The Alchemists: Cinta Abadi

Anak Angkat?



Anak Angkat?

0Verona akhirnya berhasil ditolong dayang-dayangnya keluar dari kafetaria dengan heboh. Aleksis hanya menatap kepergian mereka dengan kening berkerut.     

Ia senang Takeshi memberi pelajaran kepada gadis kaya dan sombong itu, tetapi Aleksis ingin menghadapi Verona sendiri besok tanpa harus mengandalkan pengawalnya.     

Dalam kepalanya ia segera membuat rencana. Besok ia akan datang ke kampus dengan penampilan yang sama sekali berbeda.     

Lihat saja, pikirnya.     

Tanpa sadar bibirnya menyunggingkan senyum tipis.     

Nicolae batuk-batuk kecil menggugah lamunan Aleksis. Pemuda itu tampak terpesona melihat Aleksis melamun dan senyum-senyum sendiri.     

"Ada yang lucu? Kok nggak bagi-bagi?" tanyanya sambil tersenyum simpul.     

Aleksis mengangkat wajahnya dan menatap Nicolae dengan kening berkerut. Pemuda ini terlalu ingin tahu, pikirnya dengan perasaan tidak senang.     

"Aku sedang memikirkan lokasi yang cocok untuk menaruh mejaku," kata Aleksis asal-asalan.     

Ya, kalau para seniornya di kampus ini bisa mempunyai meja mereka sendiri, dia juga bisa.     

Kalau perlu ia akan membeli meja paling mahal dan menaruhnya di kafetaria, lengkap dengan ukiran namanya. Ia harus menelepon Kurt Van Der Ven untuk menyiapkan semua yang diinginkannya.     

"Kau bercanda, kan?" tanya Nicolae sambil tertawa.     

"Mungkin." Aleksis hanya mengangkat bahu. Ia lalu bangkit berdiri dan membawa baki bekas makan siangnya, "Terima kasih tadi kau sudah menolongku di sana, dan membiarkanku memakai mejamu. Selamat siang."     

Sikap acuh Aleksis terhadap ketampanannya cukup membuat Nicolae terpukul. Selama ini semua gadis di kampus, atau perempuan mana pun yang ditemuinya pasti akan terpesona pada wajahnya yang tampan, kepintarannya dan sikapnya yang supel.     

Tetapi gadis berpenampilan culun dan berkaca mata butut ini bahkan tidak melihatnya dua kali.     

Mereka telah beberapa kali bertemu, dan bahkan di pertemuan kedua Aleksis sempat memeluknya karena mengira ia seseorang yang lain... tapi sejak itu, sikapnya selalu dingin dan acuh.     

Nicolae tidak biasa menerima perlakuan demikian dari siapa pun, dan hal ini semakin membuatnya penasaran. Siapa gadis ini sebenarnya?     

"Kau tinggal di mana? Asrama?" tanya Nicolae sambil ikut berdiri. Ia juga membereskan baki makan siangnya dan mengikuti Aleksis ke tempat penyimpanan baki.     

Aleksis mulai merasa terganggu karena diikuti Nicolae. Pemuda itu memang sangat tampan, tetapi rasanya Nicolae terlalu ramah kepadanya. Ia melihat sekelilingnya dan mendapati gadis-gadis di kafetaria menatapnya dengan penuh kebencian. Ugh.     

Oh Tuhan... aku kuliah di universitas umum supaya aku punya teman perempuan... keluhnya dalam hati. Namun, memang rasanya ia sial sekali, karena sejak hari pertama ia melangkahkan kaki di kampus ini, yang ditemukannya justru hanya permusuhan.     

Bukan salahnya kalau ia dekat dengan Terry sebab pemuda itu adalah kakaknya. Ia juga tidak berniat beramah-ramah dengan Nicolae karena Aleksis sudah memiliki kekasih. Tapi kenapa justru pemuda itu terus membuntutinya seperti ini?     

Sebelum Aleksis sempat menjawab pertanyaan Nicolae, ia membaca SMS masuk dari Terry di jam ponselnya.     

[Kau masih di kafetaria? Aku dengar gosip tentang kehebohan yang terjadi di sana tadi. Kau baik-baik saja? Aku segera tiba di sana.]     

Astaga.... gosip apa lagi ini?     

[Kau tahu dari mana?] tanya Aleksis.     

[Videonya diunggah di Splitz tadi... seisi kampus heboh sekali. Tunggu aku, aku sudah mau sampai.]     

Aleksis menghela napas panjang. Sekarang saja gadis -gadis di kafetaria sudah menatapnya dengan pandangan menusuk karena ia bersama Nicolae. Ia tak dapat membayangkan nanti sikap mereka saat melihat Terry juga datang untuknya.     

Ia tak mau Takeshi berurusan dengan begitu banyak perempuan yang mengganggu dirinya.     

Ia tak mau memancing keributan baru.     

[Tidak usah ke kafetaria. Aku sudah pulang ke asrama. Kita bertemu nanti malam saja di rumahmu.]     

Aleksis buru-buru mengirim pesan kepada Terry lalu berlari kabur dari kafetaria secepatnya, bahkan tanpa berkata apa-apa kepada Nicolae.     

Pemuda bermata biru sedalam lautan itu tercengang melihat Aleksis berlari sangat kencang dan dalam hitungan detik saja sudah menghilang dari pandangan. Gadis ini mengingatkannya akan badai yang datang dan pergi tanpa terduga.     

Tanpa sadar seulas senyum tersungging di bibirnya.     

***     

Aleksis mengatur napasnya di depan gedung asrama lalu merapikan diri. Ia tadi berlari kencang sekali karena ingin menghindari masalah baru. Ia harus segera bertemu Takeshi dan Mischa dan berkoordinasi dengan mereka.     

Setelah itu ia harus mengambil pakaian-pakaiannya yang bagus dari Penthouse agar besok ia tak perlu lagi menyamar sebagai gadis jelek. Toh walaupun ia sudah mengubah penampilan begini, tetap saja gadis-gadis itu tidak menyukainya. Ini seperti rugi dua kali. Jelek iya, dibenci juga iya.     

Kalau ia harus menerima perlakuan buruk dari sesama perempuan, lebih baik ia menerima kebencian mereka dengan terlihat cantik dan penuh kelas.     

[Aku sudah di depan gedung asrama. Kalian di mana?]     

Aleksis mengirim pesan kepada Takeshi. Ia lalu memutuskan untuk duduk di bangku taman di bawah sebuah pohon rindang sambil menunggu mereka.     

[Kami sudah melihat Nona, tunggu saja di situ.] balas Takeshi.     

Baiklah... aku tidak buru-buru, pikir Aleksis.     

Satu menit kemudian terdengar deheman dari belakangnya.     

Aleksis buru-buru menoleh dan melihat dua orang pemuda datang dari balik pohon tempat ia duduk. Ia segera mengenali mereka sebagai Takeshi dan Mischa, dari foto yang ditunjukkan Alaric kemarin.     

Takeshi adalah seorang pemuda Jepang yang jangkung dan mengenakan kaca mata berbingkai hitam, membuatnya terlihat serius. Penampilannya sederhana dan tidak menarik perhatian, tetapi Aleksis bisa melihat gerak-geriknya sangat ringan dan berbahaya.     

Mischa mengenakan kemeja pink dengan kancing dibuka hingga dadanya, kalung bertali kulit dengan liontin logam berbentuk wind catcher yang eksotis, dan jam tangan mahal. Rambutnya ikal emas indah sekali dan segera mengingatkan Aleksis pada gambaran Pangeran Fauntleroy (Little Lord Fauntleroy) dari buku zaman dulu.     

Sewaktu novel Little Lord Fauntleroy karangan Frances Hodgson Burnett dirilis, banyak orang tua mengidamkan anak laki-laki berambut ikal emas dan indah seperti dirinya dan mereka juga mendandani putra mereka dengan gaya berpakaian Lord Fauntleroy yang mengenakan pakaian ala aristokrat berenda dan rumit yang terlihat imut sekali untuk anak laki-laki pada zaman itu.     

Aleksis membayangkan kalau Little Lord Fauntleroy tumbuh dewasa dan menjadi model, maka penampilannya akan seperti Mischa ini. Rasanya sulit membayangkan Mischa adalah seorang pembunuh yang sudah ada di level naga.     

Alaric sungguh misterius. Bahkan anak buahnya saja tidak ada yang terlihat normal.     

"Terima kasih atas bantuan kalian tadi. Ugh... aku tidak tahu kalau gadis-gadis di luaran tingkahnya seperti itu..." kata Aleksis sebal. "Aku tahu Alaric mengirim kalian untuk melindungiku dari gangguan lelaki iseng, tetapi sepertinya yang akan kalian hadapi justru adalah segerombolan perempuan norak... Jadi aku tidak tahu bagaimana pengaturan yang baik. Aku sih tidak keberatan kalau kalian ambil waktu liburan saja di Singapura selama Alaric ke Inggris. Nanti aku tidak akan bilang-bilang kepadanya.... Bagaimana? Kalian nggak mungkin kan mengurusi perempuan penggangguku terus-terusan?"     

Takeshi dan Mischa menggeleng.     

"Tidak apa-apa. Kami ini profesional. Laki-laki atau perempuan tidak ada bedanya," jawab Mischa acuh.     

"Hmm..." Aleksis memandang kedua orang itu baik-baik. Dalam hati ia berpikir sebenarnya ada baiknya ia sering bersama Takeshi dan Mischa. Ia bisa mengorek banyak informasi tentang Alaric dari mereka. Sepertinya kedua orang ini cukup dekat dengan kekasihnya.     

Ia lalu tersenyum ramah sekali, "Baiklah kalau begitu. Aku bisa melihat kalian adalah orang yang berdedikasi. Aku menghargai pendapat kalian. Uhm.. kalau boleh tahu, kalian sudah berapa lama kenal Alaric Rhionen?"     

"Hampir seumur hidupku..." jawab Takeshi sambil tersenyum misterius. "Bisa dibilang Tuanlah yang membesarkan kami dan mengajari semua yang kami ketahui..."     

"Oh... "     

Aleksis tidak menyangka Takeshi sudah demikian lama bersama Alaric. Apakah itu berarti sejak kecil ia sudah mengikuti Alaric?     

Berarti Alaric-kah yang merawat dan membesarkannya hingga menjadi pembunuh seperti sekarang?     

Masuk akal sih, mengingat pria itu jauh lebih tua dari mereka.     

Ia menoleh kepada Mischa. "Bagaimana denganmu?"     

"Sama. Tuan adalah ayah angkat kami. Ia memberi kami nama Rhionen saat ia mengadopsi kami dari panti asuhan," jawab Mischa.     

Astaga...     

Aleksis tak dapat mempercayai pendengarannya sendiri. Kedua pemuda ini adalah anak angkat Alaric? Berarti....     

Berarti kalau ia menikah dengan Alaric, mereka ini akan menjadi anak angkatnya juga...     

Ia menatap keduanya dengan mulut tercengang. Ia tak pernah membayangkan punya anak yang beberapa tahun lebih tua darinya.     

"Jadi... kau adalah Takeshi Rhionen... dan kau Mischa Rhionen...?" tanyanya memastikan.     

Baik Takeshi maupun Mischa tersenyum simpul melihat kekagetan di wajah Aleksis. Mereka menggangguk bersamaan.     

Aleksis sama sekali tidak pernah memikirkan kemungkinan ini. Ia sudah merasa puas mengetahui kenyataan bahwa Alaric tidak pernah menikah, sehingga ia tidak harus bersaing dengan perempuan mana pun.     

Ia juga mendengar dari Alaric bahwa ia hidup sebatang kara, sehingga ia sama sekali tidak menduga bahwa Alaric justru mempunyai anak angkat seperti Takeshi dan Mischa ini yang dididiknya menjadi pembunuh tingkat tinggi.     

"A... ada berapa anak angkatnya selain kalian?" tanya Aleksis. Ia mulai pening membayangkan punya beberapa anak angkat yang sudah dewasa seperti ini.     

"Hanya ada empat," jawab Takeshi. "Suatu hari nanti Nona juga akan bertemu yang lain. Tuan sangat menyayangi Anda sehingga mengirim kami sendiri untuk melindungi Anda selama ia tidak ada."     

Aleksis merasa tersentuh mendengarnya.     

Ia menjadi sangat merindukan pria itu. Ah, Alaric baru akan berangkat ke Inggris besok, tidak ada salahnya malam ini Aleksis menemuinya sebelum ia pergi.     

Ia tak tahan membayangkan akan berpisah darinya seminggu... atau malah hingga sebulan.     

"Takeshi... maukah kalian membawaku ke rumahnya? Ia tidak mau memberitahuku alamatnya... Padahal aku sangat ingin bertemu dengannya sebelum ia pergi...." bujuk Aleksis sambil mempertunjukkan mata berkaca-kaca ala anak anjing terbaiknya. "Aku sangat terharu melihat dia begitu memperhatikanku... Terserah kalau kalian membawaku dengan mata tertutup supaya aku tidak bisa mengenali rute jalan menuju rumahnya... aku tidak keberatan.. Tapi tolong bawa aku menemuinya...."     

Takeshi terbatuk kecil mendengar rayuan Aleksis. Ia lalu mendeham, "Kalau Nona mau bertemu Tuan, tidak usah ke rumah. Dia kalau jam segini masih ada di kantornya di Gedung Continental."     

"Oh ya? Baiklah aku akan menemuinya di kantor. Kebetulan aku mau ke Gedung Continental untuk mengambil pakaian...." cetus Aleksis. "Terima kasih atas informasinya. Aku pergi dulu kalau begitu."     

Takeshi dan Mischa membungkuk hormat.     

"Kalau begitu kami mulai tugas kami. Anda silakan beraktivitas seperti biasa." kata Takeshi sambil tersenyum.     

Ia dan Mischa kemudian undur diri dan menghilang ke dalam taman. Aleksis lalu keluar area asrama dan mencegat taksi. Ia bergegas ke Hotel Continental untuk membawa tas berisi pakaian-pakaian mahalnya ke asrama. Ia tidak akan tampil sebagai gadis jelek lagi.     

Nanti sebelum pulang ke asrama, ia akan mampir ke kantor Alaric di lantai 39 dan memberinya kejutan.     

Gadis itu merasa senang sekali dalam perjalanan ke Gedung Continental, hingga tanpa sadar ia bersenandung di sepanjang jalan.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.