The Alchemists: Cinta Abadi

Suruhan mafia lokal



Suruhan mafia lokal

0Akhirnya justru Terry yang mengambil inisiatif untuk membuka satu botol wine dan menuangkan segelas untuk dirinya sendiri. Ia merasa agak tertekan karena mengetahui sesuatu tetapi harus menahan diri agar tidak menceritakan kepada Lauriel apa yang diketahuinya.     

"Aku minta sedikit," gumam Nicolae sambil mengulurkan tangan. Terry yang kini tidak lagi bersikap judes kepadanya hanya mengangguk dan menuangkan segelas juga untuk Nicolae. Keduanya saling pandang dengan penuh arti.     

Terry menyadari bahwa Nicolae tahu sesuatu, sama halnya dengan Nicolae.     

"Kalian kenapa?" tanya Lauriel keheranan, "Ini baru jam 12."     

"Sudah hampir jam satu, Ayah... one o'clock... wine o'clock," jawab Nicolae cuek. Ia meneguk habis wine-nya lalu mengenakan kemejanya kembali dan memberi tanda kepada Terry untuk mengikutinya. "Aku mau bertemu Carl dan Sascha untuk mencari penjahat kemarin. Kau mau ikut?"     

Terry tidak akan melewatkan kesempatan untuk membuat video dokumenter menarik tentang menangkap penjahat, maka ia segera mengangguk dan beranjak mengikuti Nicolae.     

"Lauriel, kami pergi dulu."     

Lauriel mengangguk. Saat itu Aleksis datang bersama anjingnya dan dengan cepat mengejar Nicolae.     

"Jangan lupa memperbaiki chip-ku ya..." serunya.     

Nicolae melambaikan tangannya dan mengangguk sebelum menghilang di balik pintu.     

Saat mereka sudah masuk ke dalam lift, Terry menoleh ke arah Nicolae dan bertanya, "Carl dan Sascha sudah menemukan mereka?"     

"Hampir. Yang jelas mereka sudah menemukan alamat tempat tinggal salah satu penjahat itu." Nicolae menatap Terry dengan pandangan menyelidik, "Tumben kau mau ikut."     

"Hei... kita bicara tentang orang yang mau mengganggu adikku! Tentu saja aku harus ikut campur," dengus Terry.     

Nicolae mengangguk. Ia sadar, Terry sangat menyayangi adiknya, walaupun saat mereka sedang bersama sikapnya akan terlihat acuh.     

"Mobilku atau mobilmu?" tanyanya sambil mengacungkan kunci.     

"Mobilmu-lah..." sahut Terry sambil tersenyum malas. Tentu kalau mereka menggunakan mobil Nicolae, pemuda itu yang harus menyetir, dan saat ini Terry memang sedang ingin bersantai.     

Nicolae tidak keberatan, karena bagaimanapun ia memang senang mengemudi. Ia membuka pintu dan segera menyalakan mobilnya. Terry duduk di sebelahnya dan segera mengeluarkan kamera.     

"Menurutmu siapa yang berniat jahat kepada Aleksis?" tanya Terry di perjalanan.     

Nicolae mengenakan kacamata hitamnya dan menggeleng. "Aku tidak tahu. Bisa jadi salah seorang mahasiswa yang iri kepadanya, atau musuh ayahnya. Dulu dia pernah diculik dan diracun juga kan?"     

"Kau dengar dari mana?" tanya Terry keheranan. Ia tak mengira Nicolae sudah tahu banyak.     

"Dari ayah."     

"Hmm... aku tidak bisa menduga siapa orangnya yang berniat jahat kepada Aleksis... Bisa siapa saja," Terry lalu mendeham. "Kau sepertinya sangat menguatirkan adikku..."     

"Tentu saja, dia anak kesayangan ayahku. Kau lihat sendiri ayahku lebih menyayangi dia daripada aku anaknya sendiri. Kalau sampai terjadi apa-apa kepada Aleksis, aku tak mau membayangkan apa yang akan ayahku rasakan," jawab Nicolae sambil mengangkat bahu.     

"Kau menyukai Aleksis," cetus Terry tanpa perasaan. "Karena itulah kau melindunginya."     

Nicolae tidak menjawab. Ia tidak perlu membantah, karena bahkan orang buta sekalipun bisa melihat pandangan penuh cintanya setiap kali matanya menyapu ke arah gadis itu.     

"Kau sudah tahu tentang Pangeran Siegfried?" tanya Terry lagi.     

Nicolae mengangguk, "Kau juga sudah tahu Aleksis bertemu Siegfried, dan kau menyembunyikannya dari ayah."     

Terry hanya bisa menghela napas, "Kalau terserahku... aku lebih suka kau yang bersama adikku."     

Untuk pertama kalinya dalam sejarah, Nicolae menoleh ke arah Terry dengan senyuman di wajahnya.     

"Seleramu bagus," komentarnya.     

Terry memutar bola matanya dan membuang pandangan ke arah jendela. Ia masih belum terbiasa beramah-ramah dengan Nicolae. Masih perlu waktu.     

Keduanya lalu terdiam di sepanjang sisa perjalanan. Setelah mereka tiba di daerah East Coast Nicolae memencet ponselnya dan menelepon Carl.     

"Alamatnya masih sama?"     

"Masih sama, Tuan... tapi..." Suara Carl terdengar jerih.     

"Tapi apa?" tanya Nicolae tidak sabar.     

"Orangnya sudah tidak bisa ditanyai lagi. Dia sudah mati...." Carl menelan ludah, "dengan sangat mengerikan."     

Terry dan Nicolae tanpa sadar menahan napas mendengar kata-kata Carl. Siapa gerangan yang mendahului mereka secepat ini?     

"Berikan data orangnya kepadaku, aku akan mencoba mencari data komplotannya." kata Nicolae kemudian, lalu mengubah arah mobilnya. "Kalian segera pergi dari tempat itu. Jangan sampai menarik perhatian polisi."     

"Baik." Carl lalu menutup telepon.     

Terry menoleh ke arah Nicolae, "Kita mau ke mana?"     

"Ke apartemenku," jawab pemuda itu singkat.     

***     

Alaric melihat nomor telepon Takeshi muncul di layar ponselnya dan segera meminta diri dari Portia dan Sophia yang sedang membahas tentang perkembangan AI di Inggris. Pagi ini mereka bertiga sepakat untuk mulai mendiskusikan persamaan tujuan mereka di masa depan, dan sejauh ini Alaric sangat menyukai pendapat-pendapat Portia yang cemerlang dan sejalan dengan pemikirannya sendiri.     

"Bukankah kau sedang memulihkan diri?" Ia menerima panggilan Takeshi setelah memastikan ia tidak dapat didengar oleh kedua wanita itu.     

Suara Takeshi terdengar agak malu saat ia menjawab pertanyaan Alaric. Ia malu karena kemarin dapat dijatuhkan dengan begitu mudah oleh seorang pemuda biasa.     

"Uhm.. aku baik-baik saja, hanya pingsan waktu itu. Mischa yang terluka lumayan parah. Ia masih memulihkan tangannya."     

"Ada berita apa?"     

"Aku tak bisa menghubungi Nona Aleksis, lalu aku mencoba menyelidiki alasan kenapa temannya melarikannya kemarin, dan menemukan dua orang yang gerak-geriknya mencurigakan mengamatinya seharian. Aku sudah mendapatkan identitas keduanya dan yang satu tadi sudah aku kunjungi untuk mengetahui siapa yang mengirim mereka untuk membuntuti Nona Aleksis."     

"Lalu?"     

"Dengan mudah ia menyebutkan nama-nama gerombolannya dan siapa yang menyuruh mereka. Ternyata dia anak buah mafia lokal yang disuruh untuk menculik Nona. Anak bosnya kuliah di universitas yang sama dengan Nona Aleksis dan kemarin sempat berseteru dengannya... Ia ingin membalas dendam."     

Alaric menghela napas. Ia ingat Aleksis mengeluh ia harus tampil jelek dan tidak menarik perhatian karena sering diganggu lelaki iseng. Ternyata bukan hanya laki-laki yang harus dikuatirkannya, melainkan juga gadis lain yang iri. Apalagi kalau gadis yang iri itu memiliki beking mafia di belakangnya.     

"Kau sudah tahu siapa saja mereka?" tanya Alaric memastikan.     

"Ya. Apa yang Tuan ingin aku lakukan? Aku baru menyiksa dan membunuh satu pelakunya, sebagai peringatan kepada yang lain. Sebentar lagi mereka tentu bereaksi."     

"Temukan Aleksis dan lindungi dia dengan segala cara. Mereka mungkin akan membalas kepadanya."     

"Aku terakhir melihatnya masuk ke Hotel Continental, tetapi aku tak berhasil memperoleh nomor kamarnya, dan keamanan jaringan mereka sangat kuat, Sisqo tak bisa meretas informasinya."     

"Baik, kalau begitu pastikan saja dia aman di hotel. Kalau sampai dia keluar kau harus mengikutinya." Alaric terdiam sesaat, "Aku juga tidak bisa menghubunginya."     

"Aku mengerti."     

Alaric mengetuk-ngetukkan jarinya pada ponselnya, memikirkan sesuatu, kemudian memutuskan untuk menghubungi Pavel.     

"Pavel, kau tolong berkoordinasi dengan Takeshi untuk mengurus gerombolan mafia kecil di Singapura. Anggap saja ini prioritas tugasmu hari ini."     

"Baik, Tuan. Ada lagi?"     

"Ada kabar dari Wolf?" tanya Alaric.     

"Ia menolak kontrak dari kita. Katanya ia sedang sibuk."     

Seketika wajah Alaric memerah. Ia tak menyangka Wolf akan demikian sombong, menolak mentah-mentah penugasan darinya.     

"Kau sudah menawarkan bayaran berapa pun yang dimintanya?"     

"Sudah. Katanya dia tidak perlu uang."     

"Pasti ada yang ia inginkan. Bilang kepadanya aku akan mengabulkan apa pun permintaannya."     

"Baik, Tuan."     

Alaric menutup telepon dengan dada yang panas. Seandainya para penelitinya bisa mengetahui identitas Wolf, ia pasti sudah memberi pria itu pelajaran.     

***     

Terry memandang kagum apartemen minimalis di Robertson Road itu. Benar-benar sangat nyaman dan enak dipakai untuk bekerja, pikirnya. Nicolae tinggal di salah satu kompleks apartemen paling mahal di Singapura. Ia sama sekali tidak mengira seorang mahasiswa bisa membayar sewa di tempat sebagus ini.     

Kemudian ia segera teringat bahwa sebenarnya Nicolae bukan mahasiswa biasa. Ia juga tidak berumur 22 tahun seperti dirinya. Nicolae adalah seorang Alchemist murni yang berumur hampir 100 tahun.     

Saat Terry mengingat berbagai hinaan yang pernah ia kumpulkan tentang Nicolae, seketika ia merasa malu sendiri karena telah bersikap tidak hormat kepada orang yang lebih tua. Nicolae ini bahkan jauh lebih tua daripada kakeknya kalau beliau masih hidup.     

"Anggap rumah sendiri," kata Nicolae sambil menaruh tasnya di sofa lalu buru-buru membuka laptopnya dan mengerjakan sesuatu.     

Terry mengangguk. Ia lalu duduk di samping Nicolae dan mengamati apa yang sedang dikerjakannya.     

"Sekarang aku percaya kau adalah Wolf," katanya kemudian sambil tersenyum.     

Ia sudah melihat jari-jemari Nicolae yang lincah bermain di atas keyboard dan memasuki berbagai jaringan untuk mencari informasi yang dibutuhkannya.     

Nicolae mengangkat wajahnya dan menoleh ke arah Terry, lalu mengeluarkan suara desahan kecewa. "Aku masih tidak percaya kau adalah Billie Jean yang keren itu..."     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.