The Alchemists: Cinta Abadi

Ibu dan Ayah



Ibu dan Ayah

0Mobil yang membawa Alaric dan Sophia tiba di depan sebuah kastil yang sangat megah dan indah. Alaric hanya bisa bertanya-tanya dalam hati siapa gerangan orang yang akan mereka temui.     

Ia sudah mendengar nama Ned dan Portia dari Sophia, tetapi walaupun ia mencari informasi lewat semua sumber data yang dapat diaksesnya, ia tetap tak dapat mengetahui siapa kedua orang tersebut.     

Mobil masuk ke dalam pekarangan kastil dan berhenti di depan pintu masuk.     

"Kita sudah ditunggu," bisik Sophia sambil beranjak keluar mobil. Alaric memperhatikan sekelilingnya dan mengagumi lingkungan kastil tersebut. Ini pasti milik keluarga yang sangat berpengaruh dan kaya, tetapi herannya ia tak dapat mengetahui siapa mereka.     

Saat keduanya menginjakkan kaki di lahan kastil, seorang butler* berpenampilan aristokrat menyambut mereka di depan pintu dan dengan penuh hormat membawa mereka masuk ke dalam.     

Alaric sendiri memiliki kekayaan yang sangat besar, tetapi kemegahan kastil ini tetap mampu membuatnya terkesima. Sangat banyak sejarah yang tersimpan di dalamnya dari hiasan dan penataannya yang terlihat sangat tua.     

Ada berbagai lukisan yang tampak hidup dari orang-orang zaman dulu menghiasi berbagai dinding dan lorong kastil. Ia merasa seolah masuk ke lorong waktu dan tiba di masa lalu.     

"Kita sudah tiba," kata Sophia. Mereka berhenti di depan sebuah pintu kayu besar. Butler membuka pintu itu dan mempersilakan mereka masuk.     

Ruangan itu sangat megah dan berisi kursi-kursi bersalut emas dan perabotan yang tampak mewah sekali. Alaric merasa seolah ia ada di ruang duduk seorang raja. Di tengah ruangan ada sebuah kursi besar yang megah dan di sana duduk sepasang lelaki dan perempuan muda yang sangat menarik perhatian.     

Yang lelaki memiliki rambut pendek kemerahan dan wajah yang sangat tampan, sementara yang perempuan memiliki rambut panjang sekali dengan warna keunguan yang indah. Alaric belum pernah melihat perempuan secantik ini sebelumnya. Perempuan itu mengingatkannya akan ratu peri.     

"Selamat datang, Sophia." Portia bangkit dan memeluk keponakannya dengan hangat. "Kabarmu baik?"     

Sophia menahan pelukan Portia agak lama, berusaha menahan dirinya agar tidak menjadi emosional. "Uhmm... aku mencoba bertahan, tapi kau tahu, hidup sendirian itu sangat berat. Aku masih sering merindukan kakakku..."     

Portia terdiam. Wajah Ned juga tampak mengeras karena berusaha menahan marah. Alexei adalah temannya dan mereka masih memiliki hubungan keluarga. 17 tahun yang lalu tiba-tiba mereka mendapat kabar dari Sophia bahwa Alexei dihukum oleh Caspar dan Lauriel dengan kematian dan obat penghilang ingatan. Dan kemudian ia dibuang begitu saja keluar dari klan.     

Sejak saat itu Ned dan Portia hanya bisa memendam kemarahan karena kehilangan teman dan keponakan dengan cara demikian. Sebagai anggota Dewan Kehormatan lima keluarga, mereka merasa tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan sedemikian penting.     

"Kau tahu kami juga merasa marah," kata Ned sambil mengatupkan rahangnya menahan marah. Ia membuang muka agar tidak terlihat menjadi emosional di depan tamunya yang baru datang ini.     

Portia lalu melepaskan rangkulannya dari Sophia dan menoleh ke arah Alaric.     

"Lalu ini...?" Portia tertegun menatap wajah pemuda itu, lalu menoleh ke arah Sophia bergantian. "Si... siapa dia?"     

Dadanya seketika terasa sesak karena wajah Alaric membawa banyak kenangan baginya. Ia menekap bibirnya saat melihat dengan jelas wajah pemuda itu dari dekat. Wajah itu mirip sekali dengan wajah seseorang yang disayanginya dan kini telah tiada.     

"Ini Alaric, Putri Portia... Ia adalah seorang Alchemist yang tidak mengetahui asal-usulnya." Sophia menggenggam tangan Alaric dan membawanya mendekat ke arah Portia yang kemudian tanpa sadar mengangkat tangannya untuk menyentuh pipi Alaric. "Ia lahir di Rumania pada akhir perang dunia 2 dulu... Ibunya meninggal saat melahirkannya..."     

Tanpa terasa butir-butir air mata turun ke pipi Portia saat ia mengusap pipi Alaric. Ia tak perlu meminta penjelasan dan bukti... dalam hatinya ia langsung mengetahui bahwa pemuda ini adalah anak dari sepupunya yang tersayang, Putri Luna.     

Sepasang mata ungu yang cermerlang itu, dan garis-garis wajah Alaric yang halus seperti perempuan, mirip sekali dengan ibunya.     

"Kau... kau anak Luna?" bisiknya dengan suara parau. Ned tampak terkejut melihat apa yang terjadi. Ia berjalan mendekat dan menghampiri keduanya. Ia lalu menatap wajah Alaric baik-baik.     

"Luna... bukannya meninggal sebelum melahirkan?" tanyanya keheranan.     

Sophia menggeleng, "Putri Luna menghilang dari mansion saat terjadi serangan sekutu. Kami berhasil menemukan jejaknya sampai Rumania tetapi kemudian kami tidak tahu bagaimana nasibnya. Tadinya kami mengira ia meninggal bersama anak dalam kandungannya... Tetapi rupanya ia sempat melahirkan sebelum akhirnya meninggal..."     

Sebelum kata-katanya selesai, Portia telah memeluk Alaric erat sekali. Tangisnya terdengar sangat sedih saat ia mengusap-usap punggung pemuda itu dengan penuh kasih sayang.     

"Anak Luna masih hidup... Oh Tuhan... anakmu masih hidup, Luna... Aku bahagia sekali..." tangis Portia tanpa henti.     

Alaric merasa canggung, karena ia sama sekali tak menyangka Portia akan memeluknya begitu erat dan penuh kasih. Walaupun secara fisik perempuan itu terlihat seusia dengannya, untuk pertama kalinya Alaric merasa seolah dipeluk oleh ibu kandungnya.     

Tiba-tiba hatinya terasa begitu ringan. Ia menyadari bahwa ia belum pernah merasakan kasih sayang ibunya yang telah meninggal saat melahirkannya dan ia tidak tahu bagaimana rasanya memiliki orang tua. Saat berada dalam rangkulan Portia seperti ini, dalam hati ia setengah berharap Portia adalah ibunya.     

"Oh... anakku... kau pasti hidup sangat menderita selama ini... Aku bisa membayangkan selama seratus tahun ini kau tidak tahu apa-apa... tidak punya siapa-siapa...." bisik Portia dengan suara sedih. Tanpa sungkan ia menciumi pipi, kepala, dan tangan Alaric, seolah kepada anaknya sendiri.     

Dalam waktu singkat saja Alaric merasa tembok pertahanan dirinya yang selama ini dipasangnya untuk menutup diri dari orang lain menjadi runtuh perlahan-lahan, seiring dengan ciuman dan pelukan perempuan yang merupakan sepupu ibunya ini. Air mata mengalir pelan dari kedua sudut matanya.     

Setelah hampir 100 tahun sendirian... akhirnya ia diberi jalan untuk bertemu keluarga ibunya.     

Ia tidak lagi sendirian. Perempuan di depannya ini memperlakukannya seperti anak sendiri...     

Portia menangis tetapi ia tampak lega dan bahagia sekali. Ia tak pernah mengira suatu hari ia akan bertemu keturunan Luna yang dikiranya telah meninggal.     

"Astaga... anak Luna... masih hidup..." Ia tertawa bahagia sambil mengusap air matanya. Portia lalu menoleh kepada Ned dan menarik suaminya mendekat, "Ned... ini anak Luna... Namanya Alaric..."     

Ned mengangguk. "Selamat datang Alaric. Kami senang akhirnya kau pulang ke rumah..."     

"Sebentar... kau pasti ingin tahu bagaimana wajah ibumu..." kata Portia tiba-tiba. Ia segera menarik tangan Alaric agar mengikutinya. "Aku punya beberapa foto dan lukisan Luna di perpustakaan."     

Alaric tampak terpaku saat kedua kakinya tanpa sadar mengikuti langkah-langkah Portia masuk ke sebuah ruang perpustakaan yang sangat besar.     

Ternyata Portia masih menyimpan lukisan ibunya, Untuk pertama kalinya dalam hidup, Alaric akan dapat melihat wajah perempuan yang melahirkannya itu.     

"Ini... ini Luna..." bisik Portia ke telinga Alaric dengan suara penuh semangat, "Ini ibumu..."     

Alaric tertegun saat melihat sebuah lukisan di salah satu dinding perpustakaan. Tampak seorang gadis muda yang sangat cantik dalam busana Edwardian yang anggun. Rambutnya lurus panjang berwarna keunguan, dengan sepasang mata ungu yang indah sekali menatap langsung ke arahnya.     

Untuk sesaat Alaric menyadari bahwa wajah Luna sama sekali tidak asing. Ini mirip sekali dengan wajahnya sendiri yang dari dulu dibencinya karena terlihat seperti perempuan.     

Ternyata wajahnya dan wajah ibunya seperti pinang dibelah dua.     

Dalam hatinya, Alaric tiba-tiba merasa bersalah karena selama puluhan tahun ini ia telah membenci wajahnya. Itu karena ia tak mengetahui bahwa ia mewarisi wajah ibunya.     

"Maafkan aku, Ibu..." bisiknya saat menatap sepasang mata ungu yang melihatnya dari lukisan dan tersenyum seperti seorang malaikat.     

Sepasang mata Alaric menjadi semakin berkabut dan kepalanya memusing. Ia seperti mendengar suara yang sangat lembut menyapanya dari lukisan itu dengan penuh kasih, "Selamat datang, anakku.. Selamat datang di rumah...."     

***     

Aleksis buru-buru keluar dari mobil dan berlari ke lobi untuk meminta resepsionis menelepon ke penthouse karena ia tak dapat menghubungi Lauriel. Ia meminta Lauriel menemuinya di parkiran basement untuk membantunya mengangkat Nicolae ke atas. Pemuda itu telah pingsan karena banyak kehilangan darah.     

Lima menit kemudian, yang rasanya seperti berjam-jam, Lauriel telah mengetuk jendela mobil dengan wajah sangat kuatir. Aleksis yang sedang gemetaran di kursi belakang sambil memangku Nicolae menjadi kaget.     

"Pa... Paman... Tolong aku.. Temanku terluka..." bisiknya cemas sambil membuka pintu mobil.     

Lauriel buru-buru memeriksa keadaan Nicolae dan wajahnya menjadi pucat. Ia memeriksa Aleksis dan merasa lega karena anak angkatnya tidak terluka.     

"Kau tidak apa-apa? Bisa berjalan ke atas?" tanyanya. Aleksis mengangguk, "Baiklah... Paman akan mengangkatnya ke penthouse, kau ikut saja ya.."     

Aleksis menuruti perkataan Lauriel. Ia segera keluar mobil dan menunggu sampai Lauriel berhasil mengeluarkan Nicolae. Ayah angkatnya itu sangat kuat dan ia bisa menggendong pemuda tinggi besar itu di punggungnya. Mereka dengan cepat masuk ke lift dan segera menuju ke lantai 100.     

"Sshh.. jangan kuatir... Temanmu kehilangan banyak darah, tetapi ia akan selamat..." bujuknya, melihat Aleksis masih gemetar ketakutan di dalam lift. "Jangan takut...."     

Aleksis mengangguk tanpa suara.     

Mereka masuk ke penthouse dan Lauriel cepat membaringkan Nicolae di kamar tamu dan membersihkan luka-lukanya.     

"Aleksis sayang, kau sebaiknya mandi mengganti pakaianmu biar tidak berlumuran darah saat dokter tiba..."     

Aleksis mengangguk pelan lalu masuk ke kamarnya dan segera membersihkan diri. Lauriel menelepon nomor orang kepercayaannya yang segera menelepon dokter agar datang ke penthouse. Nicolae membutuhkan transfusi darah dan suntikan morfin agar dapat bertahan selama operasi kecil saat peluru di bahunya dikeluarkan.     

Sebenarnya, sedikit saja ia salah bergerak, peluru itu akan mengenai jantungnya. Pemuda ini sangat beruntung karena tembakan yang menghantamnya meleset.     

Sepuluh menit kemudian Aleksis kembali ke kamar tamu dengan pakaian yang sudah berganti dan wajahnya terlihat agak segar. Perasaannya juga mulai tenang. Ia sangat lega telah tiba di penthouse dan bertemu Lauriel yang kini pasti akan bisa menangani semuanya...     

"Kau sudah baikan?" tanya Lauriel sambil menyerahkan segelas wine bercampur ramuan khusus buatannya untuk membuat Aleksis merasa tenang. Gadis itu menerimanya dan mengangguk pelan.     

"Apakah dokter akan datang?" tanyanya kemudian.     

"Sebentar lagi. Kau tunggu di sini, Paman akan mengambil pakaian ganti untuknya..."     

Lauriel beranjak menuju kamarnya dan mencari kemeja dan celana baru untuk Nicolae, karena pakaiannya sekarang sudah kotor oleh darah. Aleksis menghabiskan wine-nya lalu duduk di samping tempat tidur dan mengamati pemuda tampan yang sedang pingsan itu.     

Ia merasa sedih memikirkan Nicolae terluka sia-sia hari ini karena menyelamatkannya...     

Dengan hati masih sangat cemas ia mengambil handuk kecil dan baskom berisi air hangat di meja sebelah tempat tidur lalu mulai membasuh wajah dan bahu Nicolae yang kotor oleh darah. Wajahnya yang sudah bersih terlihat sangat pucat karena kehilangan banyak darah.     

"Dokter Lin sudah datang," kata Lauriel kemudian. Ia masuk membawa seperangkat pakaian diikuti seorang dokter laki-laki berusia 50-an yang berwajah kalem. Dokter itu menaruh tasnya di lantai lalu duduk di samping Nicolae dan memeriksanya.     

"Hmm... adik Anda terkena tembakan yang cukup parah... Sedikit lagi, peluru itu bisa mengenai jantungnya dan membunuhnya seketika.." komentar Dokter Lin. Ia menatap Lauriel, "Anda mau mendonorkan darah untuk adik Anda?"     

"Adik...?" Lauriel mengerutkan keningnya. Ia menoleh ke arah Nicolae yang terbaring diam di tempat tidur.     

Ia baru memperhatikan wajah pemuda itu, yang telah dibersihkan oleh Aleksis barusan. Seketika dadanya berdebar keras. Pemuda itu wajahnya mirip sekali dengannya. Sekilas orang lain tidak akan menganggap mereka mirip, kecuali kalau mereka memang benar-benar disandingkan bersama. Seperti sekarang ini.     

Aleksis menatap Nicolae dan Lauriel bergantian lalu mengerutkan keningnya juga, "Paman... kau dan Nicolae memang sangat mirip... Pantas saja dokter ini mengira kalian bersaudara..."     

Aleksis menepuk keningnya sendiri karena tidak pernah memperhatikan kemiripan ini, sebab Nicolae dan Lauriel sama sekali tidak kenal, maka ia tidak pernah terpikir untuk menghubungkan mereka. Kalau dipikir-pikir, Dokter Lin tidak salah, Kedua pria ini memang bisa dianggap seperti kakak beradik kalau bersebelahan begini...     

"Lho.. kalian tidak bersaudara? Maaf, kalau saya lancang..." kata Dokter Lin keheranan, "Kalau begitu kita harus menguji darahnya agar bisa meminta darah yang tepat dari rumah sakit agar segera dikirim ke sini."     

Lauriel menatap wajah Nicolae lama sekali dan tanpa sadar ia berkata pelan, "Dokter... kalau Anda menguji darahnya... tolong sekalian uji darah saya juga... Kalau cocok... biar saya saja yang menjadi donornya."     

.     

*butler = kepala pelayan     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.