The Alchemists: Cinta Abadi

Merindukanmu setiap hari **



Merindukanmu setiap hari **

0Mereka saling menggenggam tangan beberapa lamanya sampai napas keduanya perlahan berubah menjadi teratur dan tenang.     

Aleksis yang pertama jatuh tertidur. Alaric merasakan genggaman tangan gadis itu mengendur dan suara napasnya terdengar menjadi halus dan teratur. Ia menoleh ke samping dan menemukan kekasihnya memejamkan mata dengan bibir sedikit terbuka dan wajah yang demikian damainya.     

Alaric tidak menyangka Aleksis bisa terlihat jauh lebih cantik lagi kalau ia sedang tertidur begini. Sungguh-sungguh terlihat seperti malaikat yang membawa kedamaian. Setidaknya saat ini, hati Alaric seperti dipenuhi oleh rasa damai yang terasa asing baginya.     

Selama ini ia hidup sendiri dan tidak memiliki orang yang demikian ingin ia jaga dan lindungi seperti ini. Walaupun pembawaannya halus dan lembut, sesungguhnya pria ini sangat akrab dengan kekerasan dan kekejaman, tetapi sekarang di depan malaikat seperti Aleksis, bagaimana bisa ia berbuat kejam?     

Alaric pelan-pelan bangun dan duduk menikmati pemandangan indah yang sedang berbaring di sampingnya. Ia merasa sangat beruntung bahwa seorang yang demikian cantik dan mengagumkan, mencintainya begini dalam.     

Ia kemudian menyadari akibat kegiatan bercinta mereka yang intens tadi, wajahnya sudah dibasahi peluh dan membuat kulitnya merasa tidak nyaman di balik topengnya. Setelah Alaric memastikan Aleksis sudah pulas tertidur, ia lalu bergerak pelan-pelan ke kamar mandi. Pria itu melepaskan topeng kulit yang menutup separuh wajahnya lalu mencuci mukanya agar terasa segar kembali.     

Wajahnya tanpa tertutup topeng terlihat sangat tampan dengan warna kulit yang agak pucat. Dengan garis-garis wajah halus dan rambut yang panjang, sekilas wajah Alaric terlihat seperti perempuan.     

Ia membenci wajahnya ini.     

Dulu sewaktu ia masih muda dan lemah, beberapa kali ia harus menghadapi orang dengan gangguan seksual yang hendak memaksanya melayani mereka. Pembunuhan pertamanya terjadi saat ia baru berumur 12 tahun saja.     

Sejak itu ia belajar mempertahankan diri dan menjadi ahli membunuh karena orang-orang jahat dan sakit selalu hadir di mana pun ia berada. Setelah ia melatih tubuhnya menjadi tinggi besar dan memotong rambutnya, tidak seorang pun berani mengganggunya.     

Sayangnya rambutnya selalu tumbuh cepat sekali walaupun ia memotongnya. Beberapa tahun terakhir Alaric pun menyerah dan membiarkannya panjang. Ia menyukai topengnya karena dapat menyembunyikan wajah yang ia benci, dan juga menutupi jati diri usianya yang sebenarnya.     

Saat melihat Aleksis mengubah penampilannya kemarin dan terlihat begitu cantik, Alaric hampir tergoda untuk melepaskan topengnya dan menunjukkan bahwa wajahnya pun sebenarnya tidak buruk dan rusak seperti yang selalu ia katakan...     

Tetapi di saat terakhir Alaric mengurungkan niatnya itu. Untuk apa mengambil risiko yang tidak perlu? Toh Aleksis tidak keberatan dengan penampilannya... Ia mencintai Alaric bukan karena wajahnya atau umurnya.     

Pikiran ini membuat seulas senyum terukir di wajahnya. Ia bahagia karena gadisnya menerimanya apa adanya.     

Alaric mengeringkan wajahnya lalu kembali mengenakan topeng kulitnya dan masuk ke kabin. Ia naik ke tempat tidur dan menutupi tubuhnya dan Aleksis dengan selimut. Setelah menutup kembali atap kabin seandainya nanti tiba-tiba turun hujan, ia lalu memeluk Aleksis dan tidur.     

Mereka tidur sangat nyenyak malam itu.     

***     

Keduanya bangun saat matahari sudah tinggi. Suara burung-burung laut dan deburan ombak menjadi musik yang menyambut kedua insan tersebut dari peraduan.     

"Selamat pagi, Tuan Putri." Alaric mencium kening Aleksis lalu duduk di tempat tidur, "Mau sarapan sekarang?"     

Aleksis membuka matanya dengan malas dan mengangguk. Ia menatap Alaric cukup lama dan kemudian mengerutkan keningnya, sambil tangannya meraba dada bidang pria itu. "Hmm... dulu kau punya banyak bekas luka dan tato naga di dada sini... sekarang bekas lukanya banyak menghilang..."     

"Bekas lukanya berangsur menghilang setelah bertahun-tahun," kata Alaric. "Bekas luka yang kau lihat dulu itu berasal dari puluhan tahun sebelumnya, sekarang sudah tidak ada..."     

"Oh... kalau begitu, wajahmu juga puluhan tahun lagi akan bisa pulih?" tanya Aleksis penasaran.     

"Hmm... kenapa? Kau menyesal punya kekasih yang wajahnya rusak?" tanya Alaric dengan nada kecewa.     

Aleksis buru-buru menggeleng. "Bukan itu maksudku... Aku mungkin bisa mempercepatnya..."     

Dalam hatinya Aleksis sudah menghitung, kalau ia menikah dengan Alaric, ia akan dapat meminta ramuan keabadian untuk Alaric dari Paman Aldebar. Pria itu akan memiliki tubuh seorang alchemist yang dapat meregenerasi sel dengan sempurna dan tentu akan dapat dengan lebih cepat menyembuhkan bekas luka ataupun kerusakan di wajahnya.     

"Bagaimana bisa? Satu-satunya cara yang aku tahu adalah transplantasi wajah atau cangkok kulit... dan aku tak mau mengambil risiko itu... Aku tidak keberatan dengan penampilanku sekarang. Kalau kau yang keberatan... aku tak bisa menolongmu," kata Alaric tegas.     

"Uhm.... maksudku bukan transplantasi wajah... Sudahlah, sebaiknya kita tidak usah membahasnya lagi. Kau tahu bahwa dari awal aku menyukaimu apa adanya, aku tidak mementingkan penampilanmu ataupun perbedaan usia di antara kita..." Aleksis tidak ingin hari pertama mereka setelah bercinta semalam dirusak oleh pertengkaran soal wajah Alaric yang sebenarnya tidak menjadi masalah baginya. Ia buru-buru mencium bibir Alaric agar pria itu berhenti bicara.     

"Uhff...." Alaric memang tak dapat melanjutkan bicaranya tentang wajahnya yang rusak, karena Aleksis telah menutup mulutnya dengan bibir mungilnya yang basah.     

Bukankah Aleksis baru mengalami ciuman pertamanya dua malam yang lalu? Kenapa sekarang bisa seagresif ini menciumku? pikir Alaric keheranan.     

Ia akhirnya tak dapat menahan senyum mengingat Aleksis memang pada dasarnya agresif dan blak-blakan. Ternyata, karena ia sangat cerdas, gadis itu pun cepat belajar...     

Laki-laki mana yang tidak tersanjung dihujani ciuman dan kasih sayang oleh seorang perempuan luar biasa cantik yang mencuri hatinya?     

Alaric dalam hal ini hanyalah seorang laki-laki biasa yang tidak tahan godaan. Ia menyambut ciuman Aleksis dengan penuh cinta dan membalasnya dengan gairah yang bangkit setelah beristirahat cukup di tempat tidur yang sangat nyaman.     

Ia memposisikan tubuhnya di atas Aleksis dan menghujani gadis itu dengan ciuman, belaian dan kasih sayang dari segenap tubuhnya. Di bawah selimut, keduanya masih belum berpakaian dan ini memudahkan Alaric untuk mencurahkan cintanya kepada gadis itu dan memasukinya kembali, menyatukan perasaan dan emosi mereka yang telah tertaut sejak semalam.     

"Bu... bukannya.. ah.. kita... ah...mau sarapan...?" bisik Aleksis tersengal-sengal saat Alaric memandunya bercinta sekali lagi pagi itu. Ia tak mendapat jawaban karena pria itu hanya menggeleng dan tersenyum misterius, lalu menggigit lehernya lembut, meninggalkan bekas kecil sebagai tanda cinta.     

Uhmm... oke, sarapan bisa menunggu... pikir Aleksis saat ia memejamkan mata dan menikmati bibir Alaric yang mulai turun ke dadanya.     

***     

Mereka akhirnya sarapan spaghetti dan teh panas sambil duduk di atas dek. Pemandangan di sekitar mereka tampak damai sekali. Sejauh mata memandang hanya ada lautan dan langit biru. Batas antara laut dan langit seperti menghilang di kaki langit, dan mereka merasa seolah berada di kehampaan yang indah.     

"Terima kasih sudah mengajakku ke sini... Ini indah sekali," kata Aleksis sambil menyesap tehnya.     

Alaric mengangguk. "Aku sangat senang kita kemari... Rasanya aku ingin selalu bersamamu..."     

"Aku juga..." Aleksis mengaku. "Kalau kau beri tahu aku alamatmu, aku bisa sering-sering datang..."     

"Oh... itu," Alaric tampak berpikir sejurus, "Mungkin nanti, kalau sekarang jangan dulu. Yang jelas kau tahu kantorku. Kau bisa datang ke sana kapan saja."     

"Uhm... baiklah." Aleksis sebal karena sampai sekarang Alaric masih saja merahasiakan tempat tinggalnya. Ia juga tak dapat memperoleh informasi apa pun dari Carl dan Sasha waktu ia ikut Alaric ke rumahnya dengan naik motor karena mereka kehilangan jejaknya.     

Ia kini membawa alat pelacak, yang telah dimintanya dari Carl. Sebenarnya, kalau perlu Aleksis dapat menaruh pelacak itu di mobil Alaric agar ia bisa mengikuti jejaknya.     

Tapi kemudian gadis itu berpikir ulang. Alaric yang demikian menjaga privasinya tentu tidak bisa sembarangan dilacak. Kemungkinan anak buahnya membersihkan kendaraannya dari pelacak dari waktu ke waktu...     

Kalau sampai mereka menemukan pelacak yang dipasang Aleksis, bisa jadi hubungan di antara keduanya akan rusak, dan Alaric tidak dapat mempercayai Aleksis di masa depan.     

Ia tak dapat mengambil risiko itu...     

Akhirnya Aleksis hanya bisa menghela napas.     

"Kalau begitu... apakah aku boleh memiliki nomor ponselmu? Masakan aku tak bisa menghubungi kekasihku sendiri?" Bukan Aleksis namanya kalau ia tidak mencoba terus.     

Alaric kemudian menyerah. Ia menyerahkan sebuah kotak kecil kepada Aleksis dari saku kemejanya.     

"Ini ponsel baru. Aku menyimpan nomornya hanya untukmu..." Ia tersenyum. "Hanya kau yang bisa menghubungiku di situ."     

"Oh.. baiklah." Aleksis akhirnya ikut tersenyum. Ia mengeluarkan sebuah chip kecil dari dalam kotak itu dan memasukkannya ke dalam jam tangannya. Ini akan menjadi perangkat tambahan di jam ponselnya, supaya akhirnya ia bisa menghubungi Alaric. Ia lalu mencium pria itu dan membelai dagunya, "Terima kasih!"     

Mereka lalu menghabiskan sisa waktu mereka di laut dengan bermalasan, Aleksis duduk di pangkuan Alaric lalu mengeluarkan salah satu bukunya untuk dibaca, sementara Alaric hanya bermeditasi dan menenangkan pikiran.     

Awalnya sulit, dengan kehadiran Aleksis yang menggoda dan wanginya yang seperti citrus itu, tetapi setelah sepuluh menit ia berhasil mengosongkan dirinya dan menikmati waktu tenang dalam meditasi yang damai.     

Sore hari mereka kembali ke daratan dan mobil Mercedes anti-peluru yang kemarin mengantar mereka ke Harbourfront telah menunggu di tempat parkir. Alaric mengantar Aleksis kembali ke Hotel Continental karena gadis itu harus mengemas barang-barangnya untuk masuk asrama dan mengantarkan Pangeran Siegfried Kecil ke rumah Terry.     

"Kapan kau akan pergi untuk business trip ke Inggris?" tanya Aleksis sebelum turun dari mobil.     

"Dua hari lagi.." jawab Alaric.     

"Berapa lama?"     

"Paling cepat seminggu, tapi bisa jadi sebulanan, tergantung dari perjanjian kerjasama yang kami bicarakan nanti."     

Hati Aleksis sebenarnya sangat berat melepas Alaric untuk bertemu orang-orang dari keluarga Meier, tetapi ia tak punya dalih untuk mencegah kepergian pria itu.     

"Kau telepon aku setiap hari ya..." bisiknya dengan nada sedih. "Kalau tidak, aku akan menyusulmu ke Inggris. Kau pasti malu kalau aku sampai muncul di sana karena aku merindukanmu..."     

"Kenapa malu?" Alaric tampak sangat terhibur melihat tingkah Aleksis, "Justru aku akan bangga kalau kau datang. Semua orang bisa melihat betapa cantiknya kekasihku..."     

"Benarkah? Kau tidak keberatan kalau aku datang?" tanya Aleksis dengan nada bersemangat. "Kalau begitu aku akan datang."     

"Aku akan meneleponmu setiap hari, tetapi sebaiknya kau tidak usah datang dulu, kecuali kalau aku memang akan sebulan berada di sana. Nanti aku kabari."     

"Hm... janji ya?"     

"Aku berjanji akan mengabarimu. Baiklah... selamat malam. Salam untuk Pangeran Siegfried Kecil." Alaric mencium Aleksis lalu melepas gadis itu masuk ke dalam Gedung Continental.     

Setelah mobilnya berjalan satu menit, tiba-tiba ponselnya berbunyi.     

"Astaga... " Alaric mengangkat panggilan yang ternyata dari Aleksis, "Ada apa meneleponku sekarang? Apakah ada yang ketinggalan?"     

"Aku hanya mau mengingatkanmu untuk meneleponku setiap hari. Aku sudah merindukanmu." kata Aleksis di ujung telepon.     

Perasaan di dada Alaric tak dapat diungkapkan dengan kata-kata. Aleksis begitu polos dan terbuka dengan perasaannya.     

Alaric tak pernah merasa demikian dicintai.     

Matanya agak basah saat ia melepaskan topengnya dan mengusap matanya dengan haru.     

"Aku pun sudah merindukanmu, Sayangku. Jaga kesehatanmu, ya. Besok Takeshi dan Mischa akan menghubungimu, agar kau tidak perlu lagi repot menyamar untuk menghindari gangguan laki-laki iseng. Aku akan meneleponmu setiap hari," kata Alaric dengan nada suara yang lebih lembut dari biasanya. "Aku mencintaimu."     

Ia baru menyatakan cinta kepada Aleksis tadi malam untuk pertama kalinya. Namun sekarang kata-kata itu sudah meluncur dengan begitu mudah dari bibirnya, tanpa terasa canggung sama sekali.     

Rasanya ia kini sudah terbiasa dengan perannya sebagai kekasih Aleksis.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.