The Alchemists: Cinta Abadi

Kedatangan Lauriel, kedatangan Alaric



Kedatangan Lauriel, kedatangan Alaric

0Terry tiba keesokan paginya dan buru-buru mengetuk pintu kamar Jean dan memastikan ayahnya baik-baik saja. Ia mematikan media sosial dan ponselnya sepulang dari konser kemarin karena ia sudah kelelahan menjawab pertanyaan-pertanyaan banyak orang tentang hubungannya dengan Jean dan Billie yang terungkap di konser.     

Terry baru mengetahui apa yang terjadi ketika ia bangun keesokan paginya dan melihat berita yang demikian heboh di berbagai media. Peristiwa penembakan itu diberitakan besar-besaran tetapi tidak ada kejelasan tentang ada berapa korban dan siapa pelakunya.     

Seperti perintah Marion, Max dan kepolisian berhasil menutupi identitas Takeshi dan Rosalind. Tidak satu pun gambar mereka berhasil ditangkap media. Dan sedikit jurnalis yang berhasil mendapatkan gambar sudah ditahan oleh polisi untuk menghapus rekamannya.     

Marion ingin mengurusi sendiri kedua assassin itu dan ia ingin menunggu Lauriel tiba sebelum mengambil tindakan. Max membawa Takeshi dan Rosalind ke tempat tersembunyi dan memastikan keduanya tidak dapat saling menghubungi.     

"Hei... ada apa?" tanya Jean saat keluar dari kamarnya. Wajahnya kusut karena menyimpan banyak pikiran. Terry yang melihat ayahnya baik-baik saja seketika menghambur dan memeluk Jean dengan gabungan perasaan lega dan ketakutan di saat yang sama.     

Ia sungguh takut Jean menjadi korban dan ia akan kehilangan orang tua untuk kedua kalinya. Kematian orang tua bagi seorang anak akan meninggalkan bekas yang mendalam, dan hingga kini Terry masih sering merindukan ayah dan ibu kandungnya. Ia tak sanggup membayangkan kalau ia harus melalui hal itu sekali lagi.     

Dalam perjalanan menuju penthouse, dadanya sudah berdebar-debar tidak karuan. Ia menyesal selama ini tidak dengan terbuka menunjukkan perasaan sayangnya kepada Jean dan Finland, karena mereka menjadi keluarga ketika umurnya sudah 15 tahun, dan seolah ada semacam jarak di antara mereka.     

Berbeda dengan Aleksis dan adik-adiknya yang sudah bersama Finland sejak bayi, mereka memiliki kedekatan yang luar biasa dan sangat mudah mengungkapkan perasaan sayang mereka masing-masing.     

Peristiwa tadi malam membuat prioritas Terry berubah. Ia sadar, hidup manusia itu sangat rapuh, dan walaupun mereka adalah kaum abadi, kematian masih bisa datang kapan saja.     

"Ayah ... aku sangat kuatir, ponsel ayah mati, aku tak bisa menghubungimu tadi," bisik Terry sambil mengeratkan pelukannya, "Aku lega ayah tidak apa-apa."     

Jean menepuk-nepuk bahu anaknya dengan penuh kasih sayang, "Ah, iya ... maaf, ada banyak yang terjadi di sini dan ayah lupa mengisi baterainya. Tapi semua baik-baik saja."     

"Siapa yang menjadi korban? Apakah pelakunya sudah ditangkap?" tanya Terry setelah melepaskan pelukannya.     

Pada saat itu pintu kamar Marion terbuka dan gadis itu hanya menatap adegan haru ayah dan anak dengan pandangan datar. Ia mengerti rasanya, ayah dan ibunya juga sudah meninggal.     

"Neo kena beberapa tembakan, tetapi dia akan baik-baik saja," kata Marion kemudian. "Lauriel sudah ke sini. Para pelaku juga sudah ditangkap dan kami akan segera mengurus mereka."     

Jean menatap Marion hendak mengatakan sesuatu tetapi gadis itu hanya melengos, tidak mau memberinya kesempatan menjelaskan mengapa ia tidak mengangkat teleponnya selama puluhan kali Marion meneleponnya.     

Pagi ini Marion bangun dengan perasaan malu karena mengingat tadi malam ia berlaku seperti gadis yang 'desperate' dengan terus-terusan berusaha menelepon Jean.     

Ia menganggap perasaan cemburunya sangat mengganggu. Karena itulah Marion memutuskan untuk menyingkirkan semua masalah pribadi agar dapat fokus pada tugasnya. Ia memutuskan untuk mengacuhkan Jean dan bersikap seolah tidak ada apa-apa.     

Ia membuat sarapan sederhana dengan sikap acuh dan mengundang ayah dan anak itu duduk makan pancake dan minum kopi. Jean tidak dapat berbuat apa-apa menghadapi Marion yang memperlakukannya hampir seperti orang asing.     

Setelah mereka selesai sarapan, Marion mengumumkan bahwa ia akan menjemput Lauriel di bandara dan mereka tidak boleh keluar penthouse tanpa menghubungi Max atau Endo.     

"Aku tak mau kalian dalam bahaya," katanya tegas sambil mengambil kaca mata hitam dan kunci mobil lalu beranjak keluar penthouse.     

Jean hanya memandang kepergiannya sambil mendesah pelan.     

Lauriel kan bisa datang sendiri? Kenapa pula Marion harus menjemputnya ke bandara? Diam-diam Jean merasa agak kesal.     

***     

Alaric sudah tidak sabar menunggu supir dan stafnya menjemput ke ruang tunggu VIP. Ia lalu memutuskan untuk berjalan keluar dan memerintahkan supir membawa mobil ke tempat penjemputan penumpang biasa. Lebih cepat dan praktis, pikirnya.     

Walaupun semalaman ia hampir tidak bisa tidur karena terlalu bersemangat membayangkan ia akan dapat segera mencari Aleksis, penampilan Alaric tetap menarik perhatian sangat banyak wanita yang berpapasan dengannya di sepanjang bandara.     

Wajahnya yang sangat tampan dengan garis-garis halus dan sikap dingin yang memberi kesan misterius, ditambah rambutnya yang berwarna platinum, membuatnya sangat menarik perhatian. Pakaiannya rapi dan ia terlihat sangat kaya dari ujung kaki ke ujung kepala. Banyak orang menatapnya dengan pandangan setengah memuja dan Alaric menyadari itu semua.     

Manusia-manusia ini sangat memuakkan, pikirnya.     

Ia tidak menyukai tempat ramai dan ingin secepatnya menghilang dari sana.     

Karena tergesa-gesa ia tidak menyadari seorang pria yang sama terburu-burunya berjalan dari arah kanan. Tubuh mereka hampir berbenturan ketika di detik terakhir Alaric menghentikan langkahnya dan kemudian menghindar.     

Secara refleks ia dapat merasakan saat ada tubuh manusia lain yang akan menyentuhnya sehingga ia dapat menghindar tepat waktu.     

Saat ia menoleh ke kanan, pria bertubuh sedikit lebih besar darinya yang barusan hampir menyentuhnya itu tampak menyipitkan sepasang mata biru-hijaunya dan menggumam, "Maaf. Aku sedang tergesa-gesa."     

"Hmm..." Alaric seketika teringat sepasang mata biru hijau Aleksis yang sangat dirindukannya. Ia memejamkan mata dan menghela napas, lalu beranjak pergi.     

Ia tidak ingat 18 tahun yang lalu ia pernah bertemu dengan pria bermata biru hijau itu. 18 tahun adalah waktu yang sangat lama, dan saat itu cahaya di kereta malam yang mereka naiki cukup remang-remang sehingga ia tidak memperhatikan warna mata Paman Rory...     

Lauriel menatap pria muda yang tampak mengesankan itu pergi menjauh. Ia merasa seolah pernah melihatnya entah di mana. Wajahnya terlihat familiar.     

Ia mencoba mengingat-ingat, tetapi tidak seorang pun terpikirkan olehnya.     

Seandainya Lauriel menyimpan foto Putri Luna, kekasihnya, dan mengingat wajahnya dengan baik, mungkin saat itu juga ia akan tahu di mana ia pernah melihat wajah pemuda yang berjalan dingin meninggalkannya menuju pintu keluar terminal. Wajahnya sama persis dengan wajah satu-satunya wanita yang ia cintai.     

"Hei ...! Kau memikirkan apa?" Tiba-tiba tepukan Marion yang cukup keras di pundak Lauriel menggugah pria itu dari lamunannya.     

"Hmm... tidak apa-apa. Ayo kita pergi." Lauriel berusaha fokus pada kondisi Neo dan apa yang harus mereka lakukan kepada dua assassin yang ditangkap Marion.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.