The Alchemists: Cinta Abadi

Dilema Aleksis



Dilema Aleksis

0Nicolae berpikir sejenak, apa yang harus dilakukannya. Sepertinya Rhionen Industries sangat ingin menemukan Aldebar, hingga Alaric Rhionen sendiri memberikan identitasnya. Ini sekarang jelas mengkonfirmasi hubungan antara keduanya, yaitu Rhionen Industries dan Rhionen Assassins. Ia bisa menggunakannya sebagai bukti untuk mengungkap tabir gelap perusahaan teknologi besar itu...     

Nicolae menyentuh bahu Terry dan memberi tanda agar pemuda itu melihat ke layar laptopnya. Terry menoleh, dan saat matanya menangkap isi tulisan yang dimaksud Nicolae, ia buru-buru menutup teleponnya.     

"Nanti aku telepon lagi." Ia lalu mengalihkan perhatian sepenuhnya ke laptop Nicolae, tanpa sadar tangannya menutup mulutnya karena terkejut, "Ini berarti mereka memang berhubungan..."     

"Benar. Dia bilang akan mengabulkan apa pun permintaanku..." kata Nicolae pelan. Ia dan Terry saling berpandangan, "Aku bisa saja bekerja sama dengan Aldebar... Memberikan informasi lokasinya kepada Alaric, tetapi kita tetap memastikan bahwa Aldebar tetap aman. Sebaliknya, sebagai imbalan, aku akan meminta informasi lengkap tentang Rhionen Assassins. Informasi ditukar dengan informasi."     

"Kau pikir dia akan jujur? Bisa saja dia memberikan informasi palsu," kata Terry.     

"Tentu aku akan dapat memverifikasi semua informasi yang diberikannya, palsu atau tidak. Aku tidak bodoh," cetus Nicolae. "Kau lupa aku siapa."     

"Ugh.. baiklah. Coba tanya, apakah dia mau bertukar." Terry akhirnya mengangguk.     

Dengan cepat Nicolae mengetik balasan kepada Pavel dan menyebutkan syarat yang dimintanya. Sesudah memijit tombol SEND, keduanya lalu menunggu.     

***     

Aleksis berjalan mondar-mandir di ruang duduk diikuti oleh Pangeran Siegfried Kecil. Keduanya terlihat lucu karena berjalan bolak-balik seperti setrika, membuat Lauriel yang sedang meneliti beberapa tanaman obat di dekatnya menjadi keheranan.     

"Kau terlihat gelisah sekali. Ada apa?" tanyanya kemudian.     

"Aku bosan di rumah..." keluh Aleksis. Ia memang dilarang keluar oleh Lauriel sementara Carl dan Sascha sedang bersama Terry dan Nicolae memburu penjahat yang berniat menculiknya.     

Aleksis tidak tahan bila harus berdiam di suatu tempat untuk waktu yang lama. Ia juga tak bisa meminta bantuan Takeshi atau Mischa, karena ia tahu keduanya terluka dan ia juga tak dapat menghubungi mereka tanpa ponselnya.     

"Bersabarlah sampai Nico dan Terry pulang," kata Lauriel menenangkan. "Paman juga sudah mendapat jawaban dari beberapa anggota Wolf Pack. Besok dua orang akan mampir ke sini."     

Ponselnya kemudian berbunyi dan Lauriel buru-buru mengangkatnya. Terdengar suara Nicolae di ujung telepon, memberikan laporan tentang apa yang diketahuinya. Lauriel mengangguk pelan dan mengucapkan beberapa kalimat lalu menutup teleponnya.     

"Ada kabar?" tanya Aleksis penuh harap.     

"Kabar buruk. Salah seorang penjahat itu mereka temukan tewas, setelah disiksa cukup mengerikan," kata Lauriel. "Sepertinya ada yang mendahului kita menghajar penjahat yang hendak menculikmu. Rupanya, selain kami... ada orang lain yang melindungimu."     

Aleksis menutup mulutnya dengan punggung tangannya. Ada yang sudah mendahului mereka...? Siapa? Apakah orang-orangnya Alaric?     

Berarti, walaupun Alaric ada di Inggris, ia masih memastikan keselamatan Aleksis dan tidak membiarkan ada orang yang mengganggunya atau berniat jahat kepadanya. Pemikiran itu membuat seulas senyum terkembang indah di bibir gadis itu.     

Ah... ia tak sabar bisa segera menghubungi Alaric.     

"Apakah kau tahu siapa orang yang melindungimu selain kami?" tanya Lauriel kemudian, sambil menatap tepat ke mata Aleksis.     

Gadis itu tertegun. Aduh.. mengapa Lauriel harus menanyakan ini secara blak-blakan? Aleksis tidak sanggup berbohong kepada ayah angkatnya itu, tetapi ia juga tak mau menceritakan tentang Alaric sekarang.     

Ia harus bisa mengubah citra Alaric terlebih dahulu di mata keluarganya, barulah ia akan membawa suaminya itu untuk bertemu keluarganya...     

Aleksis tertunduk mendengar pertanyaan Lauriel. Ia kemudian mengangguk pelan.     

"Aku tahu..."     

"Apakah dia Pangeran Siegfried?" tanya Lauriel lagi.     

Aleksis terdiam beberapa lama, kemudian mengangguk pelan. "Memang dia..."     

Lauriel menghela napas. Ia berusaha tidak terdengar menghakimi saat berbicara dengan Aleksis, karena bagaimanapun ia sangat menyayangi anak angkatnya itu dan ia tidak ingin Aleksis kemudian merasa tidak nyaman berterus terang kepadanya.     

Dalam hati ia kecewa karena sepertinya Aleksis sudah menetapkan hatinya kepada orang lain, karena ia sebenarnya sangat berharap Aleksis akan jatuh cinta kepada anaknya, Nicolae.     

"Apakah dia baik kepadamu?" tanya Lauriel.     

Aleksis mengangguk. "Dia baik kepadaku..."     

"Apakah kau menyukai dia?"     

"Aku sangat menyukai dia..."     

Aku mencintai dia, Paman Rory... kata Aleksis dalam hati.     

Lauriel mengangguk-angguk. "Paman ingat sedikit tentang dia. Kami pernah bertemu 17 tahun yang lalu... Sekarang pasti usianya sudah jauh lebih tua. Kau itu pantas menjadi anaknya..."     

Aku tidak peduli, kata Aleksis dalam hati.     

Ia tak dapat membantah Lauriel dan hanya bisa menggigit bibirnya dengan gundah. Ia tak tahu kemana arah pembicaraan Lauriel.     

"Papa lebih tua 400 tahun daripada Mama..." kata Aleksis kemudian. "Aku tidak melihat apa masalahnya. Nico juga umurnya hampir 100 tahun... jauh lebih tua daripadaku."     

Lauriel tersenyum melihat Aleksis membalikkan kata-katanya. "Itu benar. Tetapi Pangeran Siegfried bukan Alchemist seperti kita."     

"Memang. Tapi apalah artinya penampilan dibandingkan karakter dan kepribadian seseorang? Alexei Meier adalah seorang Alchemist dan ia memiliki fisik yang muda dan sempurna... tapi apa yang terjadi sekarang? Paman sendiri yang menghukumnya karena kejahatannya." Aleksis tidak terima kalau Lauriel akan mempermasalahkan penampilan fisik Alaric yang dianggap lebih tua darinya. Ia merasa perlu membela diri.     

"Paman tidak menyukai manusia, kau tahu itu. Hanya sedikit manusia yang Paman toleransi. Paman sudah hidup lebih dari 500 tahun dan bertemu sangat banyak orang. Hal terakhir yang Paman pedulikan dari seseorang adalah penampilan fisiknya. Seharusnya kau mengerti itu," kata Lauriel kemudian. "Paman tidak mempermasalahkan kalau Pangeran Siegfriedmu itu lebih tua."     

"Sebenarnya, Pangeran Siegfried juga membenci manusia... banyak hal tentang dia yang mengingatkanku akan diri Paman," kata Aleksis. "Dia juga sangat baik kepadaku. Tolong jangan menyuruhku untuk menjauhinya..."     

"Kau tahu siapa dia sebenarnya? Kemungkinan dia itu ada hubungannya dengan organisasi pembunuh, Rhionen Assassins, Aleksis. Itulah yang membuat Paman cemas. Paman tidak peduli dengan penampilannya atau apa pun, tetapi sebagai ayahmu, Paman tidak ingin melihat kau menderita atau hidup dalam bahaya." Lauriel mulai memijit keningnya. Ia sadar Aleksis adalah seorang gadis yang keras kepala.     

"Dia tidak akan membiarkanku hidup menderita atau dalam bahaya," Aleksis berkeras. "Dia sangat menyayangiku."     

Lauriel agak terkejut melihat kegigihan Aleksis membela Pangeran Siegfried dan ia hanya dapat bertanya-tanya sudah sejauh apa hubungan mereka.     

"Kami juga sangat menyayangimu, kau tahu itu." kata Lauriel kemudian. "Kami sudah bersama denganmu seumur hidupmu. Kau baru bertemu dia seminggu. Kumohon jangan salah memilih..."     

Aleksis tiba-tiba merasa udara menjadi sesak. Ia tahu Lauriel benar, tetapi ia tak dapat menyangkal perasaannya sendiri. Ia lalu memasang tali leher Pangeran Siegfried dan meminta diri untuk mengajak anjingnya berjalan-jalan keluar.     

"Paman... aku merasa perlu udara segar. Bolehkah aku mengajak Pangeran Siegfried Kecil jalan-jalan di taman luar gedung? Aku yakin tidak akan terjadi apa-apa karena gedung ini pengamanannya sangat bagus." Ia menatap Lauriel dengan pandangan memohon. "Please? Aku perlu berpikir..."     

Lauriel mengangguk. "Jangan keluar area gedung."     

"Terima kasih."     

Aleksis berusaha menenangkan hatinya saat ia turun ke lantai dasar dengan anjingnya dan berjalan keluar lobi untuk 'mencari udara segar' seperti alasannya kepada Lauriel.     

Sebenarnya ia sengaja keluar saat mengetahui bahwa orang-orang Alaric sudah menghabisi salah satu penjahat yang hendak menculiknya. Ini berarti Alaric mengetahui apa yang terjadi dan menyuruh anak buahnya untuk mengurusi masalah itu.     

Aleksis merasa terharu karena hingga kini Alaric masih mengawasi dirinya untuk memastikan keselamatannya, walaupun pria itu sedang berada di tempat jauh.     

Aleksis yakin, kalau ia menampakkkan diri di tempat umum, ia akan dapat bertemu dengan orang suruhan Alaric. Mungkin saja mereka dari kemarin mencoba menghubunginya tetapi gagal, dan mereka juga tak dapat mencari jejaknya karena pengamanan di Hotel Continental sangat ketat.     

Setibanya di depan gedung, Aleksis berdiri terpaku sambil memegangi tali anjingnya, berusaha tidak menarik perhatian. Jam kantor baru berakhir dan orang-orang mulai keluar dari dalam gedung untuk pulang. Waktu yang dipilihnya pas sekali.     

Kini ia mulai tersembunyi dalam arus manusia yang berlalu lalang. Orang-orang yang lewat banyak yang menoleh dua kali saat melihat gadis yang demikian cantik berdiri mematung bersama anjingnya, seolah menunggu sesuatu.     

"Nona sudah lama menunggu?"     

Tiba-tiba terdengar suara halus dari belakang Aleksis yang serentak membuat gadis itu menoleh. Wajahnya tampak sangat lega ketika melihat sosok Takeshi.     

"Hei... bagaimana keadaanmu? Kau sudah pulih?" tanya Aleksis dengan nada kuatir. "Maafkan temanku... dia sedang kuatir dan hendak menyelamatkanku, sehingga kalian tidak sengaja menjadi bentrok."     

"Aku tidak apa-apa," kata Takeshi sambil tersenyum. "Tuan yang cemas karena tidak bisa menghubungi Nona."     

Perasaan Aleksis menjadi berbunga-bunga mendengar bahwa Alaric mencemaskannya. Berarti tidak terjadi apa-apa antara dirinya dengan Sophia Meier.     

"Jamku pecah... ada orang jahat yang merusaknya, sehingga aku tidak bisa menghubungi Alaric." keluh Aleksis.     

Takeshi mengangguk mengerti. Ia mengeluarkan ponselnya sendiri dan menyerahkannya kepada Aleksis. "Ada nomor Tuan di situ dan ponselku punya akses untuk menghubunginya. Nona bisa menggunakannya."     

Aleksis menatap Takeshi dengan pandangan tidak percaya, "Benarkah? Terima kasih... terima kasih..."     

Saking kegirangannya Aleksis menghambur dan memeluk Takeshi, hingga assassin profesional itu merasa kelabakan. Ia tampak canggung ketika akhirnya Aleksis melepaskan pelukannya.     

"Uhm... Nanti aku akan menghubungi Nona kalau ada apa-apa. Simpan saja ponselku. Sampai jumpa!"     

Dan ia tahu-tahu menghilang bersama arus manusia yang berjalan melewati Aleksis. Untuk sesaat gadis itu tertegun. Ia tadinya mengira Takeshi hanya meminjamkan ponselnya agar ia dapat menghubungi Alaric, ternyata pemuda itu memberikan ponselnya begitu saja.     

Ah, Aleksis merasa sangat terharu. Ia kemudian sadar bahwa setelah ia menikah dengan Alaric, sebenarnya Takeshi sudah menjadi anak angkatnya juga.     

Rasanya tidak terlalu buruk punya beberapa anak angkat yang sudah dewasa, kalau mereka semua begini baik kepadanya seperti Takeshi ini.     

Dengan senyum lebar di wajahnya, Aleksis buru-buru membuka ponsel itu dan mencari nomor Alaric. Ia tidak mengalami kesulitan mencarinya karena ternyata di ponsel itu hanya ada satu nomor.     

Satu deringan.     

Dua deringan.     

Sebelum deringan ketiga ia sudah mendengar suara Alaric di ujung telepon.     

"Hmm."     

"Sayang!" seru Aleksis dengan gembira.     

"Takeshi?" terdengar suara Alaric yang kaget di ujung sana. "Ini siapa?"     

"Takeshi memberikan ponselnya kepadaku supaya aku bisa meneleponmu... Jam ponselku rusak dan aku kehilangan akses untuk menghubungimu..." kata Aleksis cepas-cepat, "Aku sangat merindukan suaramu."     

Alaric yang sedang ada di antara Portia dan Sophia tersenyum senang sekali. Akhirnya ia bisa mendengar suara Aleksis dan mengetahui gadis itu baik-baik saja. Sementara itu, Portia dan Sophia saling pandang. Mereka baru kali ini melihat Alaric tersenyum.     

Pemuda itu lalu memberi tanda permisi untuk menerima teleponnya dan menjauhi mereka. Wajahnya yang tampan tampak semakin menarik ketika ia tersenyum dan bahkan beberapa kali tertawa saat berbicara di telepon, membuat kedua wanita itu semakin keheranan.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.