The Alchemists: Cinta Abadi

Kau dengar kata Lauriel



Kau dengar kata Lauriel

0Jean yang baru selesai mandi untuk bersiap pergi ke konser Billie tampak terkejut melihat Marion datang masuk ke dalam penthouse dengan langkah terburu-buru. Wajahnya tampak tegang dan penuh konsentrasi.     

Ia tergesa-gesa mengambil sebuah alat pemindai dari lemari dan memeriksa apakah ada pelacak atau penyadap ditempatkan di tubuh ataupun tasnya saat ia keluar dari mansion tadi.     

Hmm ... tidak ada. Syukurlah.     

"Kau seperti habis melihat setan," kata Jean sambil mengerutkan kening, "Bukan aku kan setannya?"     

Marion tertegun mendengar Jean bisa-bisanya bercanda seperti ini. Ugh, kalau dia tahu betapa tegangnya tadi Marion di rumah misterius itu, mungkin ia sama sekali tidak akan berkata sekonyol ini.     

"Aku tadi habis bertemu dua assassins," kata Marion akhirnya dengan suara pelan. Ia tidak takut mati dan ia sudah biasa menjalankan misi berbahaya sebelumnya, tetapi sekarang saat mengingat bahwa tadi ia mengambil risiko yang cukup besar, ditambah salah satu assassins tadi terlihat sangat ingin menyingkirkan Aleksis, ia merasa sedikit ngeri.     

Dia bisa saja tadi mati dibunuh atau meledakkan dirinya sendiri. Untungnya Takeshi dan Alaric tidak berniat jahat kepadanya. Ia masih bisa kembali ke Gedung Continental dengan tidak kurang suatu apa.     

Jean tampak sangat terkejut mendengarnya. Ia mengetahui misi Wolf Pack kali ini dan ia sama terkejutnya dengan Marion karena Rhionen Assassins telah mendahului mereka dengan menemui 'Aleksis' sebelum mereka siap.     

Tanpa sadar ia segera bergerak dan merangkul Marion yang tampak tegang, "Astaga ... kau baik-baik saja?"     

Marion merasa agak rikuh, ia tak mengira Jean begitu kuatir kepadanya. Tubuhnya terkulai dalam pelukan Jean, untuk pertama kalinya ia menurunkan pertahanannya lalu mengangguk.     

Marion si gadis tangguh tadi memang sempat ketakutan, dan rasanya ia ingin mencari perlindungan dalam dekapan seseorang yang akan menenangkan hatinya yang tegang.     

Hmm... ia kok baru menyadari ternyata aroma tubuh Jean seenak ini.     

Aduh, apa yang kau pikirkan? Fokus, Marion!     

"Aku tidak apa-apa. Tadi aku hanya kaget," akunya pelan. Ia melepaskan diri dari Jean dan kembali memasang ekspresi biasa. "Aku tidak menyangka akan bertemu mereka secepat ini. Tadinya aku mengira baru beberapa hari lagi..."     

"Siapa yang kau temui?" tanya Jean lagi.     

"Takeshi dan seorang assassin perempuan." Marion menghela napas panjang, "Untungnya di sana ada Takeshi, yang perempuan sepertinya sangat ingin membunuh Aleksis."     

Ia lalu mengambil segelas besar air minum dan berjalan menuju ke ruang kerja untuk melaporkan kepada teman-temannya.     

Pukul 7.30 pagi di Italia, hari masih gelap, tetapi Lauriel dan timnya sudah bangun untuk mendengarkan laporan Marion. Jean yang penasaran ingin mengetahui apa yang dialami Marion ikut ke ruang kerja dan duduk di sebelahnya. Karena semua sedang tegang, mereka tidak memusingkan kehadirannya.     

"Aku tidak menyangka, mereka sudah ada di Singapura. Tadi aku bertemu seorang gadis yang mencurigakan di kampus, aku sudah menduga dia bukan orang biasa, dan kecurigaanku terbukti. Ia dan Takeshi adalah teman, malah Takeshi menyebutnya adik." Marion mencoret-coret di panel besar di depannya dan segera mengirim beberapa catatan penting. "Aku akan membuat peta lokasi berdasarkan ingatanku supaya kita dapat menemukan kembali rumah itu. Aku juga akan mengirim sketsa wajah si assassin perempuan agar kalian juga dapat melacaknya."     

"Apa yang mereka katakan? Apakah mereka benar-benar tidak berniat jahat kepada Aleksis?" tanya Lauriel.     

"Aku tidak tahu. Yang jelas Takeshi bersikap baik dan hormat kepadaku, karena mengira aku adalah Aleksis. Adiknya itu sebaliknya, ia terlihat jelas ingin membunuhku. Mereka bilang rumah itu adalah rumah Aleksis, tetapi aku jelas sekali tidak menemukan barang-barang Aleksis di sana, hanya barang-barang dan pakaian seorang pria. Kemungkinan itu rumah Alaric Rhionen."     

"Menarik," Lauriel tampak termenung sesaat, "Seperti apa orangnya? Kau sudah melihat rumah dan isinya, bagaimana profil yang kau buat?"     

"Tidak bisa. Semuanya sangat membingungkan. Seolah dia tidak memiliki kepribadian yang jelas. Di satu sisi rumahnya terasa sangat damai dan zen, tetapi di sisi lain aku merasakan kecenderungan sebaliknya," jawab Marion. "Ugh, sulit menjelaskannya."     

Marion yang telah hidup selama hampir 150 tahun dan merupakan pakar penyamaran memiliki kemampuan profiling yang luar biasa. Ia dapat dengan mudah membuat profil seseorang dan menirunya dengan sangat mendalam hingga bahkan teman-teman dan keluarga orang tersebut dapat tertipu. Tetapi selama di rumah misterius tadi ia merasa kemampuannya tidak ada artinya. Ia tak dapat membaca si pemilik rumah.     

"Hmm, begini ... kalau melihat dari gaya berpakaiannya, dia sepertimu Lauriel, dari rumahnya yang damai dan teduh dia seperti Buddha, namun di dalam kamar tidurnya aku melihat tanda-tanda seorang HCP - High Conflict Personality - orang yang sangat rentan terlibat konflik dan kekerasan. Jadi semuanya bertolak belakang... Aku tidak tahu lagi apakah kemampuanku yang berkurang, atau memang orangnya demikian sulit dipelajari."     

Lauriel dan timnya tampak saling pandang. Mereka tidak meragukan kemampuan Marion. Sepertinya orang yang mereka hadapi kali ini memang cukup istimewa.     

"Aku ingin tahu kenapa mereka melepaskanmu begitu saja," kata Lauriel kemudian. "Sebaiknya kau jangan keluar dulu, tunggu Endo dan Neo tiba. Jangan ambil risiko bertemu mereka lagi."     

"Aku setuju dengan Lauriel," kata Jean tiba-tiba.     

Marion menoleh ke sampingnya. Ia baru sadar Jean duduk di sebelahnya dari tadi dan menyimak pembicaraan mereka.     

"Iya, aku tidak akan kemana-mana, kok," kata gadis itu sambil mengangguk. "Lagipula aku banyak pekerjaan. Aku harus membuat peta menuju rumah itu dan membuat skesta si assassin perempuan."     

"Baguslah, aku akan menemanimu di sini," kata Jean tegas. Marion mengerutkan keningnya keheranan.     

"Kau kan mau menonton konser mantan kekasihmu? Nanti dia kecewa kalau kau tidak datang," tegur Marion.     

Jean menggeleng, "Tidak apa-apa, aku kan harus buat prioritas."     

Marion tersentuh mendengarnya. Petra dan Peach yang menyaksikan itu dari Italia bersama Lauriel tampak saling pandang dan saling menyikut. Lauriel hanya melihat keduanya dengan wajah penuh perhatian.     

Tadinya ia mengira Jean dan Marion hanya berpura-pura sewaktu di Swiss mereka mengaku sedang berkencan. Tetapi melihat interaksi keduanya beberapa kali seperti ini, ia menjadi tidak yakin lagi.     

Apakah Jean dan Marion memang memiliki hubungan khusus? Ia bertanya dalam hati. Marion sudah seperti adiknya sendiri, maka ia merasa bahagia untuk gadis itu. Ia cukup mengenal Jean dan tahu pria itu memiliki hati yang baik.     

"Saat ini tidak ada gunanya kalau kau tinggal di sini bersamaku, sebaiknya kau pergi saja ke konser. Apalagi ini mungkin kesempatan terakhirmu untuk datang," kata Marion. "Aku tidak apa-apa, kok."     

"Kenapa kau tidak ikut saja? Dengan demikian aku bisa memastikan kau baik-baik saja," kata Jean akhirnya. "Kau tidak usah menyamar sebagai Aleksis, kurasa kalau kau menjadi dirimu sendiri, kau tidak usah kuatir mereka akan mengincarmu."     

Ugh, aku TIDAK MAU NONTON konser Billie, pikir Marion sebal.     

"Marion, dengarkan kata Jean," kata Lauriel tiba-tiba. "Mungkin besok pekerjaanmu akan menjadi berat, sebaiknya malam ini kau bersenang-senang nonton konser, kencan, dan makan enak. Lagipula tidak ada gunanya kau mengurung diri di penthouse."     

"Eh?" Marion terkejut mendengar kata-kata Lauriel.     

"Ini perintah. Kalian bersenang-senanglah." Lauriel lalu mengangguk dan mematikan hubungan tele-conference.     

"Kau dengar kata Lauriel," cetus Jean dengan wajah penuh kemenangan. Dalam hati ia senang karena ternyata Lauriel memberinya restu untuk mendekati Marion.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.