The Alchemists: Cinta Abadi

Sepasang mata ungu



Sepasang mata ungu

0Alaric sudah terbiasa bepergian ke tempat jauh dan jetlag tidak lagi mempengaruhinya. Ia tiba di Inggris saat hari masih pagi. Ia sempat beristirahat di kabin dalam pesawat pribadinya dan mendapatkan energi yang cukup untuk memulai aktivitas seolah tidak terjadi apa-apa.     

Di Singapura pasti sudah sore. Ia tak ingin menjadi terlalu sibuk dengan pekerjaannya dan melupakan untuk menghubungi Aleksis seperti janjinya, karena itu sebelum mendarat ia memutuskan mengirim SMS kepada gadis itu.     

[Hampir mendarat di London. Aku merindukanmu.]     

Isi pesannya singkat, tetapi ia sangat senang menulisnya. Rasanya aneh, untuk pertama kalinya dalam hidup ia secara terbuka menyatakan rindu kepada seseorang.     

Biasanya ia bepergian ke seluruh dunia tanpa merasa kehilangan, tidak merasa bahwa ia sedang bepergian meninggalkan rumah. Biasa saja. Rumahnya adalah di mana pun ia sedang berada. Paling sering, rumahnya itu adalah pesawat pribadinya atau mobilnya.     

Tetapi kini, ia merasa seolah sedang melakukan perjalanan yang sebenarnya, dengan pergi ke suatu tempat, meninggalkan rumahnya di Singapura.     

Hmm... sebenarnya walaupun ia sangat menyukai mansion-nya di Bukit Timah, ia tidak memiliki keterikatan dengan tempat itu. Tetapi kini ia meninggalkan Singapura dengan perasaan seolah ia meninggalkan rumah...     

Apakah ini yang orang maksud dengan perkataan, "A home is not a place, but a person?"     

Rumah bukanlah bangunannya, tetapi orang yang ada di dalamnya.     

Pemikiran ini membuat Alaric tersenyum tipis. Pada diri Aleksis ia merasa menemukan rumahnya.     

Balasan yang ditunggunya segera tiba, dan tanpa sadar membuat bibirnya tersenyum simpul.     

[Aku juga merindukanmu. Jaga diri baik-baik.] isi balasan Aleksis.     

Mereka baru berpisah seharian tetapi ia sudah merindukan gadis itu.     

Hmm... semoga urusan dengan Group Meier segera selesai agar ia bisa segera pulang.     

***     

Alaric tinggal di penthouse yang disiapkan stafnya selama ia berada di London. Hanya ada dirinya, Pavel dan beberapa staf lain yang tinggal di sana sambil mengurusi pekerjaan.     

Alaric sangat suka bekerja, karena hal itu membuatnya sibuk dan tidak terlalu memikirkan hal-hal yang tidak penting. Apalagi kini proyek yang menjadi tujuan hidupnya tampak semakin matang dan akan segera terwujud. Ia semakin bersemangat menyelesaikannya.     

"Tuan mau mempercepat pertemuan dengan CEO Group Meier?!" tanya Pavel keheranan, saat mereka baru memasuki penthouse dan bahkan belum sempat beristirahat. "Tuan tidak lelah?"     

Alaric menggeleng. "Aku ingin urusan kita di Inggris cepat selesai. Aku ingin segera kembali ke Singapura."     

Pavel menatap Alaric dengan pandangan penuh pengertian. Ia tahu majikannya ini sungguh sedang jatuh cinta. Biasanya Alaric tidak pernah terburu-buru, apalagi terlihat ingin segera pulang ke suatu tempat. Tetapi sejak beberapa hari terakhir ini sikapnya memang tampak berbeda dari biasanya.     

Mungkinkah ini karena gadis bermata biru hijau itu? pikir Pavel.     

Ia tidak begitu menyukai Aleksis pada mulanya, karena pertemuan pertama mereka tidak berjalan baik, tetapi ia bisa memahami kalau tuannya memang sekarang menjalin hubungan dengan gadis itu.     

Ia dapat mulai menghormati Aleksis sebagai calon istri tuannya.. atau malah mereka sudah menikah? Ia mendengar selentingan dari seorang pengawal Alaric bahwa tadi malam tuannya itu sudah menikah.     

Sebagai anak buah yang telah setia mengikuti Alaric selama hampir separuh hidupnya, ia hanya ingin melihat Alaric bahagia.     

"Baiklah, Tuan. Saya akan segera menghubungi kantor pusat mereka dan mengatur ulang jadwal secepatnya."     

Alaric hanya ingin segera menuntaskan urusannya dengan Group Meier, agar ia dapat pulang ke Singapura untuk kembali ke pelukan Aleksis.     

Ia melepaskan topengnya dan membasuh wajahnya dengan air bersih, rasanya segar sekali. Ia memejamkan mata menikmati basuhan air di kulitnya dan memikirkan kapan waktu yang tepat baginya untuk membuka jati dirinya kepada Aleksis.     

Mungkin lebih cepat lebih baik.     

Ia tak sabar menunjukkan wajahnya kepada gadis itu.     

Alaric membuka matanya dan menatap pantulan wajahnya di cermin kamar mandi. Ia sedikit terkejut melihat warna matanya yang keunguan kini tampak begitu cemerlang. Ia tidak ingat warna matanya pernah terlihat begini terang.     

Selama hampir 100 tahun hidupnya, ia sering mengalami keanehan dengan rambutnya yang terlalu cepat panjang dan kadang berubah warna. Tetapi warna matanya tidak pernah terlihat seperti ini. Ia memang memiliki warna mata yang tidak biasa, biru keunguan, tetapi dulu tidak terlalu menarik perhatian.     

Apa yang terjadi sekarang?     

Ia kini menatap wajah yang hampir tidak dikenalnya. Garis-garis wajahnya dan rambutnya masih sama, tetapi sepasang matanya tampak sangat berbeda, memberi kesan yang sama sekali jauh dari dirinya tadi pagi.     

Ia menyipitkan mata, mencoba mengamati sepasang mata ungu cemerlang yang menatapnya balik dari cermin, seolah ia adalah orang asing terhadap dirinya sendiri.     

Siapa aku sebenarnya? Apakah aku ini mutan? Kenapa aku tidak mengenali tubuhku sendiri??? pikirnya resah.     

Ia hanya bisa menghela napas. Selama belasan tahun ini, ia telah menjadikan dirinya bahan penelitian para ilmuwannya sendiri, agar ia dapat memperoleh jawaban.     

Apa yang terjadi dengan dirinya? Kenapa ia tidak menua? Kenapa ia memiliki tubuh dan sel-sel yang sempurna? Kenapa ia harus menjalani hidup berbeda dari manusia lainnya?     

Apakah ada orang lain yang sepertinya? Ataukah dia memang sendirian di dunia ini?     

Pavel mengetuk pintu kamar Alaric dan setelah dipersilakan masuk, ia segera datang membawa laporan.     

"Kebetulan sekali, CEO Group Meier sedang makan malam di restoran dekat hotel ini. Ia dengan senang hati ingin mampir dan berkenalan secara informal sebelum rapat di kantornya besok pagi."     

"Hmm..." Alaric belum pernah bertemu CEO Group Meier yang sekarang. 21 tahun yang lalu ia pernah dikontrak oleh CEO Group Meier yang masih muda, bernama Alexei Meier, tetapi waktu itu Alaric belum mendirikan Rhionen Industries.     

Ia dikontrak untuk membunuh seseorang, bersama tim-nya di Rhionen Assassins. Kontrak itu kemudian dibatalkan setahun kemudian, dan ia tidak pernah mendengar lagi kabar Alexei. Ia mengetahui Group Meier adalah bisnis keluarga, maka kemungkinan CEO yang baru ini adalah adik atau anak Alexei.     

Hmm.. CEO Goup Meier ini bisa dibilang sama misteriusnya dengan dirinya sendiri. Ia memimpin bisnis keluarganya dari balik layar dan hampir tak pernah keluar ke permukaan.     

Kesempatan untuk langsung bertemu dengannnya secepat ini adalah suatu peluang yang mungkin tidak akan bisa didapatkan sembarangan orang dengan mudah. Alaric merasa ia harus bertemu dengan orang ini.     

Bagaimanapun, mereka ada di pihak yang sama.     

"Baiklah, aku makan malam dulu di sini," kata Alaric. "Nanti kami bisa bertemu untuk ngobrol-ngobrol sedikit sambil minum wine."     

"Baiklah, Tuan."     

Alaric makan malam dan beristirahat sebentar sambil menunggu kedatangan tamunya. Pukul 9 lebih sedikit, ia memutuskan hendak menelepon Aleksis. Ia merindukan suara gadis itu.     

TUT     

TUT     

TUT     

Hingga belasan deringan, tidak diangkat.     

Ah, ia menepuk keningnya sendiri, menyadari kesalahannya. Sekarang pasti sudah hampir pagi di Singapura. Ia sungguh tidak pengertian. Saking rindunya mendengar suara Aleksis, ia tidak ingat bahwa Inggris berada 8 jam di belakang Singapura.     

Baiklah. Ia akan menelepon Aleksis lagi besok pagi, saat di Singapura sudah sore.     

"Tuan, Nona Sophia Meier sudah tiba," kata Pavel yang masuk ke ruang kerjanya, menggugah lamunan Alaric.     

Alaric mengangguk dan melambai, "Persilakan dia masuk."     

Dua menit kemudian pintu terbuka dan masuklah seorang gadis yang sangat cantik dengan tubuh indah bagaikan dipahat dewa-dewa, ia hampir secantik Aleksis.     

Alaric tertegun melihat kedatangan CEO Group Meier ini.     

Ia tidak mengira sang CEO adalah seorang gadis yang masih sangat muda. Namun yang paling membuatnya terkejut bukanlah kecantikan Sophia... melainkan sepasang matanya yang berwarna ungu cemerlang, indah sekali.     

Mengingatkannya akan sepasang mata ungu cemerlang yang tadi menatapnya balik dari cermin di kamar mandi.     

Ia tidak melihat ponselnya bergetar dengan nama Aleksis muncul di layar. Rupanya istrinya terbangun dan menelepon balik.     

Tubuh Alaric terpaku di tempat saat Sophia datang menghampirinya dengan senyum terkembang dan mengulurkan tangannya mengajak bersalaman,     

"Selamat malam, Tuan Rhionen," sapa gadis itu dengan suara semerdu hujan.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.