The Alchemists: Cinta Abadi

Kembali ke Kampus



Kembali ke Kampus

0Marion bangun ketika matahari sudah mulai tinggi. Tanpa sadar ia melompat dari tempat tidur dan tertegun sesaat. Ia merasa seolah habis bermimpi indah dan tidak mau bangun tetapi alam bawah sadarnya tahu ia memiliki tugas yang harus dikerjakan.     

Hmm... ia mencium bau makanan dari arah dapur dan seketika perutnya terasa lapar. Kepalanya sedikit pusing karena kebanyakan minum, 3 gelas dalam waktu kurang dari setengah jam saja. Astaga. Hal terakhir yang diingatnya adalah bersandar kepada Jean dan jatuh tertidur. Tahu-tahu pagi ini ia sudah di kamarnya dan tidur di ranjangnya sendiri.     

Ahh ... Tentu Jean yang mengangkatnya ke kamar ...     

Pikiran ini membuat Marion tersenyum kecil. Ia segera mengingat apa yang terjadi semalam. Ia dan Jean saling mengganggu tetapi mereka berdua jelas saling menyukai. Marion sangat senang mengingat apa yang mereka lakukan semalam. Mereka ngobrol sedikit dan berciuman dua kali. Itu adalah malam yang sangat menyenangkan.     

Ternyata peran-peran romantis Jean di film bukan hanya khayalan kosong penggemarnya. Jean sendiri memang sepertinya orang yang romantis betulan. Tanpa sadar Marion terkekeh pelan. Ia mencuci mukanya dan buru-buru ke dapur untuk menemukan bau makanan yang membuatnya lapar.     

Di sana ia menemukan Jean sedang memasak nasi goreng dengan santai sambil bersenandung pelan. Ah, ya ... mereka sedang di Asia Tenggara, tepatnya di negara kelahiran Jean sendiri di Singapura dan nasi goreng adalah makanan yang biasa disajikan di sini untuk sarapan.     

"Selamat pagi," sapa Marion dengan suara masih mengantuk. Ia duduk di meja makan dan menadahkan piringnya supaya diisi makanan dengan sepasang mata berkaca-kaca seperti anak anjing. "Aku lapar ..."     

Jean tertawa melihat tingkahnya dan segera menuang nasi goreng ke piring gadis itu sebelum menuang ke piringnya sendiri. Dengan cekatan ia lalu memecahkan telur dan membuat omelet untuk mereka lalu menata meja dengan cepat dan lima menit kemudian ia sudah duduk di samping Marion untuk sarapan bersamanya.     

"Terima kasih kau tidak membiarkanku tidur sembarangan tadi malam," kata Marion sambil menuangkan teh untuk mereka. "Aku perlu istirahat yang baik karena mulai hari ini aku akan sibuk."     

"Dengan senang hati kok," jawab Jean sambil menampung teh di cangkirnya. "Hari ini kau sibuk apa?"     

"Kau tahu salah satu pembunuh dari Rhionen Assassins yang sedang dikejar Lauriel? Ia menuju kemari. Aku harus mengawasinya. Mungkin ia akan menghubungi Aleksis, jadi aku harus bersiap-siap bila hal itu terjadi."     

"Pembunuh? Apakah itu tidak terlalu berbahaya? Kenapa tidak menunggu anggota Wolf Pack yang lain?" tanya Jean agak cemas. Ia tidak tahu banyak tentang Rhionen Assassins, tetapi dari apa yang didengarnya mereka itu amat berbahaya.     

Marion hanya melambaikan tangannya dengan ringan. "Kami menduga Aleksis punya hubungan khusus dengan pimpinan Rhionen Assassins. Mereka tidak akan menyakitiku."     

"Hmm... " Jean tetap merasa tidak tenang, tetapi ia tak dapat berbuat apa-apa. Wolf Pack pasti lebih tahu apa yang mereka lakukan.     

Setelah sarapan bersama, Marion buru-buru mandi dan bersiap dengan penyamarannya. Pukul 9 pagi ia telah duduk di ruang tamu penthouse terlihat persis seperti Aleksis.     

"Aku mau ke kampus dan menampakkan diri. Paman Jean, apakah kau mau mengantarku ke kampus?" tanya Marion kepada Jean dengan sepasang mata berkaca-kaca ala anak anjing yang manja. Jean hanya tertawa melihatnya dan mengangguk. Ia mengambil kunci mobil dari lemari dan menggandeng tangan Marion menuju lift untuk turun ke basement.     

"Aku tidak punya kesibukan apa-apa hari ini. Mungkin aku akan mengunjungi ayahku di rumahnya," kata Jean setelah mereka masuk ke mobil. "Bagaimanapun aku berencana untuk mengambil identitas baru tahun depan, sebaiknya aku mulai berpamitan pada keluargaku."     

"Ayahmu masih tinggal di Singapura?" tanya Marion.     

"Benar. Ia punya keluarga baru di sini. Hubungan kami tidak terlalu baik, tapi mungkin sudah waktunya sekarang memperbaiki hubungan sebelum aku pergi selamanya dari hidupnya."     

Jean hampir tidak pernah mengunjungi keluarga ayahnya saat ia mampir di Singapura. Setelah ia dewasa dan mandiri ia lebih memilih tinggal dekat dengan ibunya, namun setelah ibunya meninggal tahun lalu ia kadang-kadang memikirkan ayahnya dan berharap mereka bisa berdamai. Mungkin sekarang adalah waktu yang tepat.     

"Semoga berhasil," kata Marion sambil menepuk bahu Jean. Mereka ngobrol tentang hal remeh-temeh di sepanjang perjalanan menuju kampus St. Mary. Tanpa terasa mereka tiba dengan sangat cepat di sana dan keduanya terpaksa harus mengucapkan selamat berpisah.     

Jean membawa mobilnya ke Bukit Timah tempat mansion ayahnya berada, sementara Marion yang sedang menyamar sebagai Aleksis segera menemukan begitu banyak mahasiswa yang menatapnya keheranan begitu ia melangkah ke dalam kampus.     

"Astaga, kau masih hidup?? Kemana saja kau selama sebulan ini?" tanya seorang pemuda yang berlari menghampirinya ketika melihat Aleksis dari jauh.     

"Oh, hai, Ian... aku dirawat di Swisss oleh keluargaku karena kecelakaan itu membuatku koma selama beberapa minggu. Sekarang aku baik-baik saja," kata Marion dengan ramah. Ia masih ingat siapa nama pemuda itu karena Terry telah membahas semua orang yang ada di sekitar Aleksis selama di kampus. Ia masih ingat nama-nama mereka.     

"Oh, syukurlah ... kami mendengar bahwa kau sudah meninggal," kata Jan sambil menggeleng-geleng. "Oh ya, kau ada acara tidak nanti malam? Aku mau mengajakmu menonton konser Billie Yves. Semua tiketnya sudah habis terjual. kau beruntung karena aku punya koneksi. Aku mendapatkan tiket terbaik dan bahkan akses meet and greet ke belakang panggung. Bagaimana?" tanya Ian dengan antusias. "Anggap saja kita merayakan kesembuhanmu."     

Marion hampir mengumpat dongkol karena lagi-lagi nama Billie Yves disebut di dekatnya. Dia tidak membenci Billie sama sekali, sungguh, tetapi ia masih alergi mendengar nama mantan kekasih Jean itu disebut terus-menerus di sekitarnya.     

"Uhm ... tidak usah, aku juga punya koneksi, kok. Tapi aku tidak berminat nonton konsernya. Nanti malam aku sibuk." kata Marion menghindar. Ya, nanti malam ia akan sibuk makan kacang dan minum wine sementara Jean dan Terry datang ke konser Billie.     

"Yahhh... sayang sekali." Ian tampak kecewa. Ia berjalan menjajari Marion menuju ke kelas. Para mahasiswa lain mengekor di belakang mereka. Mel yang melihat 'Aleksis' baik-baik saja sangat terkejut dan untuk sesaat tak dapat berkata apa-apa, sebelum kemudian ia menangis dan menghambur memeluk gadis itu.     

"Astaga ... ternyata kau baik-baik saja!!! Aku senang sekali ..." tangisnya haru.     

Marion berakting dengan sangat bagus dan mampu meyakinkan semua orang bahwa ia memang Aleksis. Pada saat makan siang tiba, berita tentang kembalinya Aleksis telah menyebar ke seantero kampus dan dimuat di banyak posting dalam grup media sosial Universitas St. Mary di Splitz.     

Lauriel, Nicolae dan Petra yang mengikuti perkembangan di Splitz sangat puas melihat dalam waktu beberapa jam saja kehadiran kembali Aleksis sudah menjadi pembicaraan hangat di media sosial. Mereka tidak sabar menunggu Alaric ataupun anak buahnya mendekati Marion. Neo dan Endo telah terbang ke Singapura untuk mendampingi gadis itu. Mereka akan tiba sore ini.     

Marion buru-buru pergi ke kafetaria untuk menemui Terry setelah kelasnya dengan Profesor Hedwig selesai. Ia ingin mengecek perkembangan di St. Mary apakah ada informasi baru yang berkembang di luaran setelah ia menampakkan diri sebagai Aleksis.     

Karena terburu-buru ia tidak memperhatikan jalannya dan menubruk seorang gadis berambut pendek dan berkaca mata hitam yang sedang berjalan sambil membuka-buka sebuah buku.     

"Ma ... maafkan aku, aku tidak sengaja," Marion cepat-cepat minta maaf dan berbalik untuk menolong berdiri gadis yang ditabraknya, mengira gadis itu pasti terpelanting ke tanah karena kekuatan tubuhnya. Ia terpaku karena gadis itu tidak bergeming di tempatnya. "Eh ... kau tidak kenapa-kenapa?"     

Gadis berambut pendek itu menyipitkan matanya dan tampak sama kagetnya dengan Marion. Ia juga merupakan seorang gadis yang memiliki fisik sangat kuat dan tadi mengira Marion pasti terbanting ke tanah, tetapi ternyata keduanya sama-sama berdiri berhadapan dengan tidak bergeming.     

Setelah dua detik tiba-tiba sepasang mata gadis itu membulat. Ia menatap Marion dengan pandangan tidak percaya.     

"Kau tidak apa-apa?" tanya Marion sekali lagi membuyarkan lamunan gadis itu.     

"Uhm ... aku tidak apa-apa."     

"Baiklah, kalau begitu aku permisi dulu. Maaf tadi aku menabrakmu." Marion membungkukkan tubuhnya sedikit lalu kembali berlari ke kafetaria.     

Gadis yang ditinggalkannya tampak terpaku selama beberapa saat lalu ia mengambil ponselnya.     

"Takeshi, kau sudah tiba di Singapura? Aku sedang mencari buku di perpustakaan universitas karena mereka punya koleksi yang lengkap. Kalau kau bisa segera ke sini aku akan menunjukkan sesuatu yang sangat menarik kepadamu," katanya di telepon. "Kau takkan percaya siapa yang tadi menubrukku di sini."     

Takeshi menjawabnya dari ujung telepon, "Hallo, Rosalind. Aku segera ke sana."     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.