The Alchemists: Cinta Abadi

Kau satu-satunya temanku



Kau satu-satunya temanku

0Untuk sesaat Jean tidak dapat berkata-kata. Ia sangat terkejut mendengar pengakuan Marion. Ia sangat kasihan kepada Lauriel dan Aleksis ...     

Karena Marion, Lauriel tidak akan pernah tahu bahwa ia memiliki seorang anak lagi, dan Aleksis tidak pernah dapat melihat suaminya untuk terakhir kalinya setelah ia sadar dari koma.     

Tetapi melihat Marion tampak hancur dan sangat terpukul, Jean tidak sanggup menegur gadis itu. Ia mengerti bahwa kesalahan yang telah terjadi tidak dapat diperbaiki, dan Marion hanya melakukan apa yang dianggapnya sebagai keputusan terbaik saat itu.     

"Lauriel harus diberi tahu, Marion ..." kata Jean pelan, "Kalau kau punya anak, tidakkah kau ingin mengetahui apa yang terjadi kepada anakmu?"     

"Itu tidak akan mengembalikan nyawanya, Jean... Aku tak ingin Lauriel merasakan sakit lebih dalam. Kau tidak melihat bagaimana dia dulu, sebelum Putri Luna meninggal... Lauriel adalah orang yang sangat menyenangkan," tangis Marion pedih, "Dia berubah menjadi pemurung dan membenci manusia... Ia membenci dirinya sendiri dan tidak mau hidup lagi. Bayangkan betapa akan hancur hatinya kalau ia tahu ia membunuh anaknya sendiri...."     

Jean menggeleng-geleng. Ia sendiri punya anak laki-laki, yang walaupun bukan lahir sebagai anak kandungnya, tetapi ia sangat menyayangi Terry dan ia tak sanggup membayangkan bagaimana jika ia ada dalam posisi Lauriel. Ia pun mungkin akan mengambil kematian.     

Jean hanya dapat menghela napas panjang.     

Marion berusaha tampak tegar dan mengusap air matanya. "Aku mengerti kalau sekarang kau membenciku. Aku tahu apa yang aku lakukan adalah salah, tetapi kalau aku harus mengulang peristiwa itu, aku akan tetap melindungi Lauriel. Anak itu sudah mati, aku tak mau melihat Lauriel juga mati."     

Gadis itu lalu bangkit dan berjalan dengan langkah sangat sedih kembali ke kamarnya.     

"Saat aku bangun besok, aku tidak mau melihatmu lagi," kata Marion tanpa menoleh.     

Jean hanya dapat menunduk sedih.     

***     

Aleksis tidak menjawab pertanyaan Nicolae. Pikirannya masih melayang entah kemana. Ketika akhirnya pemuda itu menyentuh bahunya dengan lembut, barulah Aleksis menoleh.     

"Hmmm?" tanyanya dengan tanpa minat.     

Nicolae tersenyum manis seperti biasa saat melihat ekspresi Aleksis yang datar, "Pakai selimut ekstra ya? Cuaca sudah sangat dingin."     

Aleksis membuka jendela kamarnya untuk menyaksikan salju yang turun dan ia hampir tidak merasakan dingin yang menusuk, tetapi Nicolae melihat tubuhnya menggigil dan menawarkan selimut tambahan. Aleksis tidak mengiyakan ataupun menolak. Ia tidak peduli.     

Akhirnya karena Aleksis tidak menolak, Nicolae menghamparkan satu selimut lagi menutupi perut Aleksis yang mulai membesar. Ia lalu duduk di samping gadis itu dan menuangkan masing-masing secangkir teh untuk mereka.     

Selama dua bulan terakhir ini ia telah mengetahui apa teh kesukaan gadis itu dan seberapa sering ia menginginkannya. Sejak insiden waktu itu Aleksis sama sekali tidak mau bertemu keluarganya. Ia masih menyalahkan mereka atas kematian Alaric Rhionen, pria yang ia cintai.     

Aleksis memohon kepada Nicolae untuk membawanya pergi ke tempat yang jauh, yang tidak dapat dilacak oleh ayahnya dan Lauriel. Ia percaya kepada Nicolae karena tahu reputasinya sebagai Wolf yang biasa hidup tersembunyi dan menghilangkan jejaknya.     

Selain itu, karena Nicolae tidak terlibat dengan misi membunuh Alaric, sebab ia fokus untuk merawat Aleksis, gadis itu menjadikannya satu-satunya orang yang dapat ia percayai untuk menolongnya, dan dengan senang hati Nicolae melakukan apa pun demi Aleksis.     

Ia membawa Aleksis ke rumahnya di Bucharest dan membiarkannya menenangkan diri tanpa diganggu ayah angkat dan orangtuanya. Dipikirnya, saat Aleksis pulih, ia akan pulang ke rumah dan memaafkan orang tuanya.     

Tetapi nyatanya hingga lebih dari dua bulan ia masih tak mau bicara dengan mereka, dan hingga kini pun keluarganya belum mengetahui bahwa Aleksis sedang mengandung anak-anak Alaric.     

Karena menghormati Aleksis, Nicolae tidak mengatakan apa-apa kepada mereka. Ia membiarkan Aleksis mengambil keputusan apa pun atas dirinya dan anak-anaknya. Sebagai teman yang baik ia hanya berusaha membantu apa pun yang dibutuhkan darinya. Saat ini Aleksis membutuhkan tempat tinggal dan perlindungan, maka itulah yang ia berikan.     

"Terima kasih," kata Aleksis tiiba-tiba, tanpa menoleh dari jendela. Ia terlalu malu berkata panjang lebar untuk mengucapkan terima kasihnya kepada Nicolae yang telah bersedia direpotkan olehnya selama berbulan-bulan, tetapi ia juga tidak mau menjadi orang yag tidak tahu terima kasih, dengan tidak pernah menyatakannya.     

Nicolae mengangguk, "Aku senang kau meminta bantuanku, artinya kau percaya kepadaku."     

Aleksis membuka mulutnya hendak mengatakan sesuatu, tetapi kemudian berubah pikiran. Ia menuang kembali teh ke cangkirnya dan menyesap tehnya pelan-pelan. Nicolae tertarik melihat ekspresinya kemudian menyentuh tangan gadis itu dengan sangat perlahan.     

"Kau mau mengucapkan sesuatu? Kenapa tidak jadi?"     

Aleksis menggeleng. "Tidak penting."     

"Kenapa tidak penting? Aku ingin tahu apa yang kau pikirkan. Pemikiranmu penting bagiku..."     

Aleksis menoleh dan menatap Nicolae dalam-dalam, "Aku ini tidak punya teman... Selama ini aku hanya bergaul dengan Terry dan adik-adikku, tapi saat ini aku tidak bisa pulang, karena aku sangat marah kepada orang tuaku... Kau adalah temanku satu-satunya."     

"Oh..." Nicolae tersenyum mendengarnya. Ia lalu mengangguk. "Aku senang menjadi temanmu."     

"Aku tahu kau menyukaiku.., dan aku rasa, aku memanfaatkan perasaanmu kepadaku untuk menolongku... Maafkan aku," kata Aleksis pelan.     

Ia tahu sejak awal betapa Nicolae menyukainya, tetapi ia hanya menganggap pemuda itu sebagai teman, apalagi sejak mereka mengetahui ternyata Nicolae adalah anak Lauriel. Kini, Aleksis merasa bersalah karena ia memanfaatkan perasaan Nicolae kepadanya agar pemuda itu menolongnya...     

Tetapi Nicolae sama sekali tidak merasa dimanfaatkan. Ia hanya tertawa mendengar pengakuan Aleksis.     

"Kau boleh memanfaatkanku kapan saja, untuk apa saja. Aku tidak keberatan," jawabnya ringan. "Aku senang kau mengizinkanku membantumu. Apa pun yang menjadi keputusanmu, aku akan mendukungmu."     

Aleksis merasa sangat terharu, dan tanpa sadar setetes air mata meluncur turun dari masing-masing matanya. Dengan sigap Nicolae menghapus air mata gadis itu dengan jari-jarinya dan menepuk-nepuk bahu gadis itu dengan lembut.     

"Jangan sedih terus, kasihan anak-anakmu kalau mereka tahu ibunya bersedih. Apa yang dapat kulakukan agar kau tersenyum? Kau mau aku menirukan suara Donald Bebek lagi?" tanya Nicolae sambil tertawa ringan.     

Untuk pertama kalinya hari ini, Aleksis pun tersenyum dan menggeleng.     

"Tidak usah. Aku mau mendengarkan musik saja sambil melihat salju." Ia menarik napas dalam-dalam seolah menghirup udara segar dari luar jendelanya. "Kau boleh menemaniku di sini."     

"Hm.. baiklah. Aku akan bekerja sambil menemanimu." Nicolae mengeluarkan tabletnya dan mulai bekerja di samping Aleksis yang memperhatikan salju turun sambil merenung dan mengenang Alaric.     

Keduanya tidak berkata apa-apa lagi.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.