The Alchemists: Cinta Abadi

Aku tidak membencimu



Aku tidak membencimu

0Mereka makan malam dengan suasana yang sangat romantis. Tidak ada siapa pun di sekitar mereka. Hanya bintang-bintang di langit dan ribuan cahaya lampu kota dari bawah mereka.     

Para pelayan memberi kedua tamu VIP itu privasi seluas-luasnya dan hanya muncul bila Aleksis atau Alaric memberi tanda.     

"Jadi apa yang akan kau lakukan sekarang? Apakah kau besok akan kembali ke asrama?" tanya Alaric setelah mereka selesai makan dan menikmati dessert wine untuk bersantai.     

"Aku sudah berjanji kepada ayah angkatku untuk mencoba memenuhi komitmen dan menyelesaikan satu tahun kuliah di sini. Katanya akan bagus untukku belajar tentang kehidupan orang lain. Siapa tahu aku masih dapat bertemu orang-orang baik lainnya seperti Mel, teman sekelasku yang membelaku di depan Verona," jawab Aleksis. "Kau sudah tahu jadwalmu di London?"     

"Sudah. Aku akan sangat sibuk bertemu banyak orang," jawab Alaric. Melihat wajah Aleksis yang merengut, ia buru-buru menambahkan, "tapi aku akan memenuhi janjiku untuk selalu meneleponmu."     

Ia belum pernah harus membuat janji seperti ini kepada siapa pun, tetapi Alaric sama sekali tidak keberatan melakukannya untuk Aleksis.     

Namun demikian, wajah Aleksis tidak berubah. Ia bukan merengut karena Alaric akan sibuk, melainkan karena ia akan bertemu orang-orang dari Group Meier.     

'Kenapa wajahmu begitu? Apakah aku melakukan kesalahan?" tanya Alaric dengan nada menyelidik.     

Aleksis menggeleng. "Bukan itu. Terus terang aku tidak begitu suka dengan pemilik Group Meier, ayahku pernah membahas sedikit tentang mereka."     

"Oh..." Alaric menatap Aleksis agak lama. Ia ingat Aleksis pernah menyinggung kalau dulu ayahnya bekerja untuk Group Schneider dan Pavel menemukan informasi bahwa kemungkinan Aleksis itu adalah anak gelap Kurt Van Der Ven, CEO Group Schneider itu sendiri. Alaric mengira Aleksis sedang membicarakan tentang Kurt. "Apa kata ayahmu tentang mereka?"     

"Ayahku bilang mereka tidak bisa dipercaya. Dulu Group Schneider pernah berurusan dengan mereka." Aleksis balas menatap Alaric, kali ini dengan pandangan agak memohon, "Kenapa kau tidak mencari peluang bekerja sama dengan Group Schneider saja? Bukankah Group Schneider juga punya beberapa lini bisnis yang sama dengan perusahaanmu? Mungkin aku bisa membantu...."     

Alaric memegang tangan Aleksis dan menggeleng pelan, "Aku tidak suka nepotisme. Aku tahu kau punya hubungan dengan orang penting di Group Schneider, Aleksis. Aku menghargai upayamu... tetapi mari kita jangan mencampur bisnis dan hubungan pribadi."     

"Kau... tahu apa tentang aku?" tanya Aleksis pelan. Ia menatap Alaric penuh pertanyaan.     

Ia tak yakin Alaric tahu ia adalah putri kandung pemilik Group Schneider itu sendiri, dan ia suatu hari nanti akan mewarisi salah satu grup perusahaan terbesar di dunia itu. Tetapi ia tertarik ingin mengetahui apa yang diketahui Alaric tentang dirinya.     

Sebaliknya Alaric tidak ingin membuat Aleksis malu dengan membicarakan statusnya sebagai anak gelap Kurt Van Der Ven. Ia menolak membahas informasi yang diketahuinya dari Pavel.     

"Bisakah kita membahas hal lain?" tanya Alaric kemudian. "Aku tidak mau merusak malam terakhir kita bersama sebelum aku ke London dengan membahas pekerjaan."     

Aleksis menunduk. Ia tahu sia-sia meyakinkan Alaric untuk membatalkan kerja sama dengan Group Meier, kecuali jika ia membuka jati dirinya dan menceritakan apa yang terjadi 17 tahun lalu. Bahwa Alexei Meier pernah meracuninya dan hampir membunuhnya saat ia baru berusia 2 tahun lebih.     

Tidak bisa.     

Bagaimanapun kepentingan klan harus diutamakan. Betapa pun Aleksis mencintai Alaric, selama pria ini belum diterima masuk ke dalam lingkungan mereka oleh keluarganya, ia tak bisa membongkar rahasia kaumnya kepada Alaric. Ia tetap harus menggunakan akal sehatnya.     

"Baiklah... aku tidak akan membahas hal itu lagi," kata Aleksis pelan. Ia menyesap wine-nya dan berpikir sejenak. "Sepertinya sampai sekarang, kita berdua masih saling menutupi jati diri kita yang sebenarnya. Mungkin sudah saatnya kita saling membuka diri sedikit? Bagaimana pendapatmu? Kau mengingatkanku akan ayahku... Dia juga sangat mencintai privasi, maka aku tidak terlalu cerewet tentang sikapmu yang sangat tertutup, karena aku sudah terbiasa dengan hal itu. Aku bisa membayangkan, perempuan lain mungkin akan protes karena tidak boleh mengetahui tempat tinggal kekasihnya..."     

Alaric mengangguk, "Kau benar. Kau tidak seperti perempuan lain. Terus terang aku sangat menyukai kau yang tidak cerewet menuntut ini itu. Semuanya sangat mudah dan menyenangkan bersamamu..."     

"Aku sungguh ingin mengenalmu lebih mendalam..." kata Aleksis, "Karena aku pun ingin kau mengenalku. Lebih dari sebatas apa yang selama ini kita ketahui dari permukaan. Aku ingin suatu hari nanti aku bisa membawamu kepada keluargaku..."     

Ia ingin pelan-pelan membuka diri, agar Alaric mengetahui siapa dirinya sebenarnya.... agar pria itu pun mau membuka diri dan suatu hari nanti mereka berdua dapat sungguh-sungguh bersatu dalam pernikahan yang direstui keluarganya.     

Alaric mengira Aleksis bermaksud menceritakan tentang statusnya sebagai anak gelap Kurt Van Der Ven. Ia tidak membutuhkan informasi itu, dan sejujurnya, ia tak peduli dengan asal usul gadis itu, Ia menerima Aleksis apa adanya, bahkan sebelum ia mengetahui bahwa penampilan kuno gadis itu hanyalah samaran untuk mengecoh lelaki iseng.     

"Apa yang ingin kau ketahui tentang aku?" tanya Alaric. "Sepertinya kau sudah cukup lama menyimpan pertanyaan itu."     

Aleksis mengangguk malu-malu, "Ah... aku ingin tahu seperti apa masa kecilmu... Mungkin mulai dari situ, biar pelan-pelan kita bisa lebih saling mengenal. Aku ingin tahu bagaimana kau bisa bergabung dengan Rhionen Assassins. Kau bilang ayahmu adalah pimpinannya, dan sekarang ia sudah menyepi dari kehidupan duniawi. Aku ingin tahu seperti apa ayahmu... Nanti aku akan menceritakan tentang ayahku..."     

"Masa kecilku?" Alaric tampak merenung lama. Ia tidak tahu berapa banyak ia bisa membagikan kepada Aleksis.     

"Aku tahu kau mengambil Takeshi dan Mischa dari panti asuhan dan merawat mereka sebagai anak angkatmu, bersama beberapa anak lainnya, "Aleksis bicara dengan sangat hati-hati karena ia mengerti betapa sensitifnya topik ini bagi Alaric, "Aku pikir kau melakukannya karena dulu kau senasib dengan mereka. Kau sangat baik kepadaku waktu aku kecil dulu, dan kau bilang, kau hanya meneruskan kebaikan orang-orang yang pernah menolongmu... Jadi aku berasumsi, bahwa masa kecilmu dulu sangat berat."     

Alaric tidak menjawab. Ia menatap Aleksis dengan sorot mata yang mengonfirmasi semua dugaan Aleksis.     

Gadis itu menggenggam kedua tangan Alaric dengan tangannya dan melanjutkan bicaranya dengan suara sangat lembut, "Apakah kau diangkat anak oleh pendiri Rhionen Assassins dan dilatih menjadi pembunuh olehnya?"     

Akhirnya Alaric menggeleng.     

"Kau memang sangat cerdas, Aleksis. Kau bisa menilai banyak hal hanya dengan informasi sedikit." Sepasang mata Alaric kini tampak berubah sendu. "Tapi kau tebakanmu tidak sepenuhnya benar. Ayah angkatku bukan orang baik. Ia menolongku dari jalanan untuk membantunya mencuri. Ia adalah seorang monster saat ia mabuk dan suatu kali ia hampir membunuh adikku, anak kandungnya sendiri. Adikku membunuhnya dan kami harus melarikan diri untuk menghindari polisi. Sejak itu hanya ada aku dan Claudia, saling menjaga. Claudia sekarang sudah mati dan aku tidak punya siapa-siapa lagi. Sebenarnya pendiri Rhionen Assassins bukan ayahku. Semua assassins memang menganggapnya sebagai ayah. Kau bisa lihat Takeshi dan Mischa juga menggunakan nama Rhionen."     

"Oh... aku turut berduka tentang Claudia," kata Aleksis. Ia meremas tangan Alaric dengan penuh kasih sayang, "Aku sedih mendengar masa kecilmu yang buruk... Apakah kau tidak pernah bertemu orang tuamu? Apakah mereka meninggal?"     

"Aku tidak pernah mengenal mereka. Ibuku meninggal saat melahirkanku," kata Alaric. Ia tampak memikirkan sesuatu, dan kemudian menarik keluar kalung bertali kulit yang dikenakannya di leher. Di kalung itu tergantung sebuah liontin perak yang bisa dibuka. Ia menyentuh liontin itu dengan jari-jari tangan kirinya dan menghela napas, "Bidan yang membantu kelahiranku memotong sedikit rambut ibuku sebagai kenang-kenangan. Ibuku memohon dengan sekuat tenaga agar bidan itu memberikan rambutnya kepadaku setelah ia meninggal. Hanya inilah satu-satunya kenangan yang kumiliki dari orang tuaku... Aku tumbuh di panti asuhan dan tidak pernah mengalami kasih sayang orang tua ataupun keluarga. Beberapa kali ada keluarga yang mengadopsiku, tetapi biasanya tidak bertahan lama... Mereka bilang aku anak yang sulit. Akhirnya pada umur 8 tahun aku kabur dan tidak pernah kembali lagi. Aku hidup di jalanan dan bertahan sendirian, hingga saat aku bertemu Claudia dan ayahnya. Setelah itu kau tahu apa yang terjadi."     

Aleksis berusaha menahan air mata mendengar akhirnya Alaric membuka diri kepadanya. Masa kecil mereka sungguh jauh berbeda. Ia telah mengalami curahan kasih sayang berlimpah dari orang tua, paman-paman, kakak dan adik-adik yang sangat menyayanginya. Apalagi ia adalah anak perempuan satu-satunya yang menjadi permata keluarganya. Aleksis sangat dimanjakan dan dilindungi. Ia tak pernah mengalami kesedihan apa pun dalam hidupnya.     

"Seandainya aku bisa mengganti semua kesedihan yang kau alami sewaktu kecil dulu, aku ingin sekali bertukar posisi..." kata Aleksis pelan. "Aku sangat sedih mendengar kau mengalami itu semua."     

"Masa lalu adalah apa yang menjadikan kita seperti sekarang ini, Sayang. Kalau aku tidak mengalami itu semua, mungkin aku akan menjadi orang yang sama sekali berbeda. Kau tidak bisa menerima seseorang tanpa menerima masa lalunya," kata Alaric. "Sekarang aku baik-baik saja."     

"Tapi... pengalaman masa lalumu itu membuatmu menjadi orang yang membenci manusia..." keluh Aleksis.     

"Tidak semua." Alaric menarik wajah Aleksis mendekati wajahnya dan menatap gadis itu dengan penuh cinta, "Aku tidak membencimu."     

Lalu ia mencium Aleksis dengan sangat lembut.     

"Kau membuatku merasa ada harapan bagi manusia..." bisiknya pelan.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.