The Alchemists: Cinta Abadi

Festival Oktoberfest di Desa Schäfer



Festival Oktoberfest di Desa Schäfer

0"Kalau aku boleh tahu, apa yang membuatmu dan Billie tidak dapat bersama?" tanya Finland kemudian. "Banyak orang yang perlu waktu puluhan hingga ratusan tahun untuk dapat menjadi yakin dengan pasangannya. Seperti Ned dan Portia misalnya, mereka bersama selama 200 tahun baru kemudian memutuskan menikah. Kalian baru bersama selama 17 tahun. Jadi ... masih banyak waktu untuk saling mengenal."     

Jean tersenyum mendengarnya.     

"Kau lupa Ned dan Portia adalah alchemist murni. Sedari lahir mereka tidak mengenal kehidupan lain. Bagi mereka kehidupan berjalan sangat lambat karena waktu ada di tangan mereka. Kita bertiga adalah manusia biasa. Kau, aku dan Billie terbiasa dengan waktu manusia normal. Kita biasanya menemukan pasangan di usia 20-30an dan menikah sebelum usia 40, lalu membangun keluarga." Ia memejamkan matanya lalu membaringkan tubuhnya di rumput dengan sikap santai yang sudah lama tidak dilihat Finland. "Setelah 17 tahun bersama, Billie kemudian menyadari bahwa kami memang berbeda. Dia ingin menikah dan punya anak, aku tidak."     

"Aku tahu kau trauma dengan pernikahan karena orang tuamu bercerai saat kau kecil, tapi kenapa kau membiarkan dirimu didikte oleh pengalaman masa lalu orang tuamu?" tanya Finland lagi.     

"Kenapa kau tidak bercermin pada berbagai pernikahan yang berhasil? Aku dan Caspar misalnya. Kami telah bersama selama 21 tahun dan sampai sekarang masih saling mencintai, bahkan bisa dibilang semakin hari semakin besar. Ketiga anak kami menjadi pelengkap yang membuat hidup kami menjadi lebih bahagia. Aku takkan bisa membayangkan hidupku tanpa mereka."     

"Mungkin lukaku akibat perceraian orang tuaku masih terlalu dalam dan hingga 40 tahun tidak juga sembuh," Jean mengangkat bahu, masih sambil memejamkan matanya.     

"Billie adalah seorang gadis yang baik. Dia terlalu baik untukku. Aku sedih saat ia beberapa kali menyatakan keinginannya untuk menjadi seorang ibu. Dia menyayangi Terry, tetapi ia ingin punya anak sendiri. Kau tahu sebagai alchemist kita hanya bisa memiliki keturunan kalau kedua orang tuanya menginginkan anak. Setelah belasan tahun mencoba, Billie tahu ia takkan bisa mendapatkan anak dariku karena aku tidak menginginkannya.     

Aku sedih saat ia menangis di dadaku dan bertanya apa kesalahannya? Dia tidak salah, aku yang salah. Beberapa albumnya yang terakhir semakin dipenuhi kesedihan. Aku merasa bersalah kalau terus mengikatnya dalam hubungan kasih kalau aku tak dapat memberikan apa yang dia inginkan. Karena itu aku memilih pergi."     

Finland tertegun. Setelah bersahabat dengan Jean selama hampir seperempat abad, baru sekarang mereka bicara sedemikian mendalam tentang hal ini. Ia tak mengira Jean demikian takut mengikatkan diri dalam pernikahan.     

Ia merasa kasihan kepada Billie yang dia tahu sangat mencintai Jean. Ia masih selalu mendengarkan lagu-lagu Billie dan ia sekarang mengerti kenapa lagu-lagu Billie akhir-akhir ini terasa semakin gelap. Ternyata ia dan Jean sudah mengakhiri hubungan mereka.     

"Aku berharap, kau akan menemukan apa yang kau cari, Jean." kata Finland kemudian setelah terdiam beberapa lama. Bunyi di ponselnya membuatnya tergugah. Ia melihat ada pesan masuk dari suaminya. "Ah, Caspar mencariku. Kau mau ikut kembali ke rumah?"     

Jean membuka sebelah matanya dan tersenyum. "Tidak, kau pergilah. Aku masih mau di sini."     

"Baiklah, sampai nanti." Finland menepuk bahu Jean lalu bangkit berdiri dan berjalan kembali ke arah mansion.     

Jean berbaring di padang rumput selama setengah jam sambil memejamkan matanya dan menikmati bunyi desau angin dan cericit burung-burung di sekitarnya. Perasaannya yang gundah pelan-pelan menjadi damai.     

Setelah satu jam ia memutuskan bangkit dan berjalan kaki ke desa terdekat. Karena wajahnya sudah sangat dikenal, ia sengaja memakai kaca mata hitam, syal yang menutupi hampir separuh wajahnya dan topi sport. Udara di musim gugur sudah mulai menusuk dan penampilannya yang serba tertutup tidak menarik perhatian.     

Di pusat desa yang terdiri dari berbagai restoran dan toko-toko sedang ada keramaian. Banyak orang mengenakan pakaian tradisional dan ada pertunjukan musik yang meriah. Jean melihat tulisan besar-besar di berbagai lokasi "Festival Oktoberfest Desa Schäfer".     

Oktoberfest adalah festival sepanjang bulan Oktober yang menjadi tradisi di Jerman saat orang-orang mengadakan keramaian dan minum bir banyak-banyak. Rupanya tradisi itu sampai ke desa ini, karena sebagian penduduk Swiss memang keturunan Jerman. Walaupun sekarang masih akhir bulan September, tetapi rupanya kemeriahan Oktoberfest sudah mulai dirayakan.     

Suasana hati Jean yang mendung terasa menjadi ringan saat melihat orang-orang berpesta dan bercakap-cakap gembira sambil menikmati bir dan hidangan kecil. Banyak juga wisatawan yang terlihat bukan dari Swiss dan ikut menikmati suasana meriah itu.     

Jean duduk di sebuah kursi yang kosong dan memesan segelas glow wine. Pelayan tampak mengerutkan kening karena di festival oktoberfest saat berbagai bir terbaik dikeluarkan dengan harga promo tamu satu ini justru memesan glow wine.     

"Biasanya kami belum mengeluarkan glow wine di bulan seperti ini, tetapi Anda beruntung karena pemilik restoran sedang ingin membuatnya, jadi minggu ini kami menyediakan glow wine," komentar pelayan itu.     

Jean tersenyum, "Terima kasih."     

Setelah pelayan itu pergi Jean memperhatikan orang-orang di sekitarnya yang sedang asyik mengobrol dan menikmati pertunjukan musik. Ia merasa senang karena memutuskan datang kemari, menurutnya orang-orang di mansion yang sedang gundah mungkin juga akan merasa baikan bila datang ke desa dan berpesta. Ia mengambil ponselnya dan mengirim pesan kepada mereka.     

[Di desa Schäfer sedang ada perayaan Oktoberfest, kalian datang saja ke sini untuk bersenang-senang.]     

Ia mengirim pesan ke grup.     

Beberapa menit kemudian ada balasan dari Caspar.     

[Kita bisa adakan Oktoberfest sendiri di mansion. Nanti malam jam 8 malam sebelum semua berangkat.]     

Jean hanya bisa memutar bola matanya. Ia tahu betapa Caspar sangat menyukai privasi dan tidak mau berbaur dengan manusia biasa. Pria itu jauh lebih parah daripada artis-artis Hollywood yang menyembunyikan kehidupan pribadi mereka. Ia hanya akan makan di restoran kalau ia bisa menutup restoran itu untuk umum.     

Jean merasa kasihan kepada anak-anaknya yang tidak dapat menikmati kehidupan seperti anak-anak normal dan berbaur dengan manusia biasa. Tetapi mengingat apa yang terjadi kepada Aleksis, ia dapat memahami kekeraskepalaan Caspar yang tidak membiarkan anak-anaknya hidup di dunia luar.     

Sebagai aktor yang sangat terkenal Jean sendiri harus menyembunyikan diri dan sering kali menyamar bila ia ingin berjalan di antara orang banyak tanpa dikejar-kejar penggemar, tetapi ia masih lebih memilih melakukan itu daripada menjauhkan diri dari manusia lainnya.     

"Permisi, kursi ini kosong?" tiba-tiba terdengar sebuah suara renyah membuyarkan lamunannya. Dari tadi Jean terlalu asyik dengan dunianya sendiri dan setelah menghabiskan tiga gelas glow wine, ia tidak terlalu memperhatikan sekelilingnya.     

Gadis itu ternyata telah tiga kali bertanya kepadanya, sebelum akhirnya Jean mendengarnya. Jean menoleh dan melihat seorang gadis yang sangat cantik dengan rambut sebahu dan sepasang mata kucing yang indah. Memandang mata gadis itu membuat Jean serasa melihat matanya sendiri.     

Ia tersenyum dan menggeleng, mempersilakan gadis itu duduk. "Silakan."     

"Terima kasih." Gadis itu duduk dan memberi tanda kepada pelayan, "Aku mau glow wine juga."     

Setelah pesanannya datang, gadis itu menikmati wine-nya dengan khusyuk. Ia dan Jean tidak saling bicara selama beberapa menit.     

"Aku sedang patah hati," kata gadis itu tiba-tiba setelah glow wine-nya habis. Jean menoleh keheranan. Ia tidak yakin gadis itu mengajaknya bicara, karenanya ia menatap gadis itu dengan wajah bertanya. Gadis itu menggeleng sedih. "Maaf, aku kelepasan bicara. Seharusnya aku tidak membombardir orang asing dengan masalah pribadiku."     

Jean tidak membalas. Ia tidak tahu bagaimana menghibur gadis yang sedang patah hati.     

Ia menyesap glow wine-nya pelan-pelan.     

"Apakah kau pernah mencintai seseorang tetapi cintamu tidak dibalas?" tanya gadis itu lagi.     

Jean tidak mau membahas masalah pribadinya dengan orang yang tidak dikenalnya, maka ia tidak menjawab. Tetapi gadis itu tampak tidak terlalu peduli dengan jawaban Jean. Ia terus saja berbicara.     

"Aku tidak pernah mencintai siapa pun, hanya dia. Tetapi setelah berkali-kali ditolak, aku tidak juga mengerti. Hari ini akhirnya aku sadar, bahwa selamanya dia tidak akan pernah membalas perasaanku. Aku ini seperti bukan perempuan saja, aku sama sekali tidak peka."     

Gadis itu menoleh ke arah Jean dan mendekatkan wajahnya hingga hidung mereka hampir bertemu. Sepasang mata kucingnya menatap lekat-lekat pada mata Jean yang mirip matanya sendiri.     

Suasana menjadi agak canggung selama beberapa detik, tetapi tidak lama kemudian, butiran air mata yang menetes di sudut mata gadis itu membuat Jean menjadi tidak tega. Ia mengerjapkan matanya dan tanpa sadar menyusut air mata gadis itu dengan sepasang jempolnya dengan gerakan halus.     

"Jangan menangis," katanya pelan. "Tidak peka bukanlah dosa. Kau hanya terlalu dalam mencintai orang yang salah. Kau akan menemukan orang yang akan mencintaimu sebesar cintamu kepadanya."     

Gadis itu mengerucutkan bibirnya menahan tangis, "Aku ini bukan perempuan lemah. Banyak orang gentar kepadaku, tetapi hanya satu laki-laki itu saja yang bisa membuatku menjadi perempuan cengeng seperti ini. Aku membenci diriku yang lemah ini."     

Jean tersenyum mendengarnya. Ia mengakui bahwa cinta memang membuat manusia melakukan hal-hal yang kadang tidak mereka mengerti. Ia mengamati gadis itu baik-baik dan menyayangkan betapa gadis demikian cantik dan menarik harus bersimbah air mata karena cinta.     

Kedua tangannya masih membingkai wajah gadis itu karena tadi menghapus air matanya, dan mereka masih bertatapan dalam jarak dekat, membuat orang-orang yang lewat mengira keduanya adalah sepasang kekasih.     

"Hmm, biasanya laki-laki itu baru merasa kehilangan kalau orang yang mencintainya sudah pergi," kata Jean kemudian. Ia kemudian tersenyum sendiri mengingat sesuatu. "Kau mau tahu cara terbaik membalas orang itu?"     

Gadis itu menggeleng. "Aku mau membalasnya, biar dia menyesal karena sudah menyia-nyiakan cintaku. Beri tahu aku bagaimana caranya?"     

Jean tidak pernah melakukan hal ini sebelumnya, tetapi melihat betapa gadis itu sangat berduka, ia menjadi tidak tega. Ia benar-benar ingin membantu gadis itu.     

"Aku bisa berpura-pura menjadi kekasihmu dan kau bisa membawaku bertemu dengannya. Dia akan melihat bahwa kau bisa mendapatkan orang yang lebih baik darinya."     

Gadis itu tertegun, wajahnya tampak cemberut, "Tidak ada orang yang lebih baik darinya."     

Jean terkesima selama beberapa detik lalu ia tertawa terbahak-bahak. "Astaga, kau ini sudah tidak bisa ditolong lagi. Aku menyerah."     

Melihat Jean tertawa terpingkal-pingkal, gadis itu pelan-pelan menyadari letak kelucuannya. Sungguh ia memang menyedihkan. Bahkan walaupun sedang patah hati, ia tetap masih membela pria yang sudah menolak cintanya. Akhirnya ia pun tertawa.     

Entah karena pengaruh beberapa gelas glow wine yang mereka minum, entah karena suasana yang memang cukup romantis, tanpa sadar keduanya saling menatap dan tersenyum kecut. Gadis itu menyipitkan matanya dan mendekatkan wajahnya kembali ke wajah Jean dan menyentuh pipinya.     

"Aku suka matamu," kata gadis itu sambil tersenyum.     

Jean mengangguk. "Matamu juga bagus. Aku seperti bercermin dan melihat mataku sendiri."     

Saat wajah keduanya kembali dekat seperti itu, tanpa sadar, Jean menarik turun syal yang menutupi setengah wajahnya dan memajukan bibirnya untuk mencium gadis itu. Gadis itu tampak agak terkejut, tetapi kemudian ia memejamkan matanya dan membalas ciuman Jean.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.