The Alchemists: Cinta Abadi

Aleksis pun bangun



Aleksis pun bangun

0Marion terguncang melihat kehadiran Lauriel di helikopter dan Alaric yang berjalan cepat ke arahnya. Alaric pasti justru mempercepat geraknya karena kehadiran helikopter itu, mengira Aleksis dalam bahaya.     

"Alaric ... jangan kemari!" jerit Marion tanpa sadar. Ia berusaha melambai-lambai ke arah Lauriel agar pergi, tetapi helikopter itu malah semakin mendekat dan kini berputar-putar di atasnya. Suasana malam yang hanya diterangi cahaya bulan membuat Lauriel tak dapat membaca bibir Marion yang berusaha mengusirnya pergi.     

"Ada yang mengikuti Marion!" seru Petra yang mengendalikan helikopter dengan suara panik. "Lauriel apa yang harus kita lakukan?"     

"Saat ini prioritas kita adalah Marion," jawab Lauriel tegas. "Kalau orang itu membahayakan Marion tembak saja dia."     

Alaric berlari mengejar Marion yang berusaha mencapai puncak tebing. Ia sangat takut karena mengira 'Aleksis' panik dan ingin bunuh diri karena merasa terguncang. Ia juga sudah melihat kedatangan helikopter asing itu dan ia kuatir kehadirannya akan membuat 'Aleksis' semakin panik.     

"Aleksis, berhenti ... jangan ke situ! Di bawahnya ada jurang... Di sana berbahaya..!!" serunya berkali-kali. Dengan sekuat tenaga ia berlari mendekati Aleksis tak mempedulikan kehadiran musuh di helikopter yang sepertinya berputar-putar mengawasinya.     

"Mischa, ada musuh, kau amankan tempat kita!!" seru Alaric kepada Mischa lewat ponselnya sebelum melompat ke batu besar yang akan membuatnya tiba di puncak tebing dengan cepat. Ia sudah hampir mencapai Marion yang berdiri tegang di puncak tebing dengan wajah panik. Kedua tangan gadis itu terangkat berusaha memberi tanda agar Alaric berhenti dan tidak mengejarnya, tetapi sia-sia saja, pemuda itu telah tiba di depannya dengan napas terengah-engah, "Jangan takut ... aku di sini. Aku akan melindungimu..."     

Marion terkesima saat menyadari Alaric justru mengejarnya ke puncak tebing karena mengira helikopter itu membuat 'Aleksis' takut. Pria ini sungguh rela melakukan apa pun untuknya, bahkan tidak mempedulikan keselamatannya sendiri...     

"Dia mendapatkan Marion!" Petra berseru tertahan saat melihat Alaric berhasil mencapai Marion dan dengan refleks ia menekan tombol peluru dari kemudi dan menembaki Alaric agar melepaskan Marion.     

Bunyi tembakan beberapa kali membuat telinga Marion seolah menjadi tuli dan untuk sesaat ia tak dapat mendengar apa pun... Pikirannya menjadi kosong dan sepasang matanya terbelalak saat menyadari Alaric-lah yang terkena tembakan peluru-peluru itu.     

Pemuda itu menatapnya dengan sepasang mata ungunya yang cemerlang dan selama satu detik sepertinya ia mengerti apa yang terjadi sebenarnya. Pada detik terakhir itu Alaric menyadari bahwa gadis di depannya ini bukanlah Aleksis yang sebenarnya, ini bukanlah gadis yang ia cintai sepenuh hati.     

Sepasang mata itu kemudian terpejam seiring dengan rubuhnya tubuh sang pemilik ke tanah dalam dekapan Marion. Darah membanjir keluar dari dada dan punggungnya.     

"Aaaahhhhh!!!!!!!!!" Marion menjerit sejadi-jadinya. Ia tak mengira situasi berubah demikian buruk hanya dalam waktu begitu singkat.     

Tidak...     

Tidaaaakk ...     

Lauriel baru saja membunuh anak kandungnya sendiri ... Pikiran Marion memusing saat tanah di sekelilingnya terasa amblas seperti didera gempa bumi.     

Marion memegang kalung di lehernya dengan panik. Alaric Rhionen adalah anak Putri Luna ... Dia anak Lauriel dengan Putri Luna, dan mereka baru saja membunuhnya ...     

Seperti orang kehilangan akal Marion segera menarik putus kalung itu dan menyembunyikannya ke dalam pakaiannya.     

Kalung ini tidak boleh ditemukan. Lauriel tidak boleh tahu ia baru saja membunuh anaknya sendiri...     

Sambil berurai air mata Marion memeriksa tubuh Alaric untuk memastikan kondisinya.     

Sudah tidak ada denyut nadi yang terasa. Pemuda ini benar-benar sudah mati.     

Marion tak sanggup membayangkan betapa akan terpukulnya Lauriel jika mengetahui apa yang terjadi sebenarnya...     

Ini pasti jauh lebih menyakitkan dari saat ia kehilangan kekasihnya.     

Marion tak dapat membayangkan betapa besarnya rasa bersalah yang akan ditanggung Lauriel....     

Helikopter itu bergerak sedikit menjauh mencari tanah datar untuk mendarat. Marion tahu ia harus bertindak cepat. Sebentar lagi Lauriel akan tiba di sini dan melihat siapa Alaric Rhionen yang sebenarnya. Ia akan bertanya-tanya siapa sebenarnya pemuda itu...     

Dan ia akan mengetahui bahwa ini adalah anak kandungnya...     

Marion tidak sampai hati membayangkannya...     

"Maafkan aku.... " bisik Marion dengan suara pedih. "Maafkan aku... Alaric... Kesalahan yang sudah terjadi tidak dapat diperbaiki... Tolong ampuni kami..."     

Ia bangkit pelan-pelan dengan tubuh Alaric dalam rangkulannya, bergerak semakin dekat ke bibir tebing... lalu dengan sekuat tenaga ia mendorong tubuh Alaric ke jurang.     

Hatinya hancur saat menyaksikan tubuh itu menghilang di dalam gelapnya jurang di bawah sana. Airmatanya tak henti-hentinya mengalir deras.     

Kalau mereka tidak menemukan mayatnya, Lauriel tidak akan pernah mengetahui siapa Alaric sebenarnya... Ia tidak akan terluka.     

Marion sudah tidak mencintai Lauriel, tetapi di dalam hatinya ia masih sangat menghormati dan menyayangi pria itu. Ia tak sanggup melihat Lauriel mengalami duka yang sangat mendalam dan menyalahkan dirinya karena tidak mengenali anak kandungnya... dan bahkan menyebabkan kematiannya.     

Kalau ia tidak membuang mayat Alaric, tentu mereka akan menggunakan uji DNA untuk mengetahui siapa dirinya... dan semua rahasia akan terungkap.     

Biarlah Marion saja yang menanggung semua rahasia ini... Ini akan menjadi rahasia yang dibawanya sampai mati.     

"Marion!! Kau tidak apa-apa??" Lauriel dan Esso telah datang berlari menghampiri Marion. Gadis itu hanya terduduk lemas menatap mereka dengan pandangan kosong dan mata berurai air mata. Wajahnya terlihat shock.     

"Alaric... dia sudah mati." Hanya itu yang keluar dari mulut Marion dan ia sama sekali tidak mau menjawab satu pun pertanyaan Lauriel. Pria itu akhirnya mengambil kesimpulan bahwa pemuda yang tadi mengejar Marion sudah mati dan jatuh ke jurang dari bekas-bekas darah di tanah yang ia temukan.     

Marion tampak sangat terpukul. Ketika Lauriel menggendongnya ke helikopter ia tak henti-hentinya menangis, tetapi tetap tidak mau berkata apa-apa. Lauriel menduga telah terjadi sesuatu yang membuat gadis itu trauma tetapi ia tak dapat mengetahui sebabnya.     

Ia seketika merasa sangat bersalah karena mengira Marion dilecehkan saat ia ditawan oleh Rhionen Assassins. Dalam hatinya ia sangat murka kepada kelompok itu.     

***     

Ketika sepasang mata ungu Alaric menutup, tepat saat itu Aleksis membuka matanya. Ia perlu waktu lama untuk menyadari di mana ia berada dan apa yang sudah terjadi.     

Ia mengenali kamarnya di rumah mereka yang berada di Swiss. Hmm... seingatnya, sebelum tertidur ia masih berada di Singapura. Apa yang terjadi?     

Ia berusaha menggerakkan tubuhnya, tetapi rasanya sulit sekali. Dengan mengerahkan segenap pikirannya, akhirnya Aleksis berhasil menggerakkan tangannya. Hmm... ada apa ini? Kenapa aku sulit sekali bergerak? pikirnya.     

Pikirannya yang cerdas segera bisa menduga apa yang terjadi. Kemungkinan ia terluka dan mengalami koma sehingga harus berbaring lama seperti ini dan membuat tubuhnya menjadi sulit bergerak. Ugh...     

Ia mendengar suara seseorang mendekat. Suaranya sangat familiar. Sepertinya orang itu sedang berbicara di telepon. Aleksis memandang ke arah pintu mencoba mencari tahu siapa gerangan orang tersebut.     

Nicolae sedang berbicara lewat telepon dengan Lauriel untuk menanyakan apa yang terjadi di Rumania. Ia barusan membuat teh dari dapur dan sedang dalam perjalanan kembali ke kamar Aleksis untuk memeriksa kondisinya sebelum ia tidur.     

Sambil berjalan ke kamar Aleksis ia mendengarkan penjelasan dari ayahnya lewat telepon. Nicolae hanya dapat mengangguk dan mendesah berkali-kali mengetahui apa yang terjadi.     

"Lalu di mana Marion sekarang?" tanyanya dengan penuh perhatian.     

"Kami berusaha merawatnya tetapi ia menolak bertemu siapa pun setelah peristiwa itu," kata Lauriel. Ia menarik napas panjang. "Aku merasa ia trauma. Ia tidak mau bertemu denganku sama sekali. Ia hanya minta segera diantar pulang ke rumahnya di Swiss. Jean yang akan menemaninya. Mungkin kalau mereka tiba, kau bisa mengunjungi Marion dan memeriksa keadaannya."     

"Baiklah, Ayah." Nicolae memutar tubuhnya dan saat ia menghadap Aleksis yang berbaring di tempat tidur, sepasang mata mereka bertemu. Ponsel Nicolae jatuh karena kekagetannya. Tanpa sadar ia berlari menghambur ke arah Aleksis. "Kau ... kau sudah bangun??"     

Ia tidak mempedulikan suara ayahnya yang memanggil-manggil lewat telepon. Perhatiannya sepenuhnya ditujukan kepada sang putri tidur yang telah bangun dari mimpinya yang panjang.     

"Mmm... di mana aku?" tanya Aleksis lirih. Ia berusaha menggerakkan tubuhnya untuk duduk tetapi ia hampir tak mampu bergerak. Nicolae dengan bersemangat tetapi penuh kehati-hatian membantu gadis itu duduk di tempat tidurnya.     

"Kau di rumah, di Swiss. Aku di sini untuk memeriksa keadaanmu." Nicolae tersenyum menatap Aleksis dengan sepasang mata berkaca-kaca. Ia tak menyangka Aleksis akan bangun demikian cepat. "Kau koma selama hampir dua bulan akibat kecelakaan di kampus. Tubuhmu memulihkan diri dengan kecepatan luar biasa."     

"Oh ..." Aleksis mengerutkan kening berusaha mengingat-ingat apa yang terjadi.     

Dua bulan ...? Lama sekali ...     

Apakah ... apakah Alaric mencarinya selama ini? Bagaimana keadaannya? Di mana Alaric sekarang? Aleksis seketika merasa panik.     

"Ponselku ... di mana ponselku?" tanya Aleksis dengan suara mendesak. Yang ia maksudkan adalah ponsel Takeshi yang diberikan kepadanya. Ia HARUS menghubungi Alaric!     

"Uhm... ponselmu tidak ada. Kau perlu? Kau bisa menggunakan ponselku dulu." Nicolae buru-buru mengambil ponselnya dari lantai dan menyerahkannya kepada Aleksis.     

"Bukan, bukan yang ini. Aku perlu ponselku." Aleksis hampir menangis. Ia merasa putus asa. Sudah dua bulan ia tak memberi kabar kepada suaminya, tentu Alaric akan sangat kuatir.     

Nicolae merasa kasihan melihatnya lalu buru-buru bangkit, "Uhm... sebentar, aku bisa mengambilkan jam ponselmu yang baru, ada di ruang kerja ayahmu. Aku sudah mengganti chip yang rusak dulu."     

Aleksis tertegun. Ternyata Nicolae menepati janjinya dan memperbaiki chip penting itu. Ia merasa sangat terharu.     

Pemuda itu kembali 15 menit kemudian dengan jam ponsel yang sangat mirip dengan milik Aleksis yang hilang.     

"Ini, kau mau menelepon? Aku akan memberimu privasi." katanya sambil menyerahkan jam ponsel itu, lalu buru-buru pergi ke luar kamar.     

Aleksis menatap punggung Nicolae yang pergi keluar kamarnya dengan pandangan penuh terima kasih. Ia memeluk jamnya di dada dan buru-buru menghapus air matanya.     

Ia sangat lega, chip itu ada di ponselnya, ia dapat menghubungi Alaric. Dengan tangan gemetar ia memencet satu demi satu nomor telepon Alaric yang diingatnya di luar kepala.     

Satu deringan. Dua deringan.     

Sepuluh deringan.     

Tidak ada yang mengangkat.     

Aleksis menelpon berkali-kali dan berulang-ulang, tetap tidak ada yang mengangkatnya.     

Apakah Alaric tidak menggunakan nomor ini lagi? Apakah chipnya tidak berfungsi? Apa yang terjadi sebenarnya??? Siapa yang bisa kuhubungi untuk mencari Alaric??     

Karena frustrasi Aleksis akhirnya membanting jamnya dan menangis tersedu-sedu. Nicolae yang mendengarnya menangis segera kembali ke kamarnya dan duduk di samping pembaringan gadis itu.     

"Ssshh... siapa yang ingin kau hubungi? Apakah aku bisa membantu?" tanyanya dengan suara lembut.     

Aleksis menggigit bibirnya. Ia tak tahu apakah ia dapat menceritakan kepada Nicolae atau tidak.     

Akhirnya ia hanya bisa menggeleng. Ia tak dapat menceritakan tentang Alaric kepada mereka. Ia tidak tahu bagaimana sikap mereka terhadap Alaric sekarang. Ia tak boleh membahayakan suaminya.     

Nicolae menghela napas panjang melihat Aleksis yang keras kepala.     

"Apakah orang yang ingin kau hubungi adalah Alaric Rhionen?" tanyanya lagi, kali ini tanpa basa-basi.     

Sontak Aleksis menatapnya dengan wajah terkejut. "Da ... dari mana kau tahu?"     

Nicolae tidak sanggup menatap wajah Aleksis. "Maafkan aku."     

Suaranya yang terdengar penuh penyesalan membuat Aleksis seketika mengerti bahwa sesuatu yang buruk telah terjadi. Tubuhnya yang masih lemah tak sanggup menahan beban stress yang demikian berat, akhirnya Aleksis kembali terkulai pingsan.     

Nicolae buru-buru memperbaiki posisi tubuh Aleksis dan membaringkannya dengan nyaman. Ia mengerti bahwa Aleksis yang cerdas telah dapat mengira ada hal buruk yang terjadi pada Alaric dan itu membuatnya terpukul.     

Ia segera menelepon ayahnya dan melaporkan apa yang terjadi. Lauriel yang sangat bahagia mengetahui anak angkatnya sudah terbangun dengan tidak sabar segera bersiap untuk terbang ke Swiss, dan ia segera memberi tahu orang tua gadis itu bahwa anaknya telah siuman.     

Nicolae lalu memeriksa detak jantung Aleksis dengan stetoskop untuk memastikan keadaannya baik-baik saja atau tidak, agar ia dapat segera mengambil tindakan medis yang tepat.     

"Eh ... apa ini?" ia mengerutkan kening dan berkali-kali memastikan bahwa ia tidak salah dengar.     

Apakah alat ini rusak?     

Akhirnya ia melempar stetoskopnya dan mengambil Doppler untuk memastikan bahwa ia tidak salah dengar.     

Wajahnya seketika menjadi pucat. Memang ada lebih dari satu detak jantung.     

Saat memeriksa detak jantung Aleksis dengan stetoskop, ia seperti mendengar bunyi detakan aneh selain detak jantung gadis itu. Ia mengira bahwa ia salah mendengar hingga berkali-kali, karena .. ini tidak mungkin kan?     

Tetapi setelah bolak-balik memastikan, ia dapat mendengar bahwa detak jantung Aleksis cukup teratur, namun di antara dentum-dentum denyut jantung gadis itu, ada denyut jantung lain yang sangat lemah namun terdengar bertalu-talu.     

Doppler barusan sudah memastikannya. Aleksis memang sedang hamil!     

Nicolae merasa terpukul. Ia tidak mengira Aleksis sedang hamil. Dengan pikiran berkecamuk ia mendengarkan kembali bunyi detak jantung mereka dengan lebih baik. Ia sadar, sebagai seorang dokter ia tidak boleh egois, kesehatan dan keselamatan Aleksis lebih penting dari perasaan pribadinya.     

Nicolae membeku di tempatnya ketika ia mendengarkan baik-baik bunyi detak jantung Aleksis dan bayinya dengan doppler. Rupanya tadi ia salah dengar,     

Bukan dua detak jantung, melainkan ada tiga.     

.     

*Doppler = alat ultrasound portable     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.