The Alchemists: Cinta Abadi

Merindukan Aleksis



Merindukan Aleksis

0Suasana di rumah keluarga Schneider sangat murung selama beberapa bulan terakhir. Sejak Aleksis bangun dari koma, keluarganya belum berhasil menemuinya. Finland hanya mendengar dari Lauriel bahwa Aleksis mengamuk dan menyalahkan mereka karena telah membunuh Alaric Rhionen yang diakuinya sebagai suaminya.     

Tidak satu pun menduga hubungan Aleksis dengan pria itu telah sedemikian dalam. Dari keterangan Marion yang sepotong-sepotong Lauriel akhirnya menyimpulkan bahwa selama ini mereka telah mengejar Alaric yang salah, dan yang asli adalah orang yang mereka tembak di Targu Mures dan mayatnya jatuh ke jurang.     

"Dia sangat cerdas. Dari awal ia mengecoh kita dengan menampilkan diri sebagai orang lain," kata Lauriel sambil menghela napas panjang. "Aku tidak tahu hubungan mereka sudah sejauh itu. Pantas saja dia begitu kejam membantai gerombolan Sungai Hitam, karena baginya mereka sudah mengganggu Aleksis."     

"Kita pun akan berbuat hal yang sama kalau Aleksis diganggu," kata Caspar membenarkan. "Sebenarnya ini adalah kesalahpahaman yang sangat buruk..."     

Jadeith mengepalkan kedua tangannya dengan ekspresi tidak puas, "Tetapi mereka sangat berbahaya. Kurt meninggal sia-sia karena mereka. Aku pribadi tidak rela melihat sepupuku terlibat dengan orang seperti itu."     

Caspar menoleh ke arah keponakannya itu dan mengangguk lelah, "Aku pun tidak terlalu menyukainya tetapi yang jelas faktanya sekarang dia pun sudah mati. Aku tak ingin Aleksis berlarut-larut dalam kesedihan."     

"Aku tahu Nicolae menyembunyikan Aleksis, tapi sampai sekarang ia masih tak mau memberitahuku..." keluh Lauriel. "Aku ingin sekali bertemu Aleksis dan meminta maaf kepadanya."     

Finland yang sudah kering air matanya menangisi nasib putrinya kini kembali menangis. Ia sangat merindukan Aleksis.     

"Sudah dua bulan Aleksis pergi, aku sangat kuatir..." tangisnya tersedu-sedu. Caspar buru-buru merangkul istrinya dan mengelus punggungnya dengan penuh kasih sayang.     

"Aku percaya Nicolae akan menjaga Aleksis... tapi mau sampai kapan Aleksis akan kabur dari rumah seperti ini?"     

"Mungkin kalau kita mengirim adik-adiknya, Aleksis akan mau bertemu?" tanya Finland penuh harap. "London dan Rune juga sangat merindukan Aleksis."     

Ketiga orang tua Aleksis tampak sangat menderita karena anak perempuannya masih tidak mau bertemu dengan mereka. Berkali-kali mereka sudah membujuk Nicolae untuk membawa mereka ke Aleksis, tetapi pemuda itu masih menolak. Ia tak mau melanggar kepercayaan Aleksis yang susah payah didapatkannya.     

"Aku akan coba menghubungi Nicolae lagi," kata Lauriel dengan suara pelan. Ia mengambil ponselnya dan menelepon nomor Nicolae.     

Di ruang tamu apartemennya di Bucharest, Nicolae sedang sibuk mengerjakan sesuatu di tabletnya ketika ponselnya berbunyi. Aleksis sedang duduk melamun sambil memandang salju yang turun dari jendela.     

"Hallo, Ayah," sapa Nicolae sambil melirik Aleksis yang menatapnya penuh perhatian, mendengarkan pembicaran telepon Nicolae. "Aku baik-baik saja, Aleksis juga baik-baik saja. Maaf aku masih belum dapat mengabari kalian tentang hal lainnya. Kami masih perlu waktu..."     

Nicolae telah mengatur ponselnya agar tidak dapat dilacak bahkan oleh ahli teknologi paling jago sekalipun, dan Lauriel sia-sia saja berusaha melacaknya.     

"Hmm... ayah juga sudah dua bulan tidak melihatmu. Kau tidak merindukan ayahmu?" keluh Lauriel. Ia akhirnya menyerah, karena Aleksis masih belum mau bertemu dengannya.     

Nicolae menghela napas panjang. Ia memang merindukan ayahnya, tetapi selama ini ia juga tidak pulang ke rumah karena ingin menemani Aleksis. Ia tak tega meninggalkan gadis itu sendiri.     

"Aku juga merindukan ayah, tetapi saat ini aku tidak dapat pulang," katanya akhirnya. "Nanti begitu aku bisa pulang, aku akan segera mencari ayah. Kemungkinan di musim panas."     

"Musim panas? Masih lama sekali..." Lauriel benar-benar tertekan. Ia sangat merindukan Aleksis dan juga Nicolae tetapi kedua anaknya itu tidak mau pulang.     

Pelan-pelan kehampaan mulai menggerogoti hatinya dan ia kembali teringat masa puluhan tahun lalu ketika ia sama sekali tidak memiliki keinginan lagi untuk hidup. Rasanya apa yang ia alami sekarang tidak jauh berbeda dari masa itu.     

Setelah Nicolae menutup teleponnya, Aleksis menjadi sedih melihat ekspresi Nicolae yang sendu. Ia mengerti Nicolae tidak pulang ke rumah karena dirinya, dan hal itu membuatnya merasa bersalah.     

"Kau sebaiknya pulang saja, temui ayahmu. Kasihan dia pasti rindu sekali" kata Aleksis pelan.     

Nicolae menggeleng dan kembali meneruskan pekerjaannnya. "Aku akan pulang kalau kau pulang."     

"Kau ...!" Aleksis menggigit bibirnya dengan gundah. "Kenapa kau berbuat bodoh seperti ini?"     

"Tidak apa-apa, kan? Bukan kau saja yang boleh berbuat bodoh," jawab Nicolae ringan.     

"Apa maksudmu? Kau menganggapku bodoh karena sudah merepotkanmu? Kau ingin aku pergi?" cetus Aleksis dengan suara bergetar.     

"Tuan Putri, aku tidak menganggapmu bodoh, tetapi aku menganggap perbuatanmu yang kabur dari rumah selama ini sebagai tindakan bodoh dan tidak bertanggung jawab." Nicolae menyimpan tabletnya lalu duduk menghadap Aleksis dan menatapnya dengan sorot mata serius. "Wajar kalau kau marah dan menenangkan diri selama beberapa bulan. Tetapi mau sampai kapan kau akan menyimpan kemarahanmu? Bila kau menempatkan diri di pihak orang tuamu, apa yang akan kau lakukan?"     

"Aku bukan orang tuaku..." cetus Aleksis.     

"Benar, tetapi kau sebentar lagi akan menjadi orang tua. Bayangkan dirimu di posisi orang tua dan pikirkan perasaan ayah dan ibumu. Bagaimana perasaanmu kalau anak yang sangat kau sayangi tidak mau bertemu denganmu dan terus menyalahkanmu atas peristiwa yang tidak sepenuhnya merupakan kesalahanmu?"     

Aleksis mengerucutkan bibirnya. Ia membayangkan kedua anaknya, yang saat ini masih ada di rahimnya kemudian tumbuh besar dan tidak mau bertemu lagi dengannya. Ia pasti akan sedih sekali...     

"Mereka ... mereka mengakibatkan kematian Alaric..." bisik Aleksis akhirnya dengan suara hampir menangis.     

"Aku tahu, dan aku turut berduka ... Tetapi kalau kau mau bersikap adil, itu tidak sepenuhnya merupakan kesalahan ayah dan Paman Caspar," Nicolae mengingatkan, "Kau harus memaafkan ketidaktahuan mereka. Mereka tidak mengetahui seperti apa hubunganmu dengan Alaric Rhionen. Kau tidak pernah memberi tahu apa-apa kepada mereka."     

Aleksis tampak tersudut. "Aku belum sempat memberi tahu mereka... aku hanya sedikit menunda agar ayah dan Paman Rory bisa menerimanya."     

"Aku mengerti. Dia bukanlah sosok lelaki ideal yang akan disukai ayahmu dan ayahku. Pasti tidak mudah menyampaikan hal seperti itu kepada mereka," komentar Nicolae. "Tetapi tetap saja, kau seharusnya cukup menghormati orang tuamu untuk mengatakan yang sebenarnya kepada mereka."     

Aleksis akhirnya membenamkan wajahnya di kedua tangannya dan menangis sesenggukan. Selama dua bulan ini Nicolae sama sekali tidak pernah membahas tentang Alaric Rhionen dan kenyataan bahwa Aleksis kabur dari rumah karena menyalahkan ayahnya dan Lauriel, tetapi kini, untuk pertama kalinya Nicolae bicara blak-blakan kepadanya tentang topik yang selama ini sepertinya mereka hindari bersama.     

Aleksis tidak mau menerima kenyataan bahwa ia pun bersalah dalam insiden yang menimpa Alaric dan mengakibatkan kematiannya. Seandainya Aleksis terbuka kepada keluarganya, mungkin mereka akan terpaksa membiarkan Alaric dan tidak mengincarnya.     

Ucapan Nicolae hari ini memaksa Aleksis untuk mengakui kesalahannya sendiri ...     

Ia pun bertanggung jawab atas kematian Alaric... tetapi dengan pengecut ia melarikan diri dan melimpahkan semua kesalahan kepada Lauriel dan ayahnya.     

"Ohh... Nic... aku jahat sekali...." Aleksis menangis pedih, "Aku sama bersalahnya... tetapi aku justru menimpakan semua beban kepada Paman Rory dan ayah... Aku ini jahat sekali... Mereka pasti sangat sedih karena perlakuanku selama ini..."     

Nicolae tidak menjawab. Di satu sisi ia senang Aleksis sudah mengakui kesalahannya, tetapi di sisi lain ia juga tak ingin gadis itu terlalu menyalahkan diri sendiri. Ia takut Aleksis akan kehilangan semangat hidup.     

Seperti kata Caspar, semua ini adalah kesalahpahaman yang sangat buruk.     

"Ayah dan ibumu, serta ayahku sangat merindukanmu.. Dan selama dua bulan ini mereka menderita karena menguatirkanmu..." kata Nicolae pelan. "Kumohon, temuilah mereka..."     

Lama sekali Aleksis merenung dengan mata basah, sebelum akhirnya ia mengangguk pelan, "Aku ... aku akan menemui mereka."     

Seulas senyum manis terkembang di wajah Nicolae saat ia mendengar ucapan Aleksis.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.