah menyiapkan barang-barang mereka. Kara dan Jadeith diberikan instruksi untuk mengikutinya dari belakang.     

Helipad di rumah sakit terbesar di Stuttgart pada dini hari itu didarati dua helikopter dan segera saja seluruh bagian sayap timur di lantai paling atas rumah sakit sudah dibuat steril dari pasien dan pengunjung lain agar klien VVIP tersebut bisa mendapatkan ketenangan saat menunggu kelahiran anak mereka.     

Finland sebenarnya merasa ini semua terlalu berlebihan untuk standarnya, tetapi karena sedang kesakitan ia tak bisa protes sama sekali. Ia biarkan saja Caspar melakukan apa pun yang diinginkannya.     

"Fuh fuh fuh...." Finland berusaha menenangkan pernapasannya dan membayangkan hal yang indah-indah untuk mengalihkan perhatiannya dari rasa sakit. Kamarnya di rumah sakit itu sangat besar dan mewah dan beberapa dokter serta perawat sudah siap sedia memeriksa keadaannya dan melakukan perawatan.     

"Sudah bukaan lima, untung langsung dibawa kemari," kata Dokter Muller, "Sebentar lagi anak Anda akan lahir..."     

"Cepat sekali..." seru Finland kaget. Ia ingat dulu saat melahirkan Aleksis, ia harus berjuang dari siang sampai tengah malam dengan rasa sakit yang seakan tidak ada habisnya. "Yang pertama lama sekali..."     

Dokter Muller tersenyum menenangkan, "Memang biasanya anak pertama paling berat kelahirannya, yang kedua tidak terlalu sulit karena jalan lahir sudah pernah terbuka. Tidak apa-apa... kita akan pantau, kalau kontraksinya sudah berlangsung setiap dua menit, pencet saja bel ini... Kita akan segera mengeluarkan bayinya."     

Caspar segera mengeluarkan ponselnya dan bersiap menghitung jarak kontraksi. Sebagai seorang dokter yang sudah berpengalaman puluhan tahun, ketenangannya sangat baik dan emosinya selalu terjaga. Ia duduk di tepi tempat tidur dan menggenggam tangan istrinya erat-erat, untuk memberi semangat.     

"Aku telepon Jean dan Lauriel ya? Mereka pasti ingin dikabari kalau kau akan melahirkan..." kata Caspar.     

Finland yang kontraksinya baru berakhir hanya mengangguk. Caspar mengambil ponsel Finland dari tas dan menelepon Jean. Untungnya jam 3 pagi di Jerman berarti jam 6 sore di Los Angeles, sehingga ia tidak perlu kuatir mengganggu tidur temannya, walau ia tahu bahwa jam berapa pun Jean ditelepon tentu ia tidak akan keberatan.     

"Hei... apa kabar?" tanya Jean di layar ponsel. Ia tampak sedang berada di tepi pantai dekat sebuah bianglala besar, kemungkinan di Santa Monica. "Bukannya di Jerman sedang subuh? Ada hal darurat apa? Astaga.. Apakah Finland akan melahirkan???"     

Jean bertanya dan menjawab sendiri pertanyaan-pertanyaannya. Wajahnya yang kaget seketika berubah gembira dan ia menoleh ke orang di sampingnya dan berseru dengan penuh semangat, "Finland akan melahirkan!"     

Billie Yves yang tampak sangat cantik dengan rambutnya yang kini berwarna platinum tampak sama gembiranya dengan Jean dan ikut berseru senang, "Wahh... keren sekali! Selamat ya... Kami akan segera datang menjenguk..."     

Jean dan Billie ingin bercakap-cakap lebih lama dengan Finland tetapi gadis itu kembali mengalami kontraksi dan mereka harus memutuskan panggilan telepon.     

"Oke... tadi sudah 4 menit..." kata Caspar sambil melirik timer di ponselnya. "Sebentar lagi..."     

"Te... telepon Lauriel juga..." bisik Finland sambil menahan sakit, "Aku mau bicara dengan Aleksis...."     

"Baiklah..." Caspar memencet nomor ponsel Lauriel dan setelah deringan ketiga panggilan teleponnya pun diangkat. "Lauriel... Finland sudah mau melahirkan."     

Wajah Lauriel yang biasanya tanpa ekspresi itu pelan-pelan diisi oleh senyuman. Ia ikut bahagia melihat sahabatnya kembali menjadi ayah dan kini berkesempatan mendampingi perempuan yang dicintainya saat melahirkan anak mereka.     

"Selamat... ini akan menjadi hadiah ulang tahun yang indah untukmu," kata Lauriel.     

"Ulang tahun? Memangnya ini tanggal berapa?" Caspar mengerutkan kening dan sesaat kemudian ia pun sadar bahwa sekarang sudah tanggal 7 Juli. Hari ulang tahunnya sendiri.     

Ia belum pernah merayakan ulang tahunnya bersama Finland sebelumnya, dan hari ini tidak saja menjadi istimewa karena menjadi kesempatan pertamanya merayakan ulang tahun bersama gadis ini, tetapi ia juga akan memperoleh hadiah yang sangat luar biasa, seorang anak laki-laki.     

London dan dirinya akan berbagi hari ulang tahun yang sama. Sungguh sempurna!     

Aleksis lalu muncul di layar dan orang tuanya yang sangat merindukannya segera mengajaknya bicara dan memberitahunya bahwa bocah itu akan segera memiliki seorang adik.     

"Asyiik!!!! Aku mau bertemu adik...!" seru Aleksis gembira.     

"Besok kita pulang ke Jerman, biar kamu bisa melihat adikmu," kata Lauriel sambil tersenyum.     

Mereka mengobrol selama satu menit dan kemudian Finland kembali mengalami kontraksi.     

"Sudah dua menit.. sudah waktunya." Caspar segera memencet bel dan dokter serta para perawat segera datang untuk menyiapkan kelahiran.     

Sebenarnya kelahiran yang kedua ini jauh lebih cepat dan mudah dibandingkan yang pertama, dan Finland sungguh merasa bersyukur ia tidak sampai mengumpat dan memaki-maki suaminya seperti yang dulu dilakukannya di San Francisco. Ia merasa Caspar tidak layak dimaki karena selama 4 bulan terakhir ia sudah sangat sabar mengurusinya yang benar-benar menjadi perempuan sensitif menyebalkan.     

Setelah setengah jam mengalami sakit dan berjuang mengejan, akhirnya bayi laki-laki keluarga Schneider pun terlahir sehat dan langsung menangis dengan suara yang sangat keras.     

"Heiii... dia mirip aku..." cetus Caspar tanpa dapat menahan diri. Ia sungguh bahagia melihat versi mini dirinya yang juga lahir di tanggal yang sama itu. Walaupun wajah bayi akan berubah seiring dengan pertumbuhan mereka, ia sangat percaya diri bahwa bayi berambut hitam itu benar-benar akan tetap mirip dengan dirinya.     

Finland yang sudah merasakan kelegaan setelah mendorong anaknya keluar sudah dapat tersenyum melihat ekspresi Caspar yang terlihat seperti orang sedang bermimpi itu. Ia dapat melihat betapa pria itu sangat bahagia.     

"Terima kasih..." Caspar buru-buru berlutut di kaki tempat tidur dan menggenggam tangan istrinya. "Aku tak dapat membayangkan hidupku tanpamu dan anak-anak kita."     

London yang sudah dibersihkan dan dibungkus kain segera diserahkan kepada ayahnya untuk digendong dan Caspar dengan terharu menggendong bayi mungil itu di dadanya. Wajahnya tampak tak percaya ia telah menyaksikan kelahiran seorang manusia yang merupakan darah dagingnya sendiri.     

Dokter segera membersihkan sang ibu dan menyiapkannya untuk dipindahkan ke ruangan lain untuk beristirahat.     

"Silakan ikut kami ke kamar untuk beristirahat," kata dokter kepada Caspar agar mengikuti para perawat yang mendorong tempat tidur Finland ke kamar peristirahatan. Pria itu dengan sigap sudah berjalan di samping tempat tidur sambil menggendong bayinya.     

***     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.