The Alchemists: Cinta Abadi

Aku bukan laki-laki kebanyakan



Aku bukan laki-laki kebanyakan

0Ciuman itu berlangsung lebih dari dua menit dan masing-masing keheranan mengapa yang lainnya tidak kehabisan napas. Marion terbiasa menyelam bebas dan Jean pernah latihan menahan napas yang panjang untuk salah satu perannya di film, tetapi keduanya tidak saling mengetahui fakta itu.     

Saat Jean dan Marion melepaskan diri dengan enggan, masing-masing menatap yang lain dengan pandangan kagum. Ini adalah ciuman kedua mereka setelah di Swiss waktu itu, saat Jean kebanyakan minum glow wine dan Marion sedang merasa rapuh. Rasanya yang kedua ini, saat dilakukan ketika masing-masing dalam keadaan sadar, lebih menyenangkan dari yang pertama.     

"Kebanyakan laki-laki tidak suka perempuan agresif yang mencium duluan," komentar Jean pelan. Melihat Marion yang merengut, ia buru-buru menambahkan, "tapi untungnya aku bukan laki-laki kebanyakan."     

Marion tersenyum mendengarnya. Ia menepuk bahu Jean lalu kembali ke ruangan kerja untuk melanjutkan teleconference-nya yang tertunda.     

"Hei ... begitu saja?" Jean mengejarnya dan berhasil menangkap tangannya sebelum Marion masuk melewati pintu.     

"Lho, ada apa?" tanya Marion mengerutkan keningnya.     

"Astaga ... kau mencium laki-laki dan meninggalkannya begitu saja? Kau ini perempuan yang tidak bertanggung jawab," omel Jean. "Setidaknya berjanjilah kau akan minum denganku setelah pekerjaanmu selesai. Aku rindu ngobrol denganmu."     

Marion memutar bola matanya. Ia menepis pinggang Jean lalu melangkah masuk ke dalam. Saat ia kembali ke kursinya gadis itu menoleh ke arah pintu dan berseru, "Aku mau Black Russian. Kau bisa pesankan untukku, aku akan menyusulmu 10 menit lagi!"     

Jean yang tadi hampir kecewa serentak tersenyum manis dan mengangguk. Ia lalu mengambil topi dan kacamata dari rak untuk menyembunyikan identitasnya lalu bergerak keluar penthouse. Ia akan menunggu Marion di Sky Bar hingga gadis itu selesai rapat.     

"Kalian pacaran?" tanya Petra penuh perhatian saat Marion kembali ke rapat mereka. Gadis itu memasang ekspresi menakutkan dan Petra tidak bertanya lagi. Pemuda itu kemudian melanjutkan laporannya. "Uhm... oke. Jadi kami akhirnya menemukan jejak Takeshi dan ternyata ia sedang menuju ke Singapura. Aku dan Lauriel akan segera menyusul ke sana, tapi sebelum kami tiba aku harap kau dapat mengawasinya di sana."     

"Oke, kirim detailnya saja," kata Marion. Ia menulis sesuatu di buku catatannya lalu mengangkat wajahnya menatap Lauriel. "Itu saja? Aku sudah perlu minum, nih. Kalau tidak ada lagi aku mau cari minum."     

"Hmm... tidak ada. Selamat bersenang-senang," kata Lauriel kemudian. Ia menatap Marion dengan pandangan rumit sebelum kemudian mematikan hubungan.     

Marion segera melompat berdiri dan berjalan keluar penthouse. Ia tahu Sky Bar terletak di sebelah penthouse dan ia bisa menghemat waktu banyak dengan melompati tembok pembatas keduanya, jadi tidak usah turun ke lantai 99 dan masuk lewat Restoran Moonshine, dan itulah tepatnya yang ia lakukan.     

Ia berhasil mendarat dengan aman tanpa dilihat siapa pun dan dengan cepat ia sudah bergerak lincah mencari sosok Jean di antara meja-meja tamu yang ada.     

Siyal. Kenapa ia tak bisa menemukannya? Pasti Jean menyamar lagi, pikir Marion sebal.     

Entah kenapa ia tak suka selalu bertemu Jean di tempat umum saat pria itu sedang menyembunyikan diri. Waktu di Swiss, ia juga sedang menyembunyikan wajahnya dengan topi, kacamata dan syal.     

[Kau di mana?] Marion mengirim SMS ke nomor kontak AKTOR TAMPAN IDOLA MARION.     

Sesaat ia terkekeh melihat username itu belum digantinya. Ughhh ... sudah saatnya ia mengganti username Jean di ponselnya menjadi AKTOR KACANGAN SOK KEREN.     

Belum sempat jari Marion menyentuh keyboard ponselnya, tiba-tiba terdengar bunyi panggilan di ponselnya dari username sialan itu sehingga ia tak dapat menggantinya, dan 3 detik kemudian sebuah tangan telah melingkari bahunya.     

"Di sini kau rupanya," Jean menarik Marion ke mejanya yang terletak tidak jauh dari tempat berdiri gadis itu, dekat tembok kaca yang menghadap ke pemandangan kota Singapura, 100 lantai di bawah mereka. Indah sekali.     

"Ish... baru aku mau mengganti username-mu di ponselku," omel Marion sambil duduk di kursi. Ia terkejut melihat Jean memindahkan kursinya dan duduk di sampingnya, tidak lagi duduk di seberang. "Eh, kenapa kau pakai angkat kursi segala? Kalau kau mau di posisiku bilang saja, kita bisa bertukar."     

Jean menggeleng sambil tersenyum lebar, "Tidak, aku memang selalu duduk seperti ini. Aku hanya duduk berhadapan dalam business meeting. Kalau bersama teman, sahabat, atau kekasih, aku selalu duduk di sampingnya. Begini lebih akrab."     

Marion terpesona mendengarnya. Pipinya bersemu merah, "Begitu ya? Aku ini kan bukan teman atau sahabatmu ..."     

"Masa?" Jean pura-pura kecewa. "Baiklah. Kalau menurutmu ini business meeting, aku akan memindahkan kursiku kembali."     

Marion memukul bahunya keras sekali, "Sialan. Bukan itu maksudku."     

Jean tertawa sambil mengaduh-aduh karena bahunya yang dipukul Marion barusan terasa sakit, "Astaga ... aku kan sudah bilang laki-laki itu tidak suka perempuan yang kasar."     

Marion merengut. Ia melihat segelas Black Russian sudah ada di meja dan segera meneguknya sampai habis.     

"Hei, pelan-pelan minumnya! Walaupun minumannya manis, kadar alkoholnya tinggi sekali. Kau bisa mabuk! Aku tidak ingin mengambil kesempatan dari perempuan yang tidak berpikiran jernih," omel Jean sambil menarik gelas dari tangan Marion, yang sayangnya sudah terlanjur kosong, "Ish ... kau ini separuh ikan ya? Banyak sekali minumnya."     

Marion menatapnya sambil menyipitkan mata kucingnya, yang kemudian dibalas oleh Jean. Keduanya tampak lucu sekali, seperti pasangan yang sedang adu melotot tapi dengan cara menyipitkan mata mereka, siapa yang bisa memberi tatapan sinis paling lama - dialah yang menang.     

"Ahhhh... kau menang!" seru Marion setelah dua menit. Ia tak berdaya, saat saling adu tatap ia justru mengagumi wajah pria di depannya yang terlihat sangat tampan dan dihiasi garis-garis tawa yang jelas. Jean merupakan seorang pria yang hangat dan riang, jauh berbeda dari Lauriel. Saat melihatnya, Marion justru membayangkan berbagai kekonyolan dan hal-hal menyenangkan yang dapat mereka lalui bersama.     

Pikiran-pikiran itu membuatnya malu. Kenapa juga dia bisa berpikir begini? Mereka memang sudah kenal belasan tahun, tetapi tidak pernah dekat dan baru bulan lalu keduanya ... berciuman.     

Jean mengangguk. "Terima kasih kau sudah mengalah dalam kontes menyipitkan mata barusan, walaupun kau agresif dan keras, kau masih menjaga egoku sebagai pria dengan membiarkanku menang."     

Ia lalu tertawa geli dan menepuk-nepuk kepala Marion.     

"Ish ..." Marion hanya bisa bersedekap melihat Jean pura-pura tidak mengerti bahwa ia barusan benar-benar kalah dalam adu tatap karena ia terpesona pada wajah Jean.     

"Mau minum Black Russian lagi atau mau kupesankan yang lain?" tanya Jean sambil mengangkat tangannya memanggil pelayan.     

"Kau minum apa?" tanya Marion.     

"Pina colada saja, aku sedang ingin minuman sederhana," kata Jean.     

"Oh, aku juga mau. Aku suka Pina Colada, apalagi di pantai." Tiba-tiba Marion menekap bibirnya. Ia baru ingat mendengar dari Alicia bahwa minuman favorit Jean adalah Pina Colada, apalagi saat ia sedang ada di pantai. Marion merutuki diri sendiri karena barusan memesan hal yang sama-sama disukai Jean. Ia tak mau pria itu menganggapnya stalker karena meniru semua yang ia sukai, padahal Marion juga begitu.     

"Kau kenapa?" tanya Jean keheranan. "Pina Colada kan enak."     

"Uhm ... iya, tapi aku tidak meniru minuman yang kau sukai ya, aku duluan yang suka Pina Colada. Umurku lebih tua dan aku sudah menyukai minuman itu sejak tahun 70-an waktu kau belum dilahirkan!" tukas Marion cepat.     

"Ya ampunnn... kenapa mesti saingan sih? Aku tidak melarangmu suka Pina Colada juga," kata Jean sambil geleng-geleng kepala. Ia lalu mengangguk kepada pelayan yang sudah tiba, "Dua Pina Colada, ya. Terima kasih."     

Suasana menjadi hening untuk sesaat, sebelum akhirnya Jean buka suara, "Aku merasa ada hal yang harus dibereskan di antara kita."     

Marion menatapnya dengan mata membulat, "Maksudmu?"     

"Aku menyukaimu," kata Jean tanpa basa-basi. "Kurasa aku tak dapat menahan diri dan menunjukkannya kepadamu. Aku tak mau membuatmu kebingungan dengan berpura-pura tidak ada apa-apa di antara kita. Aku banyak bicara dengan Alicia di dapur waktu menginap di rumahmu dan mencari tahu hal-hal tentangmu. Ternyata kita punya sangat banyak persamaan, aku sendiri hampir tak percaya mendengarnya."     

"A ... apa??" Marion juga tak percaya pendengarannya sendiri.     

"Aku tahu warna favoritmu biru langit sepertiku, makanan favoritmu tiramisu, kau sangat suka Pina Colada, dan berbagai hal lain yang membuatku merasa kita sangat mirip, tentunya selain wajah dan matamu yang mirip sekali denganku." Jean tersenyum kecil, "Ini membuatku memikirkanmu terus selama sebulan ini. Tadinya aku ingin kembali ke Swiss untuk mencarimu setelah Terry selesai dengan tugasnya, tak kuduga justru kau yang datang ke sini. Aku senang sekali."     

Marion tercengang mendengar kata-kata Jean yang diucapkan dengan nada begitu ringan. Ia tidak menduganya sama sekali.     

"Jadi, maksudnya apa?" tanya gadis itu dengan nada ragu-ragu.     

"Maksudnya adalah ... aku ingin mendekatimu," kata Jean mantap. "Aku dan Billie sudah setahun lebih berpisah, tetapi memang baru kami umumkan enam bulan yang lalu. Aku sudah move on dari hubungan cintaku sebelumnya. Aku tidak tahu apakah kau sudah move on dari Lauriel atau tidak, tetapi kalau kau tidak keberatan, aku berharap kau memberiku kesempatan untuk menjadi teman, sahabat, dan nanti kekasihmu ... supaya kita bisa tetap duduk berdampingan seperti ini."     

Marion terpukau mendengar kata-kata Jean dan perlahan seulas senyum terkembang di bibirnya saat ia membingkai wajah tampan itu dan mendekatkan wajahnya lalu menyentuhkan hidungnya ke hidung Jean sambil menatap sepasang mata kucing di depannya dengan mata berbinar.     

"Uhm ... aku tahu laki-laki tidak suka perempuan agresif yang mencium duluan, jadi aku tidak akan menciummu," kata Marion setengah berbisik. Bibirnya yang basah terbuka sedikit dalam senyuman yang sangat indah dan membuat Jean terpukau oleh keranumannya.     

"Aku kan sudah bilang, aku bukan laki-laki kebanyakan," kata Jean pelan, tetapi ia mengambil inisiatif satu centimeter terakhir dan menyentuhkan bibirnya ke bibir Marion, lalu mencium gadis itu dengan sangat lembut. Keduanya saling memejamkan mata ketika ciuman itu tiba.     

Dengan sedikit ragu-ragu pada awalnya, lidah Jean masuk ke dalam mulut Marion dan menjelajah di dalamnya, mencari lidah gadis itu dan kemudian keduanya saling melumat halus. Marion membalas ciuman Jean dengan hangat dan selama beberapa menit keduanya terbuai dalam asmara baru yang membuat dada mereka penuh.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.