The Alchemists: Cinta Abadi

Keputusan Alaric



Keputusan Alaric

0Alaric merasa diperas dengan permintaan Wolf yang ingin menukar kelompoknya untuk informasi keberadaan Aleksis. Ini berarti 1 banding 15. Ia tahu bahwa dirinya sedang terpojok tetapi ia tetap harus berpikir rasional.     

Ia tak mungkin mengorbankan 15 orang anak buahnya yang setia mengikutinya, sebagian bahkan telah puluhan tahun bersamanya dan menjadi anak angkatnya, demi kepentingan pribadinya, yaitu mendapatkan informasi tentang istrinya. Apalagi informasi itu belum tentu menyatakan Aleksis baik-baik saja.     

Ia memejamkan mata dan berpikir. Kalau ia terbang ke Singapura, akan perlu waktu 14 jam baginya untuk tiba di sana, jika badai ini segera berlalu. Kalau misalnya ia baru bisa terbang 5 jam lagi seperti perkiraan ahli cuaca, maka ia akan tiba keesokan harinya saat matahari terbenam di Singapura. Ia sudah terlambat 30 jam.     

Atau ia bisa terbang ke Jerman dan mencari Kurt Van Der Ven. Tentu informasi dari ayah Aleksis sendiri jauh lebih akurat. Entah Aleksis masih di Singapura atau sudah dibawa pulang ke Jerman, ia akan dapat menemukan gadis itu. Apa pun yang terjadi kepada Aleksis sekarang, Alaric sadar ia bukan Tuhan dan jangkauan tangannya terbatas. Saat ini ia hanya dapat menunggu... Menunggu badai brengsek ini berlalu dan ia bisa segera mencari Kurt.     

Ia hampir memukul tembok lounge karena frustrasi ketika melihat tangannya masih terluka akibat tadi subuh melampiaskan kemarahannya kepada tembok di istana Portia. Ia tidak boleh kehilangan ketenangannya. Karena itu sekarang ia memejamkan mata dan bermeditasi, mencoba kembali menenangkan diri.     

Dia, Alaric Rhionen, adalah seorang assassin profesional yang berhasil menjadi pembunuh terbaik di dunia karena ia tidak pernah membiarkan dirinya dikuasai emosi. Ia harus kembali menjadi orang seperti itu.     

"Pavel... perintahkan semua assassins yang sedang ada di Eropa untuk segera terbang ke Berlin. Aku akan menunggu mereka di sana." Akhirnya Alaric mengambil keputusan.     

"Semuanya, Tuan? Saat ini ada 8 orang yang ada di seputar Eropa," jawab Pavel dengan nada keheranan. Mereka tidak pernah punya misi sebesar ini hingga harus mengirim demikian banyak orang. Apa gerangan rencana Alaric?     

"Kau juga ikut."     

"Baik, Tuan."     

***     

Hingga malam, Alaric tidak membalas pesan Wolf di Darknet dan akhirnya Nicolae dan Terry menyimpulkan bahwa ia tidak menganggap Aleksis cukup berharga untuk ditukar dengan seisi kelompoknya.     

"Menurutmu apa yang akan mereka lakukan sekarang?" tanya Terry sambil tanpa sadar meremas-remas jarinya.     

"Aku pikir mereka akan mencari jalan lain, tapi yang jelas Alaric Rhionen tidak gegabah. Saranku, kau jangan pulang dulu ke rumah. Kita tidak tahu apakah dia akan mengirim orang untuk mencarimu atau tidak," jawab Nicolae.     

"Apakah sebaiknya kita memberi tahu Paman Caspar tentang ini...? Atau setidaknya Lauriel?" tanya Terry lagi. "Mereka pasti lebih tahu apa yang harus dilakukan."     

Nicolae tampak berpikir. Ia mengamati wajah Aleksis yang terlihat pucat di tempat tidur, pernapasannya teratur dengan bantuan ventilator. Kondisi Aleksis sangat berbahaya dan mereka tidak tahu apakah ia akan selamat atau tidak.     

"Sebaiknya kita jangan menambahi pikiran mereka dulu, sampai Aleksis keluar dari bahaya. Yang jelas kita sudah tahu Rhionen Asassins tidak punya niat buruk kepada Aleksis... Menurutku itu sudah cukup untuk sekarang. Aku yakin mereka tidak akan berbuat hal yang membahayakan Aleksis," kata Nicolae akhirnya, "Kau coba pikirkan, bagaimana perasaan ayah dan ibu Aleksis kalau tahu anaknya terlibat dengan organisasi pembunuh?"     

Terry mengangguk pelan. Percakapan mereka terhenti ketika Lauriel masuk bersama dokter dan mereka kembali melakukan berbagai pemeriksaan atas diri Aleksis.     

"Orang dengan cedera batang otak separah ini, sudah masuk kategori mati secara medis," kata dokter Lee kemudian. "Maaf, tidak ada yang dapat kami lakukan..."     

Udara di ruangan itu terasa sangat berat setelah dokter Lee mengucapkan kata-kata yang demikian mematahkan hati. Ia membungkuk dalam-dalam dan menyerahkan beberapa laporan medis yang segera dipelajari Nicolae dengan alis mengerut. Semua diagnosisnya membuat hati Nicolae terasa mencelos.     

Sungguh kasihan Aleksis, telah berkali-kali ia terancam kematian, dan kini sepertinya kematian benar-benar mengetuk di depan pintu. Lauriel tampak sama tertekannya dengan mereka berdua, tetapi ia masih berusaha tenang. Ia telah sempat pulang ke penthouse dan meracik beberapa ramuan yang sangat ampuh untuk mempercepat pemulihan sel. Ia berharap obat darinya bisa membantu tubuh Aleksis untuk menyembuhkan diri lebih cepat.     

Dokter Lee keheranan melihat Lauriel meminumkan paksa ramuannya ke mulut Aleksis, tetapi ia tak berani berkata apa-apa. Ia sadar orang-orang yang ada di ruangan ini bukanlah orang sembarangan. Gadis itu pasti anak orang sangat penting hingga seluruh sayap timur rumah sakit ini dikosongkan untuknya.     

Pria muda berambut panjang yang diikat pita merah yang dari tadi menunggui di ruangan ini dari tadi bicara dengan berbagai istilah medis yang sangat fasih, membuatnya mengira bahwa pemuda itu sebenarnya juga seorang dokter yang sangat ahli, dan pria yang matanya berwarna biru hijau ini terlihat sangat berwibawa dan sepertinya tahu apa yang ia lakukan.     

"Apakah orang tuanya sudah datang?" tanya Dokter Lee kemudian. "Saya perlu berkonsultasi kepada mereka tentang keputusan apa yang harus diambil."     

"Mereka akan tiba beberapa jam lagi," kata Lauriel. "Mari kita bicara besok pagi saja, Dokter."     

"Hm.. baiklah, kalau begitu saya permisi dulu."     

Dokter itu kemudian keluar dan menutupkan pintu di belakangnya.     

Beberapa jam kemudian saat Nicolae, Lauriel, dan Terry hampir tertidur karena lelah menunggui Aleksis dengan perasaan tegang, Caspar dan Finland tiba. Waktu menunjukkan hampir tengah malam. Caspar mendengarkan penjelasan Lauriel tentang apa yang terjadi dengan wajah yang sukar ditebak.     

Ia tahu insiden yang menimpa Aleksis adalah kecelakaan tetapi ini bukan kecelakaan biasa. Ada pemicu yang mengakibatkan peristiwa ini terjadi, dan ia tidak akan tinggal diam tanpa berbuat apa-apa. Saat Nicolae dan Terry berjalan keluar ruangan, Caspar menatap mereka dengan ekspresi datar, tetapi di dalam hatinya ia merasa kedua pemuda itu menyembunyikan sesuatu.     

"Kurt, aku akan mengirim laporan medis Aleksis kepadamu. Tolong siapkan semua fasilitas terbaik di Jerman untuk menerimanya. Aku akan membawa Aleksis pulang besok," kata Caspar kepada Kurt lewat telepon.     

Orang kepercayaannya itu terdengar sangat terkejut tetapi ia cepat menguasai diri dan mengiyakan semua perintah Caspar.     

Caspar merasakan dadanya sesak. Ia tidak pernah sekuatir ini sebelumnya mengenai Aleksis. Rasanya peristiwa 17 tahun lalu kini kembali terulang, saat nyawa Aleksis terancam... Ia tidak tahu apakah ini masih merupakan hukuman karma kepadanya karena dulu ia sangat banyak menyakiti hati perempuan, kini anak perempuannya yang harus menanggung akibatnya.     

Pikiran ini membuatnya tertekan. Istrinya tampak sangat terpukul, hanya bisa duduk diam di samping tempat tidur sambil memegangi tangan Aleksis.     

[Jadeith, aku mau kau selidiki gadis yang mengancam Aleksis di kampus, siapa dia dan mengapa dia melakukan hal itu. Aku mau semua hal menjadi jelas sebelum kita berangkat besok.]     

[Baik, Paman.]     

Di kafe seberang rumah sakit Nicolae dan Terry duduk menyesap kopi masing-masing, sibuk dengan pikiran mereka sendiri. Nicolae merasa sangat terkesan melihat Caspar, tetapi ia menyesal karena mereka bertemu dalam situasi yang tidak menyenangkan.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.