The Alchemists: Cinta Abadi

Pembicaraan hati ke hati di mobil



Pembicaraan hati ke hati di mobil

0Sepanjang malam itu mereka semua menikmati minuman dan kebersamaan yang sangat jarang terjadi. Lauriel dan para anak buahnya bercakap-cakap tentang sketsa Takeshi dan Mischa yang sudah dibuat Nicolae dan rencana Peach dan Endo yang akan menyusup ke kantor pusat Rhionen Industries di China.     

"Kalau semua itu gagal, maka aku akan memerlukan bantuanmu, Marion," kata Lauriel sambil berdeham. Ia menoleh ke arah Marion yang sedang duduk menyandar ke tembok sementara Jean memijat kakinya yang 'terkilir'.     

Gadis itu tidak memperhatikan ucapan Lauriel karena ia masih terpesona melihat betapa ahlinya tangan-tangan Jean memijat lembut kakinya sehingga gadis itu merasa tidak keberatan kalaupun ia harus terkilir sungguhan. Lauriel terpaksa batuk-batuk kecil dan mengulangi ucapannya.     

"Marion," Jean menepuk lutut Marion yang masih tercengang.     

Gadis itu membelalakkan mata keheranan. "Ada apa?"     

Jean mengunjukkan dagunya ke arah Lauriel yang sedang menatap ke arah mereka dengan pandangan tidak sabar.     

"Aku bilang, kalau kami gagal menemukan orang-orang Rhionen Assassins dengan cara itu, aku akan membutuhkan bantuanmu," kata Lauriel mengulangi kata-katanya.     

"Oh, ya ... tentu saja, Lauriel," kata Marion sambil lalu. Ia menatap Jean kembali dan memberi tanda agar pijatannya diteruskan. Marion melambaikan tangannya dengan santai, "Aku akan menyusup kemana pun dibutuhkan."     

"Uhm ..." Wajah Lauriel tampak mulai tegang. Ia tidak tahu apakah Marion menganggap serius misi mereka dengan sikapnya seperti ini. Ia menduga-duga bahwa Marion dan Jean sengaja memanas-manasinya tetapi ia tak bisa berbuat apa-apa, karena ia tidak berhak melarang Marion untuk berhubungan dengan siapa pun. "Kau tahu apa yang harus dilakukan?"     

Marion mengangguk. "Aku harus menyamar sebagai Aleksis untuk memancing Alaric Rhionen keluar."     

Semua terkejut mendengar kata-kata Marion yang demikian santai.     

"Kau sudah tahu semuanya?" tanya Lauriel keheranan. Ia tidak mengira tanpa diberi tahu pun ternyata Marion sudah memahami semua yang terjadi dan bahkan tahu apa yang harus dilakukan.     

"Siapa Alaric Rhionen itu?" tanya Jean keheranan. "Apakah ada hubungannya dengan Rhionen Industries?"     

Marion mengangguk. "Rhionen Industries itu sebenarnya bentuk legal dari Rhionen Assassins. Mereka sangat berbahaya dan misterius. Bahkan kami belum tentu bisa menemukan mereka. Maka jalan terakhir mungkin dengan cara memancing pimpinannya keluar, karena ia memiliki hubungan dengan Aleksis Schneider."     

Jean tertegun mendengarnya. Ia menoleh ke arah Finland dan menemukan bahwa sahabatnya itu sama terkejutnya dengan dirinya.     

Finland belum mengetahui secara mendetail apa yang terjadi kepada Aleksis. Ia menoleh kepada Caspar dan meminta penjelasan. Suaminya itu tampak salah tingkah.     

"Apakah Aleksis terlibat dengan orang-orang berbahaya???" tanya Finland histeris. "Kenapa aku tidak diberi tahu?"     

"Sayang, aku tidak ingin kau menjadi kuatir. Biarkan kami yang mengurusnya. Semua akan baik-baik saja," Caspar mencoba membujuk istrinya yang terlihat panik. "Lauriel dan aku, bahkan Aldebar sudah turun tangan. Kita akan temukan siapa pelaku di balik semua ini."     

Finland menggeleng-geleng kalut, ia segera beranjak dan masuk ke ruang perawatan Aleksis. Ia merasa sangat gundah karena mendengar anaknya terlibat dengan orang-orang berbahaya. Ia menjadi semakin takut membiarkan anak-anaknya pergi ke dunia luar.     

Jean melihat itu semua dengan pandangan kuatir. Ia menyesali dirinya yang tidak memiliki kemampuan apa pun untuk membantu Caspar dan Lauriel. Ia hanya seorang aktor.     

Lauriel menghela napas panjang. Ia menghabiskan birnya lalu mengisi gelasnya kembali sampai penuh. "Baguslah kalau Marion sudah mengerti. Minggu depan kita berkumpul di Grosetto. Semoga kakimu cepat sembuh ya."     

Marion mengangguk.     

Ketika malam sudah larut dan semua orang harus pergi Marion berbisik kepada Jean untuk mengantarnya pulang.     

"Aku tak bisa pulang sendirian dengan kondisi kakiku 'terkilir', kan? Kau pinjam mobil dan antar aku pulang." kata gadis itu. "Rumahku di Basel."     

Jean membuka peta dan mengerutkan kening, "Itu dua jam perjalanan jauhnya."     

"Kau mau lukisan Monalisa atau tidak?" tanya Marion sambil mengulurkan tangannya minta dibantu berdiri.     

Jean hanya bisa geleng-geleng kepala. Sebenarnya ia tidak serius dengan perjanjian yang dibuatnya dengan Marion. Ia tahu lukisan Monalisa adalah harta gadis itu yang paling berharga dan merupakan kebanggaannya, karena ia kerap menyombongkan benda itu sebagai hasil pencuriannya yang paling epik. Jean tidak terlalu menggemari lukisan, apalagi yang semainstream Monalisa.     

"Baiklah," katanya kemudian. Ia membantu Marion bangkit dan menghampiri Caspar untuk meminjam mobil.     

"Kenapa tidak diantar supir saja?" tanya Caspar keheranan.     

Marion buru-buru menjawab, "Karena Jean akan menginap."     

Dari sudut matanya ia mengerling ke arah Lauriel dan berusaha melihat reaksinya. Berhasil! Lauriel tampak tertegun dan mengerutkan kening lalu menghela napas dan kemudian masuk ke dalam rumah.     

Jean mengangkat bahu dan menunjuk Marion, "Seperti yang dia bilang."     

Caspar hanya bisa menyipitkan mata mengamati kedua orang itu lalu memanggil seorang staf untuk membawakan kunci mobil Mercedesnya. "Hati-hati di jalan."     

"Terima kasih."     

Jean kembali melakukan tugasnya sebagai 'kekasih' yang baik dan membopong Marion yang 'terkilir' masuk ke dalam mobil. Sepuluh menit kemudian mereka sudah melaju di jalan raya A1 menuju Basel.     

"Terima kasih atas semua bantuanmu hari ini," kata Marion di perjalanan. Ia mencium pipi Jean yang sedang menyetir.     

Pria itu menoleh heran dan tersenyum sambil mengangkat alisnya, "Ini untuk apa? Jangan bilang kau sudah jatuh cinta kepadaku."     

Marion memukul bahunya. "Enak saja! Kalau kau macam-macam bisa kusembunyikan mayatmu biar tidak ditemukan orang sampai seratus tahun."     

"Ouch ... kau selalu segalak ini ya?" tanya Jean sambil geleng-geleng kepala. "Laki-laki tidak suka perempuan galak."     

Marion hanya mengerucutkan bibirnya tidak menjawab. Suasana kemudian menjadi hening. Marion mulai salah tingkah karena ia tidak biasa menghadapi keheningan. Akhirnya ia memutar radio agar ada musik. Stasiun radio yang diputarnya baru saja selesai memutar sebuah lagu dari band yang sedang naik daun, dan kemudian mengalunlah sebuah lagu yang sedih sekali,     

"Uhm ..." Setelah satu menit barulah Marion tersadar lagu yang sedang mereka dengar adalah lagu terbaru Billie Yves, seorang penyanyi legendaris yang sangat terkenal di dunia, dan merupakan kekasih Jean. Uhm ... mantan kekasih, kalau menurut pengakuan Jean.     

Karena merasa canggung, ia bergerak hendak mengganti saluran radio, tetapi tangannya disentuh oleh tangan Jean yang mencegah tindakannya.     

"Kenapa diganti?" tanya Jean dengan suara halus.     

"Uhm ... ini lagunya Billie. Aku pikir kau ... akan merasa canggung mendengarnya. Aku tak ingin membongkar luka hatimu," kata Marion jujur.     

Jean tersenyum dan menggeleng, "Tidak kok. Billie adalah seorang seniman yang sangat berbakat dan aku menyukai semua lagunya. Walaupun hubungan kami berakhir, aku tidak pernah berhenti menjadi penggemarnya."     

"Oh ..." Marion tidak mengira Jean akan berpikiran seperti itu. Ia akhirnya mengangguk. "Lagunya memang bagus."     

Jean mengangguk. Matanya awas memperhatikan jalanan sementara pikirannya mengenang Billie dan hatinya merengkuh keindahan lagu yang sedang dinyanyikan gadis itu.     

"Kalau boleh tahu ... kenapa kalian berpisah?" tanya Marion. "Setahuku kalian sudah sangat lama berhubungan. Tidak usah dijawab kalau tidak mau."     

Jean mengerutkan keningnya dan mencoba menimbang-nimbang apakah ia dapat membagikan masalah pribadinya kepada Marion, gadis yang bisa dibilang baru dikenalnya itu. Akhirnya ia merasa tidak ada salahnya ia bercerita sedikit.     

"Aku dan Billie terlalu sibuk dengan karier masing-masing. Kami berdua sangat sukses, sangat terkenal dan tidak punya waktu untuk kehidupan pribadi. Billie ingin menikah dan memiliki anak, tetapi aku pribadi tidak melihat kemungkinan itu dengan kesibukan kami." Jean menghela napas panjang, "Dan sebenarnya aku juga tidak pernah berencana menikah dan punya anak. Tadinya aku pikir aku bisa berubah, ternyata setelah 17 tahun aku sadar bahwa sekeras apa pun aku mencoba, aku tidak bisa berubah. Orang tuaku bercerai ketika aku berumur 5 tahun dan aku takut hal yang sama akan terulang. Aku tak mau membawa-bawa anak dalam kehidupan seperti itu. Lagipula aku sudah punya Terry, anak hasil donor embrio 23 tahun yang lalu. Buatku itu sudah cukup."     

Marion tidak mengira Jean akan langsung bersikap terbuka kepadanya dan ia hanya bisa menekap mulutnya dengan kaget.     

"Itu tidak adil buat Billie," kata Marion menanggapi. "Kalau kau tahu bahwa kau tidak menginginkan hal yang sama dengannya, kau seharusnya bilang dari awal."     

"Yah, aku tidak tahu bahwa aku tidak bisa berubah. Aku sudah mencoba."     

"Kalau Billie menghentikan kesibukannya dan tinggal bersamamu, apakah kau mau menikah dengannya?" tanya Marion lagi. "Kau bilang tadi masalahnya adalah kesibukan kalian berdua."     

Jean mengerutkan keningnya dan ikut berpikir, "Aku sebenarnya sudah mengambil cuti setahun dari pekerjaan, dan setelah ini aku akan memalsukan kematianku dan mengambil identitas baru. Billie tidak mau ikut. Mungkin aku kurang meyakinkannya. Rasanya sudah beberapa tahun terakhir ini kami memikirkan bahwa berpisah adalah pilihan terbaik. Aku pikir, aku tidak akan pernah berubah."     

Marion menatap lurus ke depan saat mendengar kalimat terakhir Jean. Ia lalu menggumam pelan. "Itu karena kau belum menemukan orang yang tepat."     

"Apa kau bilang?" tanya Jean sambil menoleh keheranan.     

"Hmm ... Lauriel juga dari dulu berkata begitu, bahwa ia tak ingin menikah dan punya anak. Itulah sebabnya Luna meninggalkannya dan pergi ke Jerman saat mengetahui bahwa ia hamil. Ia tak percaya Lauriel begitu tega menolak anak dalam kandungannya - padahal semua alchemist hanya bisa punya anak kalau kedua orang tuanya menginginkan anak. Lauriel tidak tahu bahwa Luna sedang hamil saat ia pergi. Ketika kabar itu sampai kepadanya, Endo dan Neo sedang terjebak di Manchuria dalam tawanan penjajah Jepang dan ia harus membebaskan mereka. Ketika ia tiba di Jerman, semua sudah terlambat. Itu yang menjadi penyesalan Lauriel hingga saat ini."     

"Benarkah itu yang terjadi?" tanya Jean keheranan. Ia tidak pernah mendengar cerita ini tentang Lauriel. Sekarang semuanya menjadi masuk akal, kenapa Lauriel bisa kehilangan kekasih dan anaknya dan baru bertemu kembali beberapa minggu yang lalu.     

"Aku sudah mengenal Lauriel selama 100 tahun, begitu perang dunia 2 usai. Ia mencari Luna seperti orang gila waktu itu." Pandangan Marion tampak menjadi sendu. "Sebenarnya kalau kupikir-pikir lagi, aku sangat terkesan melihat betapa dalam Lauriel mencintai Luna. Dari situlah kekagumanku dimulai."     

"Apakah menurutmu sebenarnya kau tidak mencintainya?" tanya Jean kemudian.     

Marion mengangkat bahu, keheranan dengan dirinya sendiri. "Anehnya, setelah hari ini aku merasa melihatnya dengan cara berbeda. Ya, mungkin aku sebenarnya hanya kagum karena ia begitu penuh cinta. Mungkin aku tidak sungguh-sungguh jatuh cinta kepadanya."     

"Hmm ... aku senang mendengarnya," kata Jean sungguh-sungguh. "Aku tidak suka melihat seorang gadis menderita karena cinta. Kau sangat cantik dan menyenangkan. Aku yakin kau berhak mendapatkan laki-laki yang sungguh-sungguh mencintaimu."     

"Terima kasih," kata Marion. Ia menepuk bahu Jean dengan lembut lalu diam, sibuk dengan pikirannya sendiri.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.