The Alchemists: Cinta Abadi

Nasib jam Aleksis



Nasib jam Aleksis

0Aleksis mengintip lewat pintu yang sedikit terbuka dan melihat Profesor Rodriguez sedang berdiri menghadap para siswa dengan membelakangi pintu. Ia tampak sibuk membahas sesuatu di tengah wajah-wajah mengantuk pada mahasiswa yang tidak terbiasa kuliah pagi.     

Aleksis yakin banyak di antara mereka yang menyalahkan diri sendiri karena bela-belain masuk kelas sepagi itu berharap bisa bertemu dirinya, tetapi ia malah tidak masuk kelas. Ia sedikit merasa bersalah kepada mereka.     

Tepat saat itu tatapannya beradu dengan Ian yang kebetulan sedang menoleh ke pintu. Pemuda itu tampak terkejut tetapi senang melihat kehadirannya. Ia lalu memberi tanda dengan dagunya agar Aleksis masuk dengan sembunyi-sembunyi.     

Aleksis mengangguk dan berjingkat-jingkat seperti kucing masuk ke dalam kelas sambil merambati tembok, berusaha tidak menarik perhatian. Para siswa yang sudah melihat kehadirannya banyak yang berusaha menahan tawa dan pura-pura memfokuskan perhatian mereka kepada Profesor Rodriguez, agar ia tidak curiga.     

Setelah merambat dengan sangat hati-hati sampai harus menunduk-nunduk di lantai, akhirnya Aleksis berhasil tiba di tengah ruangan dan mengambil duduk di kursi sebelah Ian yang dikosongkan untuknya.     

Phfew....     

Tepat saat ia baru menarik napas lega, Profesor Rodriguez menoleh kepadanya dan menunjuk tepat ke arahnya. "Kamu, mahasiswa yang baru datang! Coba jelaskan teori ekonomi Wendell tentang manajemen produktivitas terbaik!"     

"Eh...?" Aleksis menunjuk dadanya sendiri. Ia tidak menyangka akan langsung menjadi sasaran Profesor Rodriguez begitu masuk kelas. Ia sama sekali belum membuka buku dan mengetahui topik yang dibahas hari ini.     

Sebentar... Teori Wendell... Wendell.... Wendell??     

"Oscar Wendell?!" tanya Aleksis memastikan. Ia sih kenal dengan Oscar Wendell, dulu salah satu konsultan di perusahaan ayahnya, dan ia beberapa kali bertemu pakar ekonomi itu di Jerman. Tapi kan Profesor Wendell sekarang sudah tua sekali. Aleksis malah tidak tahu beliau punya teori ekonomi segala.     

"Iya, Wendell mana lagi?" tanya Profesor Rodriguez tidak sabar.     

Aleksis punya daya ingat sangat kuat, dan ia berkonsentrasi sebentar mengingat-ingat perbincangan antara Kurt Van Der Ven dengan Oscar Wendell saat acara makan malam dulu. Mereka waktu itu sedang asyik membahas produktivitas. Inikah yang dimaksudkannya?     

Akhirnya Aleksis menerangkan apa-apa yang didengarnya dari percakapan itu dan serentak mengundang desahan kagum teman-teman sekelasnya. Ia baru saja menyebutkan teori yang diminta Profesor Rodriguez sekaligus menerangkannya secara lebih detail dengan memberikan contoh-contoh yang tidak ada di buku.     

Profesor Rodriguez tampak terkesima mendengarnya. Ia menatap Aleksis dengan pandangan penuh perhatian. Ia sudah mendengar bahwa mahasiswa baru di jurusan Manajemen Informasi ini sangat cantik, tetapi ia tidak menyangka orangnya ternyata sangat cerdas.     

Akhirnya ia mendeham dan melambaikan tangannya, "Sudah.. sudah... kalau kau lanjutkan terus, nanti tidak ada lagi yang bisa aku ajarkan. Duduklah!"     

Aleksis tersenyum manis sekali lalu mengangguk. Ia menoleh ke arah Ian, "jawabanku benar ya?"     

Ian mengangguk dan mengangkat jempolnya.     

Ia lalu menepuk bahu Aleksis yang telah kembali duduk di bangkunya dan bertanya, "Kenapa tadi malam kau tidak datang ke pestaku? Kau sudah janji mau datang."     

"Aku ada urusan darurat. Kapan-kapan kalau ada lagi aku akan datang."     

"Bagaimana kalau malam ini? Aku bisa mengadakan pesta lagi untukmu," kata Ian sambil tersenyum lebar.     

"Ugh... tidak usah." Aleksi menggeleng, lalu berusaha memfokuskan pandangannya kepada dosen. Sebenarnya Profesor Rodriguez sama sekali tidak marah kepada Aleksis yang tadi datang terlambat dan mengendap-endap masuk ke kelasnya. Ia tahu kehadiran gadis itu adalah penyebab kelasnya sekarang penuh.     

Ia tahu dengan sistem pendidikan sekarang, siswa boleh memilih belajar di kelas atau dari jarak jauh, namun sebagai orang yang konvensional ia lebih menyukai kegiatan tatap muka dengan murid-murid yang banyak dan perhatian. Ia kurang menyukai datang ke kampus hanya untuk mengajar segelintir siswa. Jadi kehadiran Aleksis di kelas sebenarnya membuatnya senang.     

Begitu kelas berakhir, Aleksis segera meloncat dari bangkunya dan bergegas keluar. Ia harus ke Gedung C dan mencari Rosemary.     

"Eits... mau kemana buru-buru sekali," terdengar sebuah suara dari pintu saat Aleksis melesat keluar.     

Saking buru-burunya Aleksis tidak melihat ke depan dan tubuhnya lagi-lagi menabrak dada bidang Nicolae yang ternyata menunggunya di depan pintu. Seperti biasa ia terbanting karena menabrak tubuh keras seperti tembok tadi dan Aleksis akan jatuh ke lantai kalau Nicolae tidak segera menahan tubuhnya.     

"Astaga... badanmu keras seperti tembok... " omel Aleksis seperti biasa. Kali ini Nicolae yang sudah hapal urutannya yang meneruskan kalimat gadis itu.     

"Astaga badanmu keras seperti tembok.. Makan apa sih kau ini....?!" kata Nicolae meniru kata-kata Aleksis. Ekspresi pemuda itu tampak lucu sekali meniru-niru wajah cemberut Aleksis dan cara bicaranya saat mengomel. Ia sudah hapal, karena Aleksis selalu mengomelkan hal yang sama.     

Gadis itu mengerucutkan bibirnya karena merasa Nicolae mengejeknya lalu buru-buru melepaskan diri dari pelukan pemuda itu.     

"Aku tidak ngomong begitu ya... bibirku tidak semonyong itu," omel Aleksis sambil berkacak pinggang. "Kau kok ada di sini? Bukannya tadi kau bilang mau memamerkan ketampananmu kepada mahasiswa-mahasiswa baru?"     

"Kau kan mahasiswa baru." tukas Nicolae sekenanya. Ia lalu menarik tangan Aleksis, "Ayo kita ke Gedung C, sebelum si Rosemary itu kabur."     

Aleksis terpaksa mengikutinya berjalan ke Gedung C, berusaha melepaskan tangannya, tetapi pemuda itu tidak membiarkannya.     

"Kau ini apa-apaan, sih? Lihat, semua orang memperhatikan kita," desis Aleksis.     

"Aku ini kan kekasih pura-puramu di kampus, kau sudah lupa?" tanya Nicolae.     

Aleksis menatap pemuda itu dengan mata penuh pertanyaan, "Aku... memang setuju, tapi kan ada syaratnya..."     

"Bahwa aku tidak boleh jatuh cinta kepadamu?" Nicolae mengangkat sebelah alisnya. "Aku kan sudah janji."     

"Baiklah kalau begitu..." Aleksis tampak lega. Ia lalu menarik lepas tangannya dari genggaman Nicolae dan menggandeng pemuda itu, "Lebih baik begini saja, lebih meyakinkan."     

Nicolae memandang Aleksis yang tampak menggandeng mesra tangannya, lalu ia tersenyum tipis dan mengangguk. "Boleh juga."     

Mereka berjalan dengan mesra diiringi pandangan kaget para mahasiswa lainnya. Segera gosip menyebar bagai kebakaran hutan, bahwa Nicolae, sang idola ternyata menjalin hubungan dengan si murid baru yang cantik itu.     

Mereka tiba di Gedung C, dan belum sempat Aleksis masuk ke dalam untuk mencari Rosemary, ia sudah melihat gadis itu di depan gedung sedang bercakap-cakap dengan Terry. Wajahnya tampak cerah sekali.     

"Eh... mau apa mereka?" gumam Aleksis keheranan. Ia buru-buru menghampiri Terry. "Kak, aku perlu bicara dengan Rosemary..."     

Terry menoleh dan mengernyitkan alisnya saat melihat Aleksis datang bersama Nicolae. Ia mendengus pelan dan beralih kepada Rosemary, "Terima kasih kau sudah menyimpankan jam adikku. Jangan lupa nanti siang aku tunggu di kafetaria, kita makan siang bersama."     

Rosemary tampak tersipu-sipu dan mengangguk. Ia lalu berjalan pergi meninggalkan mereka. Sesekali ia menoleh ke arah Terry. Pemuda itu hanya melambai sekali lalu mengarahkan pandangannya kepada Aleksis.     

"Kau mau cari jam ponselmu ini?"     

Ia mengeluarkan jam ponsel Aleksis dari tasnya dan menyerahkannya ke tangan gadis itu. Aleksis berteriak senang karena jamnya kembali. Tetapi kebahagiaannya hanya sementara. Ia sudah melihat jam itu rusak digilas benda berat.     

"Ini rusak... Apa yang terjadi?" tanyanya keheranan.     

"Rosemary bilang dia menemukan jammu ini di pinggir jalan, sepertinya digilas mobil lewat. ia mengenalinya sebagai milikmu karena ia pernah melihatnya waktu kau di kamar asramanya." Terry menggeleng-geleng, "Walaupun sudah rusak, ia tetap ingin mengembalikannya kepadamu, dan karena dia sudah tahu kau adalah adikku, ia mencariku untuk memberikannya kepadamu."     

Aleksis dan Nicolae saling pandang. Mereka ingat video di tablet Nicolae tadi, sewaktu Rosemary memungut jam Aleksis, benda itu masih baik-baik saja. Mengapa ia berbohong seperti ini?     

Aleksis mengerang kesal. Ia buru-buru memeriksa chip yang dipasang di dalam jamnya, berharap chip itu masih bagus dan ia bisa menyelamatkannya agar dapat menghubungi Alaric...     

Tidak bisa... chip itu juga sudah hancur.     

Akhirnya spontan air mata mengalir deras saat Aleksis menangis sedih sekali di depan Nicolae dan Terry yang kebingungan melihatnya.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.