The Alchemists: Cinta Abadi

Keributan di kafetaria



Keributan di kafetaria

Dosen mata kuliah kedua ini datang dan Aleksis segera mengerti kenapa sangat sedikit mahasiswa yang hadir. Beliau adalah seorang laki-laki berumur 40'an bertampang serius yang sama sekali tidak menarik. Bicaranya sangat cepat dan sukar dimengerti.     

Untunglah Aleksis adalah gadis yang sangat pintar. Ia telah belajar dari para pakar terbaik di dunia dan semua yang dipelajari di kampus sekarang adalah hal-hal yang telah ia dengar langsung dari para pencipta teorinya.     

Aleksis membuka-buka modul Sistem Manajemen Informasi tulisan Prof. Hedwig dan tersenyum sendiri. Ia ingat bertemu Prof. Hedwig 3 bulan lalu di London dan mengikuti kelas privat di rumahnya selama tiga hari. Hmm.. gadis itu sudah hapal isi bukunya di luar kepala.     

"Hei... namaku Aleksis, siapa nama kalian?" tanyanya kepada ketiga mahasiswa kutu buku di depannya. Ketiga mahasiswa itu, dua laki-laki dan satu perempuan tampak keheranan. Mereka baru menyadari bahwa Aleksis adalah mahasiswa baru karena mereka tak pernah melihatnya di kelas, di aula saat orientasi maupun ujian selama setahun sebelumnya. Aleksis buru-buru memperkenalkan diri. "Iya... seperti dugaan kalian, aku ini murid baru."     

"Oh... namaku Dave, ini Kris, dan itu Mel..." kata pemuda yang berkaca mata dengan pipi berjerawat. Dave yang berambut keriting mengangguk, dan gadis berkawat gigi yang dipanggil Mel juga mengangguk.     

"Oh.. aku ingat, tadi kau ada di kuliah umum Kak Nicolae..." kata Mel kemudian. "Kenapa pindah mendadak di tengah semester begini?"     

"Yah... begitulah... panjang kalau diceritakan." Aleksis sangat senang karena ketiga teman sekelasnya ini tampak ramah, tidak seperti gadis-gadis di auditorium tadi.     

Mereka berhenti berbisik-bisik ketika dosen mendehem dan menegur mereka. Keempat mahasiswa itu tidak dapat berkutik karena kelas sangat kosong dan mereka tidak bisa ngobrol diam-diam.     

Ternyata Dave, Kris dan Mel adalah mahasiswa yang tidak dapat belajar menggunakan modul jarak jauh, mereka tipe siswa yang harus mengikuti kelas langsung agar dapat paham apa yang diajarkan. Aleksis tidak mengalami kesulitan belajar dengan metode apa pun, tetapi ia lebih suka datang ke kelas agar bertemu teman baru.     

Setelah kelas kedua selesai, Aleksis segera berpamitan kepada teman-teman barunya untuk menuju ke kafetaria. Dave, Kris, dan Mel menawarkan diri untuk ikut serta karena mereka juga ingin makan siang.     

"Uhmm.... baiklah kalau begitu... ayo kita makan siang sama-sama..." Aleksis tidak bisa menolak karena ketiga orang ini sangat ramah kepadanya.     

Ia lalu mengirim pesan kepada Takeshi.     

[Aku makan siang dengan teman sekelasku. Kalian sudah di kafetaria? Apa kalian bisa mengenaliku?]     

[Kami sudah di kafetaria.]     

Hmm... baiklah. Aleksis memutuskan membiarkan Takeshi yang mengatur pertemuan mereka. Seharusnya sebagai pengawalnya mereka memang membiarkannya hidup seperti mahasiswa normal tanpa menarik perhatian. Jangan hanya karena menemui mereka ia lalu harus menghindari makan bersama teman sekelasnya.     

Keempat mahasiswa berpenampilan sangat tidak menarik itu masuk ke dalam kafetaria yang sedang penuh orang.     

Aleksis sangat senang melihat ada sebuah meja kosong di tengah ruangan dan buru-buru menaruh tasnya di sana. Ia heran karena di tengah jam makan siang yang begini ramai ternyata masih ada meja yang kosong.     

Begitu ia menaruh tasnya di meja itu, seketika suasana kafetaria menjadi sunyi. Mel tampak kaget dan ketakutan melihat Aleksis, sehingga membuat gadis itu mengerutkan kening keheranan.     

"Astaga.. jangan taruh tasmu di meja itu!! Itu meja geng-nya Verona... Tidak boleh ada yang duduk di meja ituu..." bisik Mel ketakutan. "Kau mahasiswa baru, jadi tidak tahu... Ayo cepat kita pergi dari sini sebelum ada yang melaporkannya...."     

Aleksis mengerutkan kening tambah keheranan.     

"Verona? Siapa itu? Memangnya di meja ini ada namanya?" tanya Aleksis cuek.     

Mel menghela napas, ia menunjuk sudut meja dan membacakan tulisan kecil yang ada di sana, "VE-RO-NA... Ada namanya di meja ini. Ayahnya menyumbang uang banyak untuk beberapa gedung kampus kita dan bisa dibilang dia itu seperti tuan putri di kampus kita."     

Ayahku bisa membeli seluruh universitas ini kalau aku mau, pikir Aleksis gemas.     

Ia sama sekali tidak terkesan dengan yang namanya Verona ini. Dengan keras kepala ia membiarkan tasnya di meja itu lalu mengantri di depan konter makanan dan membeli makan siang.     

Mel hanya bisa berdiri menggigil di tempatnya melihat kelakuan Aleksis. Dave dan Kris pun tampak salah tingkah, tidak tahu harus berbuat apa. Para mahasiswa lain yang ada di kafetaria juga berdiri tegang mengawasi Aleksis dan menunggu sesuatu terjadi.     

Aleksis dengan cuek membawa baki makanannya ke meja tadi dan mulai duduk menikmati makan siangnya seolah tidak ada apa-apa.     

Duh... kok kebanyakan mahasiswa di kampus umum sikapnya norak begini, pikirnya sebal.     

Baru saja ia makan beberapa suap, tiba-tiba masuklah lima orang gadis cantik berpenampilan modis dengan pakaian bermerek sangat mahal. Di antara kelimanya, seorang gadis berambut ikal panjang indah dengan highlight merah muda yang berjalan paling angkuh, terlihat seperti ratu lebah di antara mereka.     

Kelima gadis ini tampak terkejut melihat ada seorang gadis bertampang kuno dan kutu buku duduk santai di meja mereka sambil menikmati makan siangnya.     

"Heh...! Berani-beraninya kau duduk di mejaku!" seru si ratu lebah dengan nada marah. Ia menoleh ke sebelahnya dan salah satu dayang-dayangnya dengan cepat datang menghampiri Aleksis dan menggebrak mejanya.     

"Kau pasti orang baru di sini. Verona sudah duduk di meja itu selama dua tahun," kata si dayang dengan judes.     

"Setahuku meja di kafetaria ini adalah milik kampus, bukan milik perorangan. Kenapa orang lain tidak boleh duduk di sini?" tanya Aleksis sebal. "Lihat, di sini ada beberapa kursi lagi, kalau kalian lapar, duduk dan makanlah. Aku tidak keberatan berbagi meja kok."     

Kelima gadis itu saling pandang, lalu tertawa keras-keras.     

"Hmm.. rupanya kau belum tahu siapa aku..." komentar Verona dengan sinis. Ia memberi tanda dan keempat gadis pengiringnya segera memegangi Aleksis dan menyeretnya berdiri. Verona mengambil minuman soda dari meja dan hendak menyiramkannya kepada Aleksis ketika tiba-tiba Mel datang dan berdiri di depan Aleksis.     

"Maafkan teman sekelasku, Kak Verona... Dia mahasiswa baru, tidak tahu apa-apa..." Wajahnya tampak ketakutan tetapi ia mencoba bersikap berani. Sungguh Aleksis merasa terharu karena Mel yang baru dikenalnya begitu berani membelanya.     

"Hmm... jadi dia temanmu? Pantas saja... orang culun bergaulnya dengan orang culun." komentar Verona sambil menyeringai mengejek. "Suasana hatiku sedang bagus. Kalau kalian berdua berlutut minta maaf sekarang, aku akan melupakan kejadian ini. Kalau tidak, besok kalian berdua akan dikeluarkan dari kampus."     

Mel tampak pucat. Ia buru-buru menjatuhkan diri dan berlutut di depan Verona. Ia adalah mahasiswa beasiswa dan tak ingin sampai dikeluarkan.     

Aleksis tercengang melihat peristiwa yang terjadi di depannya. Ia tak menyangka pergaulan di kampus bisa begini norak. Ia tidak takut akan ancaman Verona.     

Seperti yang ia pikirkan, Caspar bisa membeli seisi kampus ini dengan mudah jika ia minta. Tidak seorang pun akan dapat mengeluarkan Aleksis dari Universitas St. Mary.     

"Mel... bangunlah... Kau tidak bersalah. Mereka ini adalah bully yang menggunakan kekuasaan orang tuanya untuk menindas orang lain. Tidak boleh dibiarkan..."     

Aleksis buru-buru bersimpuh untuk membangunkan Mel, tetapi Verona sudah lebih dulu memukul pipinya dengan sangat keras. Aleksis yang tidak menyangka akan diperlakukan begitu tidak mempersiapkan diri menangkis, dan tanpa dapat ditahan tubuhnya lalu terhuyung jatuh ke samping.     

Ia hampir membentur meja dengan keras ketika dalam hitungan sepersekian detik seseorang telah melompat dan menangkap tubuhnya.     

Tubuh Aleksis tidak membentur meja yang keras melainkan sebentuk dada bidang dari pemuda tinggi besar berpakaian kemeja abu-abu yang lengannya digulung hingga siku. Pemuda itu cepat melindunginya dan tubuhnyalah yang membentur meja sambil memeluk Aleksis.     

"Ugh..." terdengar keluhan pendek dari pemuda itu saat pinggangnya menghantam meja. Ia cepat menyeimbangkan dirinya dan memastikan Aleksis baik-baik saja. "Kau tidak apa-apa?"     

Ia melepaskan Aleksis dari pelukannya dan menyentuh pipi Aleksis yang memerah karena pukulan Verona barusan.     

Aleksis terpaku menatap wajah Nicolae yang berada sangat dekat dari wajahnya dan tidak mampu berkata apa-apa.     

Suasana di kafetaria segera menjadi riuh.     

"Ka... Kak Nicolae... kenapa kau melindungi dia?!" protes Verona dengan wajah sangat marah. "Dia sengaja menantangku dan mencari masalah, padahal aku lebih senior darinya. Aku tadi hanya memberinya pelajaran agar menghormati senior. Dia itu mahasiswa baru tingkat dua, tapi sikapnya kepada senior sangat tidak sopan."     

Nicolae tidak mempedulikan Verona sama sekali. Ia mengulangi pertanyaannya kepada Aleksis.     

"Kau tidak apa-apa? Pipimu sakit?"     

Aleksis menggeleng pelan. "Te... terima kasih..."     

Ia melepaskan diri dari Nicolae yang tadi masih menyentuh pipinya dengan penuh perhatian.     

Mereka kan baru 4 kali bertemu, tetapi sikap Nicolae kepadanya terlalu penuh perhatian. Aleksis merasa tidak nyaman, apalagi mengingat pemuda ini adalah salah satu dari CALON SUAMI IDAMAN para gadis di kampus yang membuatnya tadi pagi dibully di kelas kuliah umum. Ugh...     

Tadinya Aleksis sudah berniat mengerjai gadis-gadis itu dengan menempelkan dirinya kepada Terry dan membuat mereka cemburu, tetapi itu karena Terry adalah kakaknya sendiri. Ia tak mau sampai terlibat dengan Nicolae dan menambah masalah.     

"Kalau kau mau makan siang, ada meja yang lebih bagus..." kata Nicolae sambil tersenyum lebar. Ia mengambil baki makanan Aleksis dari meja Verona lalu menarik tangan Aleksis dan membawanya ke sebuah meja di bagian sudut. "Aku makan di sini. Kau bisa pakai mejaku kapan saja..."     

Apa-apaan Nicolae ini? pikir Aleksis bingung. Sejak dari kelas tadi pagi Nicolae bersikap terlalu ramah kepadanya, seolah mereka sudah saling kenal.     

Mereka BELUM PERNAH berkenalan resmi, yang pertama ia menggoda Aleksis makan lalat, lalu Aleksis salah memeluknya dari belakang mengira ia Pangeran Siegfried, lalu bertemu di lift Gedung Continental, dan akhirnya di kelas kuliah umum tadi pagi.     

Mereka sama sekali bukan teman. Mengapa ia dengan begitu baiknya mengizinkan Aleksis makan di mejanya?     

"Mejamu? Bukankah semua meja di kampus ini adalah milik universitas? Kenapa kalian mengklaim meja segala sih? Apakah kalian membeli sendiri mejanya dan dibawa kemari?" tanya Aleksis ketus. "Kalau iya, besok aku juga mau bawa mejaku sendiri."     

Nicolae tertawa mendengar kata-kata Aleksis. "Kami tidak membawa sendiri meja ke sini, tetapi kalau kalian sudah menjadi senior di kampus, ada beberapa kelebihan yang bisa kalian peroleh, di antaranya meja favorit kalian tidak akan diganggu orang lain. Selama satu tahun terakhir, tidak ada yang menggunakan meja ini karena mereka menghormatiku. Itu saja."     

Aleksis hendak membantah, tetapi saat ia menoleh ke arah Verona dan melihat gadis itu serta keempat dayangnya tampak sangat murka, tetapi tak dapat berkata apa-apa, ia menjadi lega.     

Hmm... biar sekalian mereka marah, pikirnya.     

Aleksis akhirnya duduk di meja Nicolae, mengambil kursi di hadapannya dan mulai melanjutkan makanannya. Nicolae mengamatinya untuk beberapa saat lalu tersenyum lebar dan ikut makan.     

Verona dan teman-temannya hanya bisa melihat mereka berdua dari jauh dengan wajah kesal. Orang-orang di kafetaria juga berkasak-kusuk melihat peristiwa itu dan segera saja di grup media sosial Splitz Universitas St. Mary segera beredar gosip tentang apa yang baru saja terjadi di kafetaria.     

Setelah selesai makan, Aleksis mengangkat wajahnya dan memperhatikan Nicolae. Pemuda ini membuatnya penasaran.     

Ia memang sangat rupawan dan wajar sekali bila memiliki banyak penggemar, tetapi Aleksis tidak menduga ia juga pintar dan menjadi asisten dosen di semester ini, dan barusan, ia terbukti memiliki hati yang baik karena menolong Aleksis dari bully-an Verona dan teman-temannya, walaupun penampilan Aleksis tidak cantik seperti biasanya. Ini menunjukkan Nicolae tidak menilai orang dari penampilan luar.     

"Kenapa kau menolongku tadi?" tanya Aleksis dengan pandangan menyelidik.     

"Hmm..." Nicolae menghentikan makannya dan meneguk air sodanya, lalu balas menatap Aleksis dengan pandangan mata penuh perhatian. "Aku tidak tahu. Entah kenapa rasanya kita selalu selisih jalan. Menurutku kau orang yang menarik. Aku hanya penasaran..."     

"Penasaran?"     

"Kau sengaja menutupi kecantikanmu dengan dandanan dan pakaian yang sangat kuno dan tidak menarik... Aku heran kenapa ada orang yang sengaja tampil jelek di muka umum. Semua perempuan yang kutahu, selalu ingin terlihat cantik, tetapi kau malah sebaliknya. Ini sudah membuatku penasaran sejak hari Jumat yang lalu. Kalau penasaran aku sering tidak bisa tidur." Nicolae mengaku.     

"Astaga... hanya karena penasaran?" Aleksis geleng-geleng kepala. Ia lalu menatap Nicolae lekat-lekat. Sekilas perawakan pemuda ini mirip Alaric, bahkan rambutnya juga mirip.     

Ah, seandainya ia bisa melihat wajah Alaric, tentu ia akan dapat membandingkan dengan lebih baik.     

"Iya, penasaran. Kau mau memberitahuku apa tujuanmu masuk ke kampus ini dan menyamar sedemikian rupa?" tanya Nicolae blak-blakan.     

"Uhm..." Aleksis tidak menyiapkan alasan, karena ia sama sekali tidak menduga ada yang mencurigai penyamarannya di hari pertama kuliah. Ia hanya bisa menepuk keningnya sendiri.     

"Ya?" Nicolae masih menunggu Aleksis menjawab.     

"Baiklah..." Aleksis merasa jawaban yang jujur adalah pilihan terbaiknya saat ini. "Aku tidak punya teman karena dari dulu aku selalu sekolah dengan guru pribadi. Aku ke sini karena ingin punya teman perempuan... tapi aku tidak menyangka gadis-gadis di kampus ini serba norak."     

"Kenapa harus berpenampilan menjelekkan diri?" tanya Nicolae tidak mengerti.     

Aleksis menarik napas panjang. "Selera fashion-ku memang jelek. Puas?"     

Nicolae menyipitkan matanya dan mempelajari wajah Aleksis, "Menurutku kau merahasiakan sesuatu. Aku yakin di balik penyamaranmu, kau ini cantik sekali."     

Ucapan blak-blakan dari seorang pemuda yang begitu tampan, memuji kecantikannya padahal Aleksis sedang berpenampilan jelek, mau tak mau membuat hati Aleksis tergetar. Untuk sesaat ia tak dapat berkata apa-apa.     

Keduanya saling tatap dan saling menilai tanpa bersuara.     

Tiba-tiba perhatian Aleksis dan Nicolae teralihkan ketika mendengar suara jeritan dari arah meja Verona dan teman-temannya. Rupanya Verona hendak berjalan ke arah kantin ketika tiba-tiba ia tergelincir dan jatuh menghantam lantai dengan sangat keras. Pakaiannya sobek dan ia menjerit-jerit minta tolong kepada dayang-dayangnya.     

Suasana heboh sekali saat semua orang berusaha membantunya berdiri dan menutupi pakaiannya yang sobek.     

[Maaf, Nona, tempat ini terlalu ramai. Kita bertemu di asrama saja nanti sore. Aku sudah membalas perbuatan gadis tadi terhadap Nona. Maaf, tadi kami kalah cepat menolongmu.]     

Tiba-tiba masuk SMS dari Takeshi, dan seketika Aleksis sadar bahwa jatuhnya Verona tadi adalah ulah pengawal barunya.     

Ha. Rasakan itu, gadis jahat! pikirnya gemas.     

[Baiklah, sampai jumpa nanti di asrama.]     

Aleksis celingak-celinguk mencoba mencari sosok Takeshi atau Mischa tetapi tidak dapat menemukan orang yang dicarinya.     

Berarti dari tadi mereka sudah melihat apa yang terjadi. Tadi mereka juga berniat menolongnya tetapi Nicolae lebih cepat.     

Hmm... Aleksis baru sadar, kemungkinan mereka juga akan menyampaikan kepada Alaric bahwa ia tadi diselamatkan oleh seorang pemuda yang sangat tampan dan sekarang mereka makan siang bersama.     

Ia menjadi penasaran kira-kira bagaimana tanggapan Alaric saat mengetahui hal itu...     

Apakah Alaric akan cemburu?     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.