The Alchemists: Cinta Abadi

Rosemary Lin



Rosemary Lin

0Untunglah rupanya Rosemary tidak mengenali Aleksis. Waktu Terry tiba-tiba menghampirinya di taman kampus dan memintanya menjadi kekasihnya lalu menciumnya begitu saja, Rosemary sedang berjalan ke perpustakaan dan tidak memperhatikan bahwa Terry saat itu sedang bersama Aleksis.     

Ia tampak tersenyum ramah dan menyambut Aleksis masuk ke kamarnya, "Selamat datang. Kau teman sekamarku yang baru? Namaku Rosemary Lin."     

Aku tahu, pikir Aleksis gundah.     

Ia tiba-tiba merasa tidak enak kalau ia menjadi teman Rosemary sementara kakaknya sedang mempermainkan gadis itu. Dan itu semua karena ulah Aleksis sendiri yang waktu itu menggoda Terry.     

"Kenapa diam saja?" tanya Ms. Lee kepada Aleksis.     

"Oh... iya, maaf... Namaku Aleksis Makela... Aku mahasiswa pindahan dari Jerman..." kata Aleksis buru-buru. Ia memang tak pernah menggunakan nama lengkapnya kalau di depan orang luar. Ia takut menarik perhatian karena hubungannya dengan Schneider Group.     

Walaupun beberapa tahun dari sekarang ia akan dipersiapkan untuk mengambil alih Group dari Kurt Van Der Ven, ia merasa lebih baik menyembunyikan identitasnya selama mungkin.     

"Selamat datang. Silakan masuk. Aku sudah menempati tempat tidur di sudut kanan, kau bisa mengambil yang di sudut kiri..."     

Aleksis mengangguk. Ia masuk kamar membawa barang-barangnya dan berterima kasih kepada Ms. Lee karena sudah diantar ke kamarnya dan diperkenalkan dengan Rosemary. Pengurus asrama itu hanya mengangguk dan berlalu.     

Oh.. oke, jadi begini rupanya kehidupan anak kuliahan di asrama, pikir Aleksis.     

Kamar yang ditempatinya bersama Rosemary cukup bagus, walaupun ukurannya amat sangat kecil kalau dibandingkan dengan kamarnya di rumah orang tuanya. Ia memiliki area 100 meter persegi untuk dirinya sendiri dan ruang aktivitas pribadinya. Kalau dibandingkan, mungkin kamar asramanya ini hanya setengah ukuran kamar mandinya.     

"Kenapa, kok bengong?" tanya Rosemary menggugah lamunan Aleksis. "Kau kangen rumah?"     

"Eh... bisa dibilang begitu... haha..." Aleksis mengangguk sambil tertawa kecil. Ia tidak terlalu merindukan kamarnya yang besar dan mewah. Ia bukan gadis manja yang hanya bisa hidup dalam kemewahan. Tapi ia memang agak kaget melihat ukuran kamar di asrama mahasiswa ini.     

Ia mengatur barang-barangnya di lemari yang ditunjukkan oleh Rosemary, lalu duduk di tempat tidurnya dan mempelajari sekitar.     

Hmm.. ia bisa membiasakan diri tinggal di sini.     

Tapi ia ragu, apakah ia mau berteman dengan Rosemary atau minta pindah kamar. Ia tak dapat membayangkan betapa canggungnya nanti kalau Rosemary mengetahui bahwa Terry yang akan mencampakkannya beberapa hari lagi adalah kakak Aleksis, dan bahwa Aleksis sebenarnya bertanggung jawab atas penderitaannya.     

Ia tak sadar bahwa Rosemary, yang melihatnya melamun, mengira Aleksis sedang merindukan rumah, kemudian merebus air panas dan membuat teh. Ia lalu mengacungkan cangkir berisi teh panas itu di depan wajah Aleksis, "Mau teh jahe? Ini akan membuat perasaanmu lebih baik..."     

"Oh..." Aleksis tergugah dari lamunannya dan tambah merasa bersalah. Ia menerima gelas berisi teh jahe dari tangan Rosemary dan mengucap terima kasih.     

Teh jahe buatannya memang enak sekali.     

"Apakah kau merindukan kekasihmu?" tanya Rosemary tiba-tiba, "Maaf, aku tidak bermaksud ikut campur, tapi wajahmu itu terlihat sedih, aku pikir kau sedih karena harus meninggalkan kekasihmu di Jerman..."     

Wahh... sebaliknya, aku justru datang ke Singapura untuk mencari kekasihku... pikir Aleksis geli.     

Walaupun Rosemary salah menebak, tetapi Aleksis bisa menghargai niat baik Rosemary yang menguatirkan dirinya.     

Hmm... sebenarnya Rosemary tidak salah-salah amat sih... saat ia tadi menyebut kata 'kekasih', seketika pikiran Aleksis melayang pada Alaric yang baru ditinggalkannya beberapa jam lalu. Kenapa ia sudah rindu ingin bertemu dengannya? Ini kan baru sebentar? Astaga...     

"I... iya, aku merindukan kekasihku..." kata Aleksis jujur.     

"Wahh... aku mengerti rasanya," kata Rosemary sambil tersenyum gembira, "Sudah berapa lama kalian bersama?"     

Uhm... dua hari?     

"Sebenarnya kami masih baru menjalin hubungan cinta. Aku sudah lama mengenalnya, tetapi baru kemarin ia akhirnya menyatakan cinta kepadaku..." kata Aleksis kemudian. "Aku senang sekali..."     

Rosemary menutup mulutnya dengan kedua tangannya dan wajahnya menunjukkan ekspresi terkejut sekaligus senang, "Wahhh... kalau begitu kita berjodoh. Aku juga sama. Aku sudah mengenal Terry cukup lama. Dia itu kakak kelasku di jurusan film. Selama ini aku hanya mengaguminya dari jauh... Tapi dua hari yang lalu tiba-tiba saja ia menyatakan cinta dan memintaku menjadi kekasihnya.... Aku tidak tahu bahwa ternyata ia juga menyukaiku diam-diam..."     

Uhm... oke. Di sini Aleksis tambah merasa tidak enak.     

Terry tentu tidak menyukai Rosemary diam-diam seperti dugaannya, karena selama ini Terry menceritakan siapa-siapa saja gadis yang ia sukai saat ia bersama Aleksis, dan Terry tidak pernah menyinggung Rosemary.     

Aleksis yakin bahkan Terry tidak tahu bahwa Rosemary adalah adik kelasnya sendiri... sementara Rosemary sudah memendam perasaan suka kepada Terry sejak lama.     

Tentu pernyataan cinta dari Terry yang tiba-tiba begitu membuat gadis itu sangat berbunga-bunga...     

Oh Tuhan....     

"Sebentar ya, aku harus menelepon kakakku dulu, untuk mengabari bahwa aku sudah masuk asrama dengan tidak kurang suatu apa... Aku takut lupa dan membuatnya kuatir," kata Aleksis cepat. "Nanti kita ngobrol lagi..."     

"Oh... iya, tentu saja," kata Rosemary. "Kau bisa berbicara di balkon. Di sana cukup privasi."     

"Terima kasih," kata Aleksis. Ia buru-buru keluar ke balkon dan menelepon Terry dari jam ponselnya.     

"Kak, kau ingat Rosemary?"     

"Siapa?" tanya Terry asal.     

"Uhm.. perempuan di kampus yang kau minta menjadi kekasihmu dan langsung kau cium?" Aleksis mulai terdengar sewot.     

'Oh, namanya Rosemary?"     

"Ya Tuhaann.... Terry, kau harus ingat karma, ya. Jangan mempermainkan perempuan seenaknya. Pokoknya kau tidak boleh memutuskannya. Tunggu sampai aku pergi dari sini dan pulang ke Jerman."     

"Hah? Kenapa? Kok tiba-tiba?"     

"Dia itu teman sekamarku di asrama!!!" Hampir saja Aleksis menjerit, kalau ia tidak ingat bahwa Rosemary di dalam kamar dapat mendengar suaranya.     

"Oh..." Terry yang cerdas segera mengerti apa yang terjadi. "Hahaha.... wahh, maaf ya, bukan salahku kalau kau sekarang kena karma. Siapa yang salah sehingga aku tiba-tiba punya pacar?"     

"Aku tahu aku yang salah... tapi aku nggak enak menghadapi Rosemary kalau dia tahu aku adikmu... Dia itu naksir kamu beneran, sepertinya sudah cukup lama. Pokoknya jangan sampai kau menyakiti hatinya dengan memutuskan hubungan setelah beberapa hari saja... Please, tolong lakukan ini demi aku..."     

Terry tertawa senang di ujung telepon sana. Ia senang mengetahui bahwa kali ini ia memegang kartu as atas Aleksis. "Baiklah, aku akan tetap menjadi pacarnya selama satu bulan ke depan, tapi kau harus menuruti permintaanku..."     

"Ugh... apa itu?" Aleksis sudah mendapat firasat jelek. Terry yang nyentrik itu sama jahilnya dengan dia sendiri dalam hal mengganggu saudaranya.     

"Belum tahu. Aku pikirkan dulu." Terry tersenyum tambah lebar, "Setuju?"     

"Kau mau aku setuju untuk memenuhi satu permintaanmu, yang entah apa, dengan imbalan kau tidak menjadi pria brengsek yang mempermainkan hati Rosemary? Kau pikir aku Bunda Teresa yang penuh amal?" Aleksis memutuskan ia tak dapat mempercayai Terry.     

"Ya sudah. Besok di kampus aku akan mencari... siap tadi namanya.. Rosemary, ya, Rosemary, dan memberitahunya bahwa aku cuma main-main..."     

Ugh... Aleksis merasa diberi pilihan yang sulit.     

"Masa kau tidak punya perasaan sedikit pun kepada Rosemary?" tanya Aleksis, "Kau kan sudah menciumnya?!"     

"Memangnya kenapa kalau aku menciumnya? Itu kan biasa saja..." kata Terry acuh.     

"Bagaimana bisa kau mencium orang yang tidak kau cintai?" protes Aleksis.     

"Jangankan hanya mencium, laki-laki bisa tidur dengan perempuan yang tidak mereka cintai. Itu hanya kontak fisik, tidak ada artinya," Terry mulai terdengar lelah, "Ini sudah malam, aku mengantuk dan besok ada presentasi tugas di kelas. Aku mau tidur dulu."     

Aleksis ingat perkataan Alaric yang menganggap bahwa ciuman adalah penyatuan perasaan dan emosi dengan orang yang memiliki kecocokan batin, itulah sebabnya ia belum pernah mencium perempuan mana pun hingga ia bertemu Aleksis.     

Aleksis setuju dengan hal ini dan ia juga pernah membaca sebuah penelitian psikologis yang menyimpulkan bahwa manusia memang dapat berhubungan seksual tanpa cinta, tetapi tidak sama halnya dengan berciuman.     

Ciuman melibatkan perasaan. Banyak pekerja seks komersial menolak mencium kliennya agar mereka tidak menggunakan perasaan saat melakukan pekerjaannya, karena ciuman dapat mendatangkan cinta. Tentu mereka tidak ingin jatuh cinta dengan klien yang meniduri mereka hanya untuk kepuasan sesaat.     

Aleksis merasa agak kecewa karena Terry benar-benar tidak peduli kepada Rosemary dan bisa dengan ringan menciumnya seperti itu, sementara gadis itu mungkin menerima ciuman Terry dengan segenap hati.     

Rasanya Aleksis menjadi malu punya kakak yang begitu cuek. Dalam hati ia merindukan Alaric yang menurutnya memperlakukan wanita dengan sangat baik dan penuh hormat.     

"Uhm... biar aku pikirkan dulu kalau begitu," kata Aleksis akhirnya, "Kau jangan putuskan Rosemary dulu, ya... Besok aku beri tahu keputusanku..."     

"Oke, kalau begitu aku tunggu. Selamat malam."     

"Selamat tidur."     

Aleksis menutup panggilan teleponnya. Ia hampir beranjak masuk ke kamar ketika ia tiba-tiba teringat untuk menelepon Alaric.     

"Hei.. kau belum tidur?" terdengar suara Alaric di ujung telepon. "Sedang apa?"     

"Sedang memikirkanmu," Aleksis mengaku.     

Alaric tertawa terbahak-bahak. Astaga... Aleksis memang tidak malu-malu dengan perasaannya.     

"Hmm.. terima kasih. Pantas saja dari tadi telingaku terasa panas..." kata Alaric dengan nada bercanda, "Kau sudah masuk asrama? Bagaimana kamarmu?"     

"Uhm... lumayan. Aku berbagi kamar dengan seorang mahasiswa tingkat dua juga. Orangnya sepertinya baik."     

"Aku senang mendengarnya. Tolong beri tahu aku jadwalmu besok supaya aku bisa mengirim Takeshi dan Mischa untuk menjagamu...."     

Ohhh... Aleksis hampir lupa akan dilemanya mengenai dua pasang pengawal yang tidak saling mengenal itu. Ia masih belum menemukan cara untuk membuat mereka bisa bekerja mengawalnya tanpa saling mengetahui dan bentrok.     

Ia bisa membayangkan reaksi Carl dan Sasha saat melihat ada dua orang misterius membuntuti Aleksis kemana-mana. Mereka pasti akan mengira kedua assassins dari Rhionen itu penguntit, dan demikian juga sebaliknya.     

"I... iya..." jawab Aleksis lemah. "Uhm... kau bisa kirim foto mereka kepadaku supaya aku besok bisa mengenali mereka?"     

"Biasanya aku tidak membagikan wajah anak buahku, tetapi aku membuat pengecualian untukmu," kata Alaric. Dua puluh detik kemudian Aleksis sudah menerima kiriman dua foto.     

Ia sangat terkejut melihat wajah kedua orang itu.     

Takeshi adalah seorang pemuda tampan berusia awal 20'an yang tampak sedikit kutu buku dengan kacamata berbingkai hitam, sementara Mischa tampak sama mudanya, tetapi penampilannya sangat flamboyan dan orang akan mengira entah ia model atau gigolo.     

Inikah wajah dua orang pembunuh paling berbahaya dari Rhionen Assassins? Sama sekali tidak seperti yang dibayangkannya.     

Pengawalnya sendiri, Carl (yang sebenarnya bernama Karel) dan Sasha (yang ejaan aslinya adalah Sascha, diubah seenaknya oleh Aleksis karena ia menganggap nama asli mereka terlalu susah diucapkan) adalah mantan kapten pasukan rahasia Rusia yang sudah berumur 40'an dan mereka tampak sangat menakutkan.     

Kalau ada orang iseng yang mengganggu Aleksis, kehadiran Carl atau Sasha saja sudah cukup membuat nyali mereka menjadi ciut.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.