The Alchemists: Cinta Abadi

Peristiwa mengejutkan



Peristiwa mengejutkan

Akhirnya setelah mengalami tidur yang dipenuhi mimpi buruk, Alaric bangun dengan kepala yang terasa hampir pecah. Saat membersihkan wajah di wastafel ia menyadari bahwa sepasang matanya tampak berubah warna menjadi lebih gelap. Ia sudah meneliti tubuhnya sendiri selama bertahun-tahun dan tetap tidak dapat menemukan jawaban kenapa tubuh dan penampilannya seperti itu, bisa berubah sewaktu-waktu.     

Setelah memaksa diri sarapan, pikirannya mulai menjadi tenang. Ia harus bertindak pelan-pelan dan tidak boleh gegabah. Bagaimanapun Aleksis berasal dari keluarga kaya yang pasti akan mengusahakan hal terbaik baginya. Kalaupun Aleksis sekarang terluka, ia pasti sudah mendapatkan perawatan dokter nomor satu.     

Kalau ternyata ia sudah meninggal...     

Alaric tidak dapat berbuat apa-apa.     

Ia hanya dapat mencari di mana Aleksis dikuburkan.     

Dengan pemikiran itu akhirnya ia duduk di ruang tamu sambil memejamkan matanya, menunggu kedatangan delapan anak buahnya yang sudah dipanggil Pavel untuk datang.     

Pukul 9 pagi satu persatu orang yang ditunggunya mulai berdatangan. Pavel datang lebih dulu dengan dua orang gadis sangat cantik berusia awal 30-an yang tampak berwajah serius. Yang seorang rambutnya pirang panjang diikat ekor kuda dengan pakaian kasual dan sepatu boot kulit berwarna merah maroon, yang satu lagi berambut pendek ikal dan bertubuh mungil dengan pakaian gaun pendek yang anggun dan sandal gladiator bertali.     

"Senang bertemu Tuan, sudah lama sekali." komentar gadis berambut panjang sambil memamerkan senyum berlesung pipi yang menawan.     

"Selamat pagi, Livia." Alaric mengangguk. "Maaf aku memanggil kalian tiba-tiba."     

"Kami senang, kok," tukas gadis berambut pendek dengan bersemangat, "Sudah lima tahun kita tidak bertemu. Tuan terlalu sibuk dengan perusahaan teknologi dan melupakan kami."     

"Hmm..." Alaric tidak membantah. "Kau benar, Rosalind."     

Kedua gadis itu tampak prihatin melihat wajah Alaric yang muram. Mereka hampir tidak pernah melihat ekspresi negatif di wajah Alaric sebelumnya. Ia dulu selalu tampak tenang dan teduh, tidak terpengaruh, tetapi kini mereka melihat ketenangannya hanya ada di permukaan. Matanya tidak bisa berdusta, terlihat murung.     

"Allen, Noel, Fritz dan Kai sudah tiba membawa Kurt van Der Ven," kata Pavel kemudian. Ia membuka pintu dan mempersilakan 4 orang laki-laki yang mendorong paksa seorang lelaki berusia akhir 40-an masuk ke ruang tamu.     

"Selamat pagi, Tuan. Orang yang Anda minta sudah kami bawa. Maaf kami agak lama, pengawalannya ternyata cukup ketat. Kami terpaksa harus kejar-kejaran dulu tadi..." kata pria berusia 40-an yang berkepala plontos sambil mendorong Kurt ke tengah ruangan.     

Kurt Van Der Ven tampak berusaha tetap tenang menghadapi begitu banyak orang yang terlihat berbahaya di sekitarnya.     

"Selamat pagi, Tuan Van Der Ven," Alaric menyapa Kurt dengan sopan. Suaranya terdengar sangat lelah. "Aku tidak akan menyakitimu, tetapi aku perlu informasi keberadaan Aleksis."     

Seketika wajah Kurt tampak memucat. Ia langsung menghubungkan insiden yang memicu kecelakaan Aleksis dengan sekelompok orang yang terlihat berbahaya ini. Ia mengamati Alaric dengan penuh perhatian dan berusaha menduga-duga siapa gerangan pria ini.     

"Apa yang kalian inginkan darinya? Aleksis sedang sakit," tukas Kurt tegas. "Jangan ganggu dia."     

Ia agak terkejut melihat untuk sesaat mata Alaric berkilat kuatir. Apakah ia tidak salah? Pria ini menguatirkan Aleksis? Siapa dia sebenarnya?     

"Sakit... di mana?" tanya Alaric lagi. "Kami tidak akan menyakitimu. Aku minta maaf karena membawamu kemari dengan paksa, aku tidak punya pilihan."     

Kurt memandang ke sekelilingnya dan melihat ada paling tidak 10 orang yang mengepungnya, beberapa memiliki senjata yang terpampang jelas di pinggang maupun tangan mereka. Selebihnya, walaupun tidak memegang senjata, tampak sama berbahayanya. Ia tahu dirinya tidak akan lolos jika ia memaksa ingin melarikan diri.     

"Ia mengalami kecelakaan di kampus karena syok setelah diancam orang bersenjata. Dia sekarang sedang dirawat di Rumah Sakit di Singapura," jawab Kurt dengan nada hati-hati.     

Tidak ada salahnya memberi tahu mereka lokasi Aleksis dirawat di Singapura, toh saat ini pasti Caspar sudah terbang membawanya pergi dari sana, pikir Kurt. Ia mengangkat sebelah tangannya, memberi tanda bahwa ia hendak menunjukkan sesuatu. "Boleh aku tunjukkan diagnosisnya?"     

Alaric mengangguk dan Kurt pelan-pelan meraih sakunya dan mengeluarkan ponselnya. Ia lalu menyerahkannya kepada Alaric. Pemuda itu menerima ponsel Kurt dan melihat gambar dokumen rumah sakit berisi diagnosis kondisi Aleksis dan catatan dokter.     

Wajahnya yang tadi agak muram berubah menjadi tanpa ekspresi.     

"Baiklah. Kalau begitu aku mau kau membuat perintah untuk memindahkannya ke tempat yang aku pilih," kata Alaric kemudian.     

Hatinya sangat sedih melihat kondisi Aleksis. Ia merasa sangat menyesal pergi ke Inggris meninggalkan Aleksis di Singapura. Hanya dalam waktu beberapa hari saja tragedi ini bisa menimpa Aleksis tanpa ia dapat berbuat apa-apa.     

Sekarang penyesalan apa pun sudah terlambat, kalau memang Aleksis mengalami kecelakaan dan koma. Namun setidaknya ia ingin menjadi orang yang merawat Aleksis hingga gadis itu sembuh... kalau ia memang masih memiliki harapan untuk sembuh.     

Kurt sangat terkejut mendengar kata-kata Alaric. "Tidak boleh... Kau tidak boleh mengganggu Aleksis. Biarkan dia sembuh tanpa gangguan."     

"Aku tidak akan mengganggunya. Aku punya fasilitas terbaik untuk merawat Aleksis," kata Alaric tegas.     

Kurt menggeleng dengan keras kepala, "Aku tidak akan membiarkanmu mendekati Aleksis. Saat ini ia tidak boleh diganggu."     

Alaric mengangguk ke arah Pavel dan orang kepercayaannya itu memukul bahu Kurt hingga ia jatuh terduduk. Pistol diacungkan ke keningnya membuat Kurt menjadi jerih.     

"Tuan Van Der Ven... aku menghormatimu sebagai ayah Aleksis ... tetapi saat ini prioritasku adalah menemukan Aleksis, kalau kau tidak mau bekerja sama, aku tidak punya pilihan selain memaksamu."     

Kurt mengerutkan keningnya mendengar kata-kata Alaric. Sesaat kemudian ia baru sadar bahwa Alaric mengira Aleksis adalah anaknya. Ia baru ingat bahwa selama ini memang identitas Aleksis dirahasiakan dan sering dikaitkan dengan keluarganya untuk menghilangkan kecurigaan.     

Tadinya ia mengira orang-orang ini tidak berniat jahat, tetapi dari cara mereka bersikap dan memaksanya, Kurt merasa tidak tenang bila sampai rahasia Aleksis diketahui oleh mereka. Ia tidak boleh mengambil risiko dan membahayakan keselamatan Aleksis dengan memberi mereka akses kepadanya.     

"Kalian tidak bisa memaksaku, aku tidak akan bicara," jawab Kurt tegas. Ia memejamkan mata seolah tidak peduli pada pistol yang ditempelkan di keningnya.     

Alaric menghela napas, Ia lalu mengangguk kepada Livia dan gadis itu segera berjalan ke pintu di samping kiri dan membukanya. Masuklah dua orang laki-laki berpakaian hitam-hitam sambil mencengkeram tangan seorang perempuan berumur akhir 30'an dan anak laki-laki berusia belasan tahun. Wajah keduanya tampak sangat ketakutan.     

"Ayah...!!" seru si remaja dalam bahasa Jerman. Ia berusaha menghambur ke arah Kurt tetapi pria yang mencengkeramnya lebih cepat, telah menariknya keras sekali hingga jatuh ke lantai.     

Kurt yang sangat terkejut mendengar suara itu segera membuka matanya dan menoleh ke arah suara, "Jan!!"     

"Berikan perintah untuk mentransfer Aleksis ke China, ke tempat yang kupilih... kalau tidak anakmu yang ini yang akan menerima akibatnya," kata Alaric dengan suara dingin, "Aku tidak peduli dengan kalian semua. Aku hanya perlu Aleksis."     

Wajah Kurt menjadi sangat pucat. Ia tentu tak dapat memberikan perintah yang diminta Alaric, karena ia tidak memiliki kewenangan tersebut. Casparlah yang dapat memberikan perintah itu. Tetapi jika Kurt membuka rahasia ini, maka Alaric akan tahu bahwa sebenarnya Aleksis bukanlah anak gelap Kurt melainkan anak keluarga Schneider sendiri...     

Ini adalah rahasia yang jauh lebih besar dari apa pun, termasuk seisi keluarganya.     

"Aku... aku tidak bisa memberikan perintah itu ..." jawab Kurt dengan suara lemah. Ia tidak boleh membuka rahasia keluarga majikannya. Ia tahu betapa ketatnya Caspar melindungi privasi keluarganya dan menjaga anak-anaknya. Ia tidak boleh sampai kelepasan bicara.     

"Aku memberi waktu hingga hitungan sepuluh. Kalau kau tidak mau melakukan perintahku, anakmu dan kemudian istrimu akan mati."     

Alaric menaruh ponsel Kurt di depan wajahnya, memberi tanda agar Kurt menelepon rumah sakit dan memberi perintah transfer pasien.     

Kurt menatap ponsel itu lalu wajah istrinya dan anaknya bergantian. Ia tidak dapat mengorbankan istri dan anaknya, tetapi pada saat yang sama ia tak boleh melanggar kepercayaan keluarga Schneider yang sudah diberikan kepada keluarganya selama beberapa generasi.     

"Satu.. dua... tiga... " Alaric terus menghitung pelan-pelan. "Empat..."     

"Jan..." Kurt akhirnya mengambil keputusan. Ia menoleh muram ke arah anaknya dan berkata dengan suara lirih, "jaga ibumu, Nak.."     

Dalam sekejap, tanpa disangka-sangka Kurt merebut pistol Pavel yang menempel di keningnya dan dengan segera menarik pelatuknya. Semua terjadi begitu cepat dan bahkan para assassin terbaik dunia yang hadir di ruangan itu tidak sempat menduga Kurt akan mengambil tindakan demikian mengejutkan.     

Ia memilih mati daripada menuruti perintah Alaric!     

"Ayaaaah...!!!" Jan menjerit kencang dan berlari menghambur kepada ayahnya yang sudah terkulai di lantai dengan luka besar mengerikan di kepalanya dan darah yang mengucur deras akibat tembakan di keningnya yang segera membentuk genangan darah pekat. Istri Kurt segera jatuh pingsan menyaksikan suaminya mati di depan matanya.     

Alaric terpaku melihat apa yang terjadi. Untuk beberapa detik tidak seorang pun bersuara.     

Semua ini terjadi dengan begitu tiba-tiba dan mengejutkan.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.