The Alchemists: Cinta Abadi

Marion Waspada



Marion Waspada

0Rosalind berdiri mematung memandang kepergian 'Aleksis' ke arah kafetaria. Angin yang bertiup menyibakkan rambutnya tetapi ia tidak mempedulikannya. Pikirannya sibuk mengenang peristiwa bulan lalu ketika mereka semua dipanggil ke Jerman dan pimpinan mereka, yang juga ayah angkatnya, memutuskan membubarkan Rhionen Assassins begitu saja. Semua karena gadis itu.     

Gadis yang seharusnya sudah meninggal itu ternyata baik-baik saja dan kini hidup seolah tidak terjadi apa-apa. Apakah Alaric tahu bahwa gadis yang dicarinya ini masih hidup? Rosalind bertanya kepada dirinya sendiri.     

Apakah aku harus memberi tahu Alaric tentang keberadaan Aleksis, atau justru membunuhnya agar tidak menimbulkan masalah lagi bagi kami di masa depan? Hati Rosalind tidak dapat memutuskan.     

Di satu sisi ia ingin memberi tahu Alaric bahwa ia baru saja berpapasan dengan Aleksis, tetapi di sisi lain ia tahu gadis itu adalah sumber masalah bagi mereka. Sejak Alaric bertemu Aleksis, Rosalind sudah mendengar ada begitu banyak hal yang berubah pada ayah angkatnya itu, dan pada puncaknya Rhionen Assassins yang sudah berdiri puluhan tahun, bahkan sebelum Rosalind lahir kini menjadi bubar. Bagi Rosalind, Rhionen Assassins adalah segalanya. Merekalah ayah, saudara-saudara dan keluarganya.     

Dua bulan terakhir ia mengembara keliling dunia tanpa tujuan. Ia sengaja mengadakan perjanjian untuk bertemu Takeshi di Singapura karena ia merindukan saudara angkatnya itu dan mereka akan bertualang ke Jepang bersama. Tidak dinyana, hari ini ia justru berpapasan dengan gadis yang menjadi sumber masalah itu.     

Aleksis Makela.     

Setelah merenung sejenak, Rosalind kemudian memutuskan untuk mengikuti Aleksis ke kafetaria untuk melihatnya dari dekat dan memikirkan apa tindakan yang harus diambilnya.     

Di dalam kafetaria, Aleksis kembali menjadi bahan gosip karena semua orang kaget melihat gadis yang dikabarkan meninggal itu ternyata baik-baik saja. Seperti biasa, Aleksis berjalan dengan acuh dan percaya diri. Dia adalah ratu lebah yang baru dan ia bersikap sebagaimana mestinya.     

Verona dan dayang-dayangnya sedang duduk di tengah kafetaria sambil membicarakan sesuatu dengan tertawa-tawa. Ketika Aleksis masuk melalui pintu, seorang dayangnya menggamit Verona dan seketika gadis-gadis itu terdiam dan menoleh ke arah kedatangan Aleksis.     

Ufff... selama dua bulan ini mereka telah dengan seenaknya duduk di meja terbaik di kafetaria yang merupakan milik Aleksis, bahkan berukiran nama gadis itu, karena mengira Aleksis telah meninggal dan tidak akan kembali. Kedatangan kembali gadis itu yang tiba-tiba membuat mereka kaget setengah mati.     

Verona tidak mau dipermalukan duluan karenanya ia segera berdiri dengan angkuh dan menghadang Aleksis.     

"Kau kembali," katanya dengan nada mengejek.     

Marion masih mengingat siapa nama gadis di depannya itu dan ia menyapa Verona dengan suara malas, "Verona."     

"Karena kau telah menghilang begitu saja dari kampus, aku sudah meminta izin resmi kepada direktur universitas untuk mengizinkanku mengambil alih meja ini. Kau harus mencari meja yang baru," kata Verona sambil menyilangkan tangannya di dada.     

Marion telah menangkap ukiran kecil nama Aleksis di sudut meja jati yang mewah itu dan ia segera mengerti apa yang terjadi. Pasti Aleksis yang iseng telah membawa mejanya sendiri. Haha ... gadis itu lucu juga, pikirnya. Kini setelah Aleksis tidak ada, gadis-gadis di depannya ini hendak menguasai mejanya.     

"Kau pasti sangat mengidolakanku sampai-sampai kau begitu ingin memakai barang bekasku," kata 'Aleksis' sambil tersenyum jahil. "Tidak apa-apa sih, pakai saja. Aku kebetulan sudah memesan meja baru yang lebih bagus."     

Wajah Verona yang galak seketika berubah merah. Ia tak sudi disebut menginginkan barang bekas Aleksis. Dengan dengusan kasar ia menendang kaki meja itu lalu mengajak dayang-dayangnya keluar kafetaria.     

"Huh, siapa sudi memakai meja jelek ini!" jeritnya saat menoleh ke arah 'Aleksis' sebelum keluar dari kafetaria.     

'Aleksis' hanya geleng-geleng kepala, lalu duduk di mejanya dengan santai. Ia memesan makanan sambil menunggu kedatangan Terry. Pemuda itu tiba lima menit kemudian. Sepasang matanya dikelilingi oleh lingkaran hitam yang menandakan ia kurang tidur, tetapi wajahnya tampak bersemangat.     

"Maaf aku datang terlambat, tugas editingku banyak sekali. Kau sudah pesan makanan?" tanyanya sambil duduk di depan 'Aleksis'. Melihat 'adiknya' menganggguk ia buru-buru memesan makan siang untuknya sendiri. Sambil menunggu makanan datang ia mengeluarkan laptopnya dan menunjukkan trending topic di media sosial Splitz Grup Universitas mereka. "Kau sudah menjadi bahan pembicaraan di seluruh kampus ini. Tinggal tunggu waktu saja mereka akan mendengar tentang kedatanganmu."     

Marion yang sedang menyamar sebagai Aleksis mengangguk-angguk. "Neo dan Endo sedang kemari untuk membantuku, mereka akan tiba nanti malam, tetapi aku takut orang-orang Rhionen Assassins sudah di sini."     

Suaranya sangat pelan dan ekspresinya biasa saja, sehingga orang yang melihatnya dari jauh akan mengira Marion sedang membicarakan hal remeh temeh saja dengan Terry.     

"Apa maksudmu?" tanya Terry keheranan. Ia pun berhasil menjaga ekspresinya tetap terlihat malas dan acuh seperti biasa.     

"Aku tadi bertemu seorang perempuan yang mencurigakan. Entah kenapa aku merasa dia bukan perempuan biasa."     

"Menurutmu siapa dia?" tanya Terry lagi.     

"Kalau tidak salah, Famke dulu adalah anggota Rhionen Assassins, kan? Berarti organisasi itu juga punya anggota perempuan. Aku curiga gadis yang kutemui di luar tadi adalah salah satunya," jawab Marion sambil tersenyum lebar dan menunjukkan bukunya, seolah sedang membahas topik menarik dari buku itu.     

Assassin perempuan? Terry agak shock mendengarnya. Apakah sedang ada assassin di sekitar mereka saat ini?     

Ia memandang sekelilingnya dengan sikap acuh tak acuh, berusaha menyisir seisi ruangan untuk mencari tahu apakah ada orang yang mencurigakan, tetapi ia tak dapat menemukannya.     

"Kau ingat wajahnya? Kita harus melaporkannya kepada Lauriel," kata Terry cepat.     

"Tidak terlalu ingat, tadi kami hanya berpapasan sebentar sekali. Mungkin kalau aku melihatnya lagi aku akan ingat," kata Marion.     

Makanan yang mereka pesan datang dan keduanya lalu makan siang seolah tidak terjadi apa-apa.     

"Kau mau ikut aku sambil menunggu kedatangan Neo dan Endo atau menurutmu kau bisa menjaga diri sendiri?" tanya Terry kemudian.     

Marion menggeleng pelan, "Aku baik-baik saja, jangan kuatir. Aku akan segera pulang ke penthouse dan melaporkan ini kepada Lauriel. Kau bersenang-senanglah di konser Billie nanti."     

"Kau tidak mau ikut?" tanya Terry keheranan.     

Marion hanya memutar bola matanya lalu membereskan tasnya dan beranjak pergi. Ia tampak santai dan acuh pada sekelilingnya, tetapi sebenarnya mata Marion tajam mengawasi sekeliling, mencoba menemukan gadis yang tadi ditubruknya di depan gedung.     

Ini akan sangat menarik, pikirnya. Tadinya mereka hanya mengetahui dua assassin saja, yaitu Mischa dan Takeshi, tetapi dengan kemunculan gadis ini, maka Wolf Pack akan dapat mengidentifikasi tiga orang. Mereka akan semakin dekat menemukan Alaric.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.